Setelah Nyak Sandang, sejumlah orang juga menunjukkan bukti kepemilikan obligasi pembelian pesawat. Fenomena ini diharap menjadi momentum menuntut kompensasi yang layak bagi Aceh.
Nama Nyak Sandang mencuat setelah kisahnya disiarkan oleh salah satu lembaga kemanusiaan, Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam website mereka. Ia adalah salah satu saksi hidup penyumbang pesawat RI. Menurut sejarah, rakyat Aceh pernah berjasaa kepada pemerintah Indonesia, dengan membelikan pesawat pertama sebagai cikal bakal PT Garuda Indonesia. Fakta sejarah tersebut kemudian dibuktikan oleh Nyak Sandang dengan memperlihatkan bukti surat pinjam hutang atau obligasi yang diperlihatkan kepada relawan ACT pada 27 Februari lalu.
Setelah namanya ramai diberitakan, pada 21 Maret lalu, Nyak Sandang di undang ke istana negara dan bertemu langsung dengan Presiden Jokowi. Nyak Sandang mengaku tak menyangka bisa bertemu dengan Jokowi secara langsung. Dia juga menyebut, selain ditawari pergi ke Makkah, Nyak Sandang juga akan diberi fasilitas pengobatan mata. Mengingat ia mengalami katarak.
Seusai pertemuan dengan Jokowi itu, kakek dari Aceh Jaya ini kemudian masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta Pusat untuk proses operasi mata. Salah seorang penyumbang uang untuk pesawat RI pertama ini akhirnya kembali bisa melihat dengan jelas usai menjalani operasi katarak pada Rabu (28/3). Operasi yang dimulai pada pukul 08.30 WIB ini memakan waktu lebih kurang 30 menit.
Selama di rumah sakait, Nyak Sandag ditemui sejumlah orang penting. Di antaranya Dirut Garuda Indonesia Pahala N Mansury dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.
Usai berkunjung, Pahala menyampaikan akan mewujudkan cita-cita Nyak Sandang yakni memberangkatkan umrah sekaligus memberikan santunan.
“Ya jadi ingin ikut memberi santunan, nanti kita akan lihat juga bentuknya seperti apa, itu sudah kami sampaikan. Kami akan memberi santunan dan memberangkatkan beliau ke tanah suci,” ucap Pahala di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Minggu (25/3) lalu.
Sementara Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengunjungi Nyak Sandang (91) di RSPAD Gatot Subroto datang bersama istrinya Darwati A Gani pada Senin 26 Maret. Di sana, Irwandi melihat dan menyakan kondisi terakhir kakek yang ikut patungan untuk membeli pesawat pertama Indonesia.
Selain itu, Irwandi dalam kunjungannya juga menyerahkan sejumlah donasi yang diterima lansung pihak keluarga. Ternyata, setelah rentetan kejadian ini dan sejumlah keistimewaan yang diperoleh Nyak Sandang, membuat para pemegang surat obligasi lainnya ikut bersuara. Bahkan nominal hutangnya melebihi nominal yang ada dalam surat obligasi Nyak Sandang. Hal ini dinilai wajar mengingat rakyat Aceh memang tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai penyumbang dua pesawat di awal kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan penulusuran Pikiran Merdeka dari berbagai media massa hingga Sabtu (31/3), saat ini sudah tercatat setidaknya 13 pemegang surat obligasi yag diduga obligasi pesawat RI. Kesemua surat obligasi dipegang oleh ahli waris peminjam. Tujuh ahli waris di Aceh Barat, dan satu ahli waris masing-masing di wilayah Aceh Besar, Pidie, Nagan Raya, Bireuen, Lhoksemawe, Aceh Sigkil.
Dari Aceh Barat, sebanyak enam ahli waris sudah menjumpai anggota DPRA, Zaenal Abidin pada 24 Maret lalu di Kuala Bhee Woyla, Aceh Barat. Sementara Jumat (30/3) kemarin satu lagi ahli waris muncul atas nama Lem Cut Zaini dengan nominal hutang sebesar Rp100.
Sementara satu ahli waris di wilayah Pidie bernama Ibrahim Laweung, mengaku memiliki dua surat obligasi pesawat. Satu atas nama kakeknya, Keuchik Abdullah dengan nilai sumbangan Rp5.600, dan satunya lagi atas nama ayahnya dengan nilai Rp3.000.
Selanjutnya masing-masing ahli waris lainnya memegang satu surat obligasi. Tercatat dengaan nama Muhammad Gade Ibrahim (Aceh Besar), Amrin Husen (Nagan Raya), Razali Berdan (Bireuen), Muhammad Samin (Lhoksemawe), dan Nurhasanah (Aceh Singkil).
Ketua DPP Partai Nanggroe Aceh Samsul Bahri mengatakan, sejak kisah Nyak Sandang viral dan mendapat perhatian pemerintah, kini muncul warga lain yang mengakui hal yang sama. Ia menyebut, banyak warga yang ikut menunjukkan bukti kepemilikan dokumen yang sama dengan Nyak Sandang.
Nilai nominal dari sejumlah obligasi yang mereka tunjukkan juga jauh lebih besar dibandingkan milik Nyak Sandang. “Ada yang Rp1.500, ada yang Rp4.500, bahkan ada yang Rp8.600,” ucap Samsul dalam keterangan tertulisnya, Senin (26/3).
Oleh karena itu, Samsul berharap pemerintah pusat dapat berlaku adil kepada seluruh pemilik obligasi tersebut. Menurutnya, pemerintah tak boleh berhenti memberikan perhatiannya hanya kepada Nyak Sandang saja.
“Kalau itu yang terjadi, kita khawatir akan memantik kecemburuan dan rasa ketidakadilan bagi pemegang obligasi lainnya. Jangan sampai kasus ini berujung dengan gugatan kepada pemerintah,” ujar anggota DPR Aceh ini.
Bila perlu, kata Samsul, Pemerintah Aceh juga dapat menginisiasi pendirian posko pengaduan dan pendataan agar para pemilik obligasi dapat dikoordinasi. Nantinya, kata dia, pemerintah dapat mengidentifikasi dan memverifikasi kepemilikian dan keaslian dari surat obligasi tersebut.
“Kemudian Pemerintah Aceh dapat meneruskan aspirasi para pemilik obligasi kepada pemerintah pusat. Kompensasi seperti apa yang diinginkan oleh pemilik obligasi, tentu dapat dirumuskan bersama,” lanjutnya.
BELUM SEMUA DIPERIKSA
Kemunculan para pemegang obligasi yang diduga surat pinjam hutang pembelian pesawat RI-001 diakui Zulkifli M Ali, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, belum terdata keotentikannya. Zulkifli mengaku pihaknya baru mengecek keaslian pada surat obligasi milik Nyak Sandang. Pengecekan dilakukan pihaknya pada 8 Maret lalu.
“Kami sudah turunkan tim arsiparis untuk mengecek keaslian surat obligasi Nyak sandang dan menurut kami terbukti jika surat obligasi yang dipegang Nyak Sandang itu benar-benar otentik. Namun untuk yang lain belum kami cek,” ujarnya saat ditemui Pikiran Merdeka di salah satu warung kopi di kawasan Lampriet, Jumat (30/3).
Terkait rumor yang beredar bahwasanya surat obligasi milik Nyak Sandang itu masih diragukan karena dalam surat obligasi tersebut tertulis tahun pinjam 1950 sedangkan pembelian pesawat RI-001 dibeli pada tahun 1948. Dia menjelaskan, ada beberapa dugaan atas perbedaan selisih tahun tersebut.
“Yang saya lihat dalam surat tersebut tertulis untuk keperluan membeli pesawat RI-001. Namun dalam sejarah pesawat RI-001 dibeli pada tahun 1948. Nah kenapa di surat tersebut tertulis tahun 1950. Yang saya dengar itu karena dulu, untuk pembelian pesawat RI tersebut Presiden Sukarno terlebih dahulu berhutang dengan Gasida. Selanjutnya barulah pada tahun-tahun berikutnya atas bantuan Daud Bereueh, masyarakat Aceh beramai-ramai mengumpulkan sumbangan untuk membayar hutang negara tersebut. Pengumpulan tersebut bisa saja sampai tahun 1950,” jelasnya.
Zulkifli juga mengatakan sebagai bentuk penghargaan kepada Nyak Sandang, pihaknya memberikan dan sebesar Rp5.000.000 untuk Nyak Sandang karena bersedia diwawancarai sebagai tokoh saksi sejarah.
Sehubungan dengan banyaknya obligasi yang telah terpublikasi di masyarakat berkenaan dengan pembelian pesawat RI-001, secara tupoksi kelembagaan DPKA hanya memiliki kewenangan melakukan otentikasi terhadap obligasi yang dimiliki masyarakat, melakukan penyelamatan terhadap dokumen yang beredar, serta menjamin perlindungan hak keperdataan pemerintah.
Dalam hal ini, Zulkifli menghimbau kepada masyarakat pemegang surat obligasi agar mendaftarkan arsip yang mereka miliki ke badan arsip agar badan arsip dapat mendata seluruh surat obligasi yang dipegang secara perseorangan tersebut. “Karena beberapa keterbatassan kami tidak bisa mendatangi pemegang-pemegang surat obligasi itu. Oleh karenanya, kami menghimbau kepada masyarakat sesuai amanah undang-undang agar segera menunjukkan langsung obligasi yang dipegangnya ke Badan Arsip. Ini agar dapat langsung diperiksa keotentikannya,” imbau dia.
BELUM BERSIKAP
Sementara Pemerintah Aceh melalui juru bicaranya, Saifullah Abdul Gani mengatakan pihaknya baru dapat menentukan langkah lanjut mengenai persoalan ini setelah semua data terkumpul di Badan Arsip dan sudah terverifikasi keotentikannya. “Untuk saat ini kita belum bisa menuntut apa-apa dari pemerintah Indonesia, karena selama ini surat-surat obligasi tersebut baru kita dengar dari media saja. Sementara keotentikannya belum dicek,” kata pria yang akrab disapa SAG ini saat ditemui Jumat sore pekan lalu.
SAG juga mengatakan, Pemerintah Aceh bekerja sama dengan Badan Arsip terus menghimbau masyarakat yang memiliki surat obligasi itu agar segera menunjukkan ke Badan Arsip. Hal ini untuk mendorong Pemerintah Aceh lebih cepat dapat menentukan langkah yang akan dilakukan.
“Untuk ini kita himbau kepada pemegang obligasi atau pun ahli waris supaya menghubungi badan arsip, bawa dokumennnya. Kalau memang tak bisa diberikan nanti kita atur mekanismenya. Baru nanti disikapi. Mungkin akan kita bicarakan pada tingkat presiden. Jika kita mengambil langkah hanya berdasarkan isu media saja, ini tidak bisa. Makanya terlebih dahulu kita perlu mengumpulkan surat-surat obligasi tersebut melalui badan arsip,” jelasnya.
Langkah yang bisa diambil Pemerintah Aceh saat ini diakui SAG adalah mendorong masyarakat dan badan arsip agar segera mengumpulkan dan mengecek keabsahan dari surat-surat tersebut. “Kita sudah memerintahkan Badan Arsip untuk mengecek seluruh obligasi yang ada. Setelah surat-surat tersebut terkumpul maka baru kita berani bertindak dan akan langsung berkoordinassi dengan Pemerintah Indonesia untuk membicarakan terkait kompensasi untuk pemilik obligasi ataupun untuk Aceh sendiri,” timpalnya.
Lebih lanjut SAG menyebutkan, ada bebrapa langkah lanjut yang bisa dilakukan Pemerintah Aceh setelah dokumen-dokumen tersebut terkumpul. Pertama pihaknya akan memanggil para ahli sejarah, ahli waris atau pemegang obligasi, dan beberapa pihak-pihak terkait untuk membicarakan kompensasi yang tepat, baik untuk Aceh maupun untuk pemilik obligasi.
“Untuk teknik lanjutan nya akan kita bicarakan dengan pemerintah Indonesia sesuai aturan yang ada. Bisa saja nanti kompensasi dalam bentuk saham dari garuda untuk Aceh, atau pun berupa uang segar untuk pemegang obligasi. Kita akan bicarakan hal itu nanti,” ujar dia.
SEJARAH RI-001
Sejarawan Aceh Husaini Ibrahim menceritakan bahwa Pesawat RI-001 dibeli pada tahun 1948. Sebelum itu, Belanda mulai melakukan blokade ekonomi seperti menguasai pelabuhan, perkebunan, pertambangan, dan mulai menguasai kota-kota yang memiliki sumber ekonomi yang vital. Hal tersebut tentunya membuat iIndonesia menjadi terisolir dengan dunia luar.
Melihat kondisi yang begitu darurat, pada tahun 1948 Bung Karno bersama Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri waktu itu bertolak ke Aceh. “Pada saat itu seluruh daerah sudah jatuh dan dikuasai oleh Belanda. Satu-satunya daerah yang belum dikuuassai penuh oleh Belanda adalah Aceh. Oleh sebab itu, Sukarno datang meminta kepada rakyat Aceh untuk membantu pertahanan NKRI dengan membeli pesawat. Orang Aceh secara spontan dulu memberi sokongan untuk RI,” papar Husaini Ibrahim dari Universitas Syiah Kuala ini.
Dia juga menjelaskan pada saat itu, dengan retorikanya yang sangat baik, Sukarno berhasil meyakinkan rakyat Aceh agar menyumbangkan harta mereka untuk pembelian pesawat. “Bahkan Sukarno waktu itu sampai menangis. Dan karena waktu itu rakyat Aceh sangat menghormati pemimpin, diberikanlah sumbangan untuk keperluan tersebut,” ujar dia.
Untuk meyakinkan rakyat Aceh, kata Husaini, Presiden Sukarno memberikan obligasi tersebut dengan janji akan dikembalikan pada tahun-tahun mendatang.
Sekarang, fakta sejarahnya sudah dibuktikan. Hal ini juga dapat menambah semangat pada jiwa-jiwa muda agar mempelajari sejarah. Terkait asli atau tidak surat obligasi tersebut, menurut sejarah dokumen tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa Aceh benar pernah menyumbang.
“Kalau di dalam sejarah yang paling penting kan bukti otentik. Penunjukan surat itu sudah menjadi bukti paling otentik bahwa dulu rakyat Aceh pernah menyumbang untuk membantu pertahanan Republik Indonesia dengan mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat RI,” pungkas Husaini.
Pengorbanan keluarga Nyak Sandang dan sejumlah orang lainnya yang telah merelakan hartanya demi membantu pembelian pesawat pertama di Indonesia patut diapresiasi. Dikutip dari Jawa Pos, sejarawan Andi Achdian menyatakan, pemberian penghargaan kepada Nyak Sandang dinilai sangat layak sebagai bentuk apresiasi. Hal itu mengingat jaman dahulu uang Rp100 merupakan nilai uang yang sangat besar.
“Kalau ditanyakan kelayakan, saya bisa bilang layak. Statusnya sama dengan veteran atau bintang jasa untuk pahlawan lainnya,” ujar Andi saat dihubungi JawaPos.com, Kamis (29/3).
Pemberian bintang jasa ini pun perlu diperhatikan administrasinya. Hal ini merupakan kewenangan dan ketetapan di sekertariat negara. “Sebagai sejarawan, surat itu penting sebagai bukti sejarah yang otentik,” tuturnya.
Senada dengan Andi, anggota DPR asal Aceh, Nasir Djamil setuju bila Nyak Sandang diberi gelar sebagai tanda jasa. Baik itu bintang jasa ataupun penghargaan lain, asal Indonesia dapat mengenang jasa Aceh.
“Nyak Sandang itu saksi sejarah yang masih hidup. Dia layak untuk diberikan semacam penghargaan sebagai simbol pemerintah mengakui Aceh pernah berkontribusi dulu,” tegas Nasir kepada JawaPos.com, Rabu (28/3).
Legislator PKS asal Aceh ini juga mendesak pemerintah untuk segera memberi kejelasan kepada para pemegang surat obligasi pembelian pesawat pertama Republik Indonesia.
Diketahui, pesawat pertama milik bangsa Indonesia itu dibeli pada saat zaman Presiden Soekarno, di tahun 1950, dengan mengandalkan surat obligasi yang ditawarkan pada masyarakat Aceh.
Namun, banyak masyarakat Aceh yang bingung karena sampai saat ini belum ada kepastian atas pemberlakuan obligasi tersebut di masa sekarang. “Saya akan menyarankan ke Ketua DPR untuk bertemu langsung dengan para pemegang surat obligasi. Mereka harus dapat kepastian, apakah ada gunanya surat itu,” ujar Nasir.
Ia menjelaskan, selain Nyak Sandang banyak surat obligasi ini dititipkan dari orang tua mereka terdahulu. Karena itu, dirinya berharap seharusnya surat utang tersebut masih ada manfaat dan gunanya bagi rakyat Aceh.
“Kalau tidak ada gunanya buat apa dipegang, tapi pasti Ada gunanya itu karena titipan orangtuanya mereka masing-masing,” tegas Nasir.
Walau demikian, anggota Komisi III DPR itu mendorong agar pemerintah daerah maupun pusat cepat menyikapi hal ini. Sehingga, dapat ditentukan pemberlakuan atas surat obligasi yang berusia puluhan tahun tersebut. “Kalau berlaku, maka diperlakukan seperti apa, kalau tidak juga kompensasi seperti apa. Mereka juga nggak nuntut banyak kok, mereka hanya ingin dihargai atas jasa orang tuanya,” pungkasnya.
Saat dikonfirmasi, Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi mengatakan, mengenai pemberian penghargaan kepada Nyak Sandang, sejauh ini belum ada pembicaraan lebih lanjut oleh Presiden. “Belum ada informasi soal itu,” tuturnya singkat.[]
Belum ada komentar