Payung elektri Masjid Raya Baiturrahman tidak semegah biaya yang dikeluarkan. Sejak dibangun hingga diresmikan penggunaanya tidak pernah luput dari persolan.
Pekan lalu, satu unit payung elektrik di Masjid Raya Baiturrahman rusak diterjang angin. Tali seling payung, tidak mampu menahan kencangnya angin hingga terputus. Kain payung merosot jatuh ke bawah. Pengunjung yang lalu lalang di pekarangan masjid sontak kaget, beberapa lalu mencoba memotret pemandangan tak mengenakkan itu, sebagian pengunjung memvideokannya.
“Payung seperti ini tak cocok dipasang, dengan iklim di Aceh yang seperti ini. Sayangnya, besar sekali dana yang telah dihabiskan untuk pembangunannya,” ujar seorang pengunjung. Tak lama kemudian, petugas mencoba memperbaikinya. Meski sudah kembali terpasang, masyarakat mulai meragukan kualitas payung yang harga per unitnya mencapai Rp10 miliar.
Kondisi itu sebenarnya sudah pernah diprediksi sejak lama. Banyak yang mengkritik dibangunannya payung elektrik di Masjid Raya, salah satu alasannya karena ketidaksesuaian konteks iklim.
“Jika melihat iklim daerah yang kerap diterpa panas dan hujan silih berganti, material payung tak akan dapat bertahan lama, biaya perawatan akan semakin besar,” sebut Dosen Arsitektur Unsyiah, Asrul Sidiq.
Iklim Aceh, sebutnya, memiliki bentang alam yang khas. Maka tidak serta merta bisa meniru Masjid Nabawi. Masjid termegah di jazirah Arab itu kerap dijadikan tata model yang diduplikasi untuk perluasan Masjid Raya Baiturrahman kini.
Sebelum kerusakan payung terjadi, dua tahun lalu pihak Unsyiah sudah pernah menggelar diskusi membahas proyek ini. Sejumlah alumni Fakultas Teknik Unsyiah yang tergabung dalam wadah Keluarga Alumni Fakultas Teknik (KAFT), meminta Pemerintah Aceh untuk melakukan perubahan desain terhadap proyek Landscape dan Infrastruktur MRB.
Praktisi Rachmatsyah Nusfi dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, proses penyusunan Detail Engineering Desain (DED) dan Masterplan MRB mengabaikan banyak aspek. Padahal, sebelum merumuskan kerangka DED, mesti ada kajian awal yang komprehensif.
“Kajian Premliminary Desain diperlukan, sebab Masjid Raya adalah bagian dari kawasan cagar budaya,” sebut Rachmat. Karena itu pula, proses perubahan hendaknya mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentnag bangunan cagar budaya.
Seorang peserta diskusi lainnya bahkan meminta pemerintah mengkaji ulang konstruksi payung elektrik. Menurutnya, keberadaan payung telah mengubah pemandangan masjid. Secara konkret perlu dipikirkan lagi konsep dan penataan payung tersebut, tanpa mengesampingkan nilai budaya Aceh.
Untuk mengklarifikasi persoalan itu, Pikiran Merdeka menyambangi Kantor Waskita Karya di kawasan Peuniti, Banda Aceh. Suasana di pekarangan kantor tampak lengang pada Jumat (2/3) pekan lalu, hanya terlihat satpam yang tengah berjaga di teras kantor.
“Maaf, Pak Mul (Humas WK) sedang rapat di kantor PU (Pekerjaan Umum). Belum tahu kapan kembali,” ujarnya.
Demikian juga saat Pikiran Merdeka mendatangi kantor Dinas Cipta Karya yang kini berubah nama menjadi Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (Perkim) Aceh. Kepala Bidang Tata Bangunan T Mirzuan tak terlihat di ruang kerjanya. Sehari kemudian, Kuasa Penggna Anggaran (KPA) Renovasi MRB, Mizwan juga enggan berkomentar banyak saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Mizwan hanya berujar singkat, “Pemberitaan di media selama ini sudah cukup, maaf saya sedang rapat,” ucapnya, lalu buru-buru memutuskan sambungan telepon.
SEMRAWUT USAI DIRESMIKAN
Sejak diresmikan pada pertengahan Mei lalu, renovasi Masjid Raya belum sepenuhnya tuntas. Sehari usai diresmikan loleh Wapres Jusuf Kalla, terlontar kritikan dari beberapa ulama Aceh. Salah satunya mengenai kualitas toilet masjid yang tidak cocok dengan kebutuhan pengunjung. Pembatas toilet yang rendah serta WC duduk dinilai tidak sesuai dengan Syariat Islam.
Belakangan, persoalan payung yang jatuh juga mulai mendapat sorotan. Selain melorot, beberapa pekan sebelumnya didapati satu payung kainnya robek di bagian ujung dan harus dijahit ulang.
Pekerjaan payung elektrik adalah rangkaian dari megaproyek Pembangunan Landscape dan Infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Banda Aceh yang total anggarannya mencapai Rp1,4 triliun. Di tahap pertama dari paket pekerjaan tersebut, anggaran dihabiskan sebesar Rp458 miliar untuk lima item pekerjaan, yakni persiapan, struktur, arsitektur, elektrikal, dan pekerjaan landscape.
Dari kelima item ini, paling besar porsinya dihabiskan untuk pekerjaan arsitektur yang menyita anggaran Rp223 miliar. Pekerjaan arsitektur ini meliputi pembangunan basement yang menghabiskan sekitar Rp37 miliar. Lalu ada juga pekerjaan untuk area masjid sebesar Rp59 miliar, drinking water Rp389 juta, lain-lain seperti pekerjaan bangunan genset, ruang pompa, pagar area luar masjid, ruang kontrol payung, dan pekerjaan kolam air mancur yang totalnya Rp8,4 miliar. Terakhir, pekerjaan payung yang menyedot biaya paling tinggi, yakni Rp118 miliar.
PROSES LELANG
Mulanya, proyek perluasan MRB ini digagas Pemerintah Aceh di bawah komando Gubernur Zaini Zaini Abdullah. Rencana ini mulai teralisasi dengan dirilisnya pengumuman prakualifikasi pekerjaan tersebut melalui website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Aceh, tepat pada pertangahan Maret 2015.
Adapun penyedia jasa yang mendaftar sebanyak 199 perusahaan. Dari sekian perusahaan tersebut, terdapat 11 perusahaan yang memasukkan dokumen kualifikasi. Melalui serangkaian proses penilaian, pemerintah pada 9 April 2015 lalu menetapkan tiga dokumen perusahaan yang dinyatakan memenuhi syarat kualifikasi, yakni PT Waskita Karya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Adhi Karya.
Sedangkan delapan perusahaan lainnya dinyatakan gugur. Alasannya, terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam pengisian formulir kualifikasi. Selain itu, Pokja Kontruksi dari Pemerintah Aceh juga menyeleksi sejumlah kualifikasi lainnya, seperti pengalaman perusahaan, peralatan, personil, dan nilai rata-rata paket tahunan dalam lima tahun terakhir. Dari penilaian tersebut, delapan perusahaan tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat, sebagaimana tertera dalam dokumen kontrak Dinas Cipta Karya Aceh tahun 2015.
Adapun tiga perusahaan yang lulus kualifikasi proyek pembangunan Masjid Raya untuk selanjutnya mengajukan dokumen penawaran. Hingga tahap evaluasi administrasi, ketiganya masih dinyatakan lulus. Sedangkan dalam evaluasi teknis, Pokja menilai sejumlah unsur, seperti metode pelaksanaan, jadwal penggunaan bahan, peralatan dan personil, daftar barang yang di-import, surat dukungan dan spesifikasi teknis, serta Standar Operasional dan Prosedur (SOP).
Dalam SOP, yang masuk dalam pertimbangan penilaian Pokja ialah terkait payung, elektrikal mekanik, sistem pemadam, drinking water system, landscape, termasuk juga pengelolaan limbah serta bagian kontruksi permanen. Kemudian, selain evaluasi teknis, juga terdapat evaluasi harga. Di situ dibandingkan total harga penawaran terhadap nilai total HPS, lalu Pokja juga meneliti kewajaran harga apabila harga penawaran di bawah 80 persen.
Berdasarkan serangkaian hasil evaluasi tersebut, akhirnya Pokja Kontruksi I-ULP Pemerintah Aceh pada 21 Mei 2015 mengusulkan PT Waskita Karya sebagai calon pemenang proyek, dengan harga penawaran terkoreksi sebesar Rp458.124.540.000.
Sedangkan perusahaan lainnya, PT Adhi Karya dinyatakan gugur lantaran tidak melampirkan beberapa dokumen Training Pelatihan Operator Sistem Pemadam Kebakaran dan brosur merk CCTV. Perusahaan ini juga tidak melampirkan tabel barang yang diimpor, sementara sesuai surat dukungan dan dan brosur yang dilampirkan sebagian mengacu pada produk impor, seperti marmer dan komponen payung elektrik.
Hal ini berbeda pula dengan PT Pembangunan Perumahan yang menyisipkan surat dukungan untuk pekerjaan sistem payung elektrik. Namun Pokja Kontruksi, pada 11 Mei 2015 melakukan klarifikasi ke PT Total Bumi Swara selaku perusahaan yang dimaksud di dokumen tersebut. Dari Direktur perusahaan itu diperoleh informasi, bahwa pihaknya belum pernah mengerjakan sistem dan peralatan payung elektrik sesuai persyaratan dalam dokumen lelang. Karena itu, PT Pembangunan Perumahan kemudian dinyatakan gugur.
SPESIFIKASI PAYUNG
Untuk perangkat payung elektrik, PT Waskita Karya mempercayakan pembuatan komponennya lewat workshop di kawasan Bekasi, yakni PT Megacipta Sentrapersada. Untuk hidrolik, PT Waskita Karya mengimpor sistem kontrol dan penggerak dari Jerman, demikian dengan kain payung jenis Hey-Tex juga diimpor dari negara tersebut. Kain ini memiliki penguat tepi berbahan webbing dan steel roung bar yang ditumpu dengan pelat baja untuk mengikat kain ke ujung lengan payung. Bahan ini juga dipakai untuk motif kelopak payung dengan variasi warna hijau Persia.
Berdasarkan dokumen kontrak yang juga memuat spesifikasi komponen untuk payung Masjid Raya Baiturrahman, ada dua ukuran yang berbeda untuk 12 payung yang kini terpasang. Enam payung memiliki lebar bukaan kain seukuran 24×24 meter persegi dengan berat kain 400 kg, dan enam payung lagi berukuran 15×15 meter persegi dengan berat 250 kg.
Tiap payung hidrolik dilengkapi dengan pencahaya yang dipasang pada empat tiang utama. Empat lampu menyorot ke atas, dan empat lagi menyorot ke bawah. Lampu pencahayaan ini dioperasikan dari panel operasi yang berada dalam ruang power pack.
Untuk keamanan payung terhadap kerusakan yang ditimbulkan akibat terpaan angin hujan, sebenarnya dalam sistem operasi juga dilengkapi dengan sensor angin dan sensor hujan. Maka operator dan teknisi di ruang power pack harus memonitor pengoperasian payung. Sensor ini bertujuan untuk mengetahui berapa knot tekanan angin, sehingga payung bisa membuka dan menutup secara otomatis
Belakangan, luputnya pemasangan sensor angin pada bagian hidrolik menjadi penyebab rusaknya salah satu payung. Hal itu diketahui setelah Tim Laboratorium Unsyiah yang dipimpin Dekan Fakultas Teknik Mirza Ibrahim Hasan melakukan peninjauan langsung ke MRB, Jumat pekan lalu.
“Mengabaikan pemasangan alat sensor angin adalah kesalahan besar, seharusnya sejak uji coba di awal sudah dilakukan,” tegas Mirza.[]
http://www.pikiranmerdeka.co/2017/06/09/manfaat-tak-sebanding-biaya-perawatan/
Belum ada komentar