wacana pemekaran kabupaten/kota di Aceh menjadi isu seksi yang senantiasa mencuat setiap menjalang pelaksanaan Pemilu. Di Aceh Besar, sejak sekian tahun lalu telah mencuat rencana melahirkan daerah otonomi baru bernama Aceh Raya. Meski telah terbentuk panitia pemekaran dan berbagai persiapan telah dilakukan, tapi hingga sekarang wacana itu tak kunjung direalisasikan pemerintah pusat.

Keinginan pemekaran juga disuarakan sejumlah tokoh Aceh Utara yang bermukim di wilayah barat kabupaten itu. Mereka menyuarakan lahirnya Kabupaten Aceh Malaka. Padahal, sejauh ini Aceh Utara induk telah terbelah menjadi tiga daerah otonomi, yakni Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten Bireuen.

Tidak mau kalah, Bireuen yang merupakan kabupaten pecahan Aceh Utara juga ingin dimekarkan lagi. Beberapa tokoh di wilayah timur kabupaten itu mewacanakan lahirnya Kabupaten Peusangan Raya. Belakangan ini, wacana serupa kembali muncul di Aceh Singkil yang merupakan daerah otonomi baru hasil pemekaran Aceh Selatan. Pecahan Aceh Singkil itu diwacanakan bernama Rimo Raya.

Bahkan, isu pembentukan Kabupaten Rimo Raya semakin menggema setelah adanya usulan pemindahan ibukota Aceh Singkil ke Rimo yang dimunculkan Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda saat meninjau korban banjir di sana, dua pekan lalu. Disebut-sebut, daerah otonomi baru itu nantinya meliputi Kecamatan Gunung Meriah, Simpang Kanan, Kotabaharu, Singkohor, Danau Paris, dan Kecamatan Suro.

Dari beberapa wacana pemekaran kabupaten itu, alasan klasik masih menjadi dasar tuntutan pembentukan daerah otonomi baru tersebut. Ketimpangan pembangunan dan sulitnya akses masyarakat mendapatkan pelayanan pemerintah menjadi pertimbangan utama. Karena itu, pemekaran wilayah dinilai sebagai solusi bagi terciptanya pemerataan pembangunan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaan kita, benarkah alasan klasik itu menjadi motif utama menguatnya tuntutan pemekaran beberapa kabupaten di Aceh selama ini? Tentu tidak semuanya benar. Sebab, cukup banyak tuntutan pemekaran kabupaten/kota dan provinsi justru semakin memperlambat proses pembangunan, disamping memperbesar tanggungan negara.

Dari catatan kita, lebih 30 persen daerah otonomi baru yang lahir pasca reformasi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Bahkan sebaliknya, tidak sedikit daerah yang layu setelah dimekarkan.

Apalagi aspirasi pemekaran dilatarbelakangi agenda personal segelintir elit politik. Dengan harapan, bila tuntutan itu terwujud maka akan berpeluang menikmati sumber-sumber kekuasaan dan ekonomi baru yang dilahirkan daerah otonomi baru tersebut. Dampak dari agenda sempit di balik tuntutan pemekaran daerah seperti itu, tentu lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.

Meski begitu, kita berharap tidak demikian dengan tuntutan pemekaran kabupatan di beberapa wilayah di Aceh. Semoga, wacana pembentukan daerah otonomi baru itu bukan sebatas kepentingan politik segelintir elit, melainkan sepenuhnya demi pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah masing-masing.[]


IkutiĀ semua Berita Tabloid Merdeka Edisi 191 versi digital dengan hastagĀ #PM193.

[ddownload id="333336"]

Komentar