PM, Banda Aceh – Deretan karangan bunga memenuhi pelataran T Nyak Arief, tepat di depan Kantor Gubernur Aceh, Rabu (17/2/2021). Isinya sarkas, seputar ucapan selamat karena Aceh kembali menyandang predikat sebagai provinsi termiskin di Sumatera.
“Jackpot, Juara 1 Termiskin se-Sumatera,” tulis salah satu plang.
Lainnya tak kalah menarik. Seperti ucapan yang mengatasnamakan ‘Kaum Dhuafa’ yang berbunyi, “Terima Kasih Pak Gubernur, Telah Mempersembahkan Prestasi Juara 1 Termiskin Se-Sumatera”.
Hasil survei Badan Pusat Statistik Aceh sepertinya jadi pangkal ramainya perbincangan publik di Aceh, dari basa-basi di warung kopi sampai cuitan di alam maya. Pasalnya, dalam konferensi pers virtual, Senin (15/2/2021) Kepala BPS Provinsi Aceh, Ihsanurrijal membeberkan tingkat kemiskinan di Aceh di paruh akhir tahun 2020 lalu.
Beranjak ke September 2020, jumlah penduduk miskin di Aceh bertambah 19 ribu dalam kurun waktu enam bulan saja. Total penduduk miskin saat ini mencapai 833,91 ribu orang, yang secara persentase pun berada di angka 15,43 persen. Atau bisa diperjelas, jadi yang termiskin di Sumatera.
Angka itu sebenarnya sempat turun, dari September 2019 yang sebesar 15,01 persen lalu melandai ke angka 14,9 persen pada Maret 2020.
“Adanya pandemi Covid-19 yang tak hanya melanda Aceh, tapi juga nasional berpengaruh pada kenaikan angka kemiskinan,” terang Ihsanurrijal.
Lonjakan angka kemiskinan pun cenderung merata di tingkat desa hingga perkotaan. Ihsan menambahkan, nilai garis kemiskinan di kedua kawasan itu sama-sama dipengaruhi oleh komoditi makanan, semisal beras, rokok dan ikan. Sementara pengaruh dari komoditi non-makanan mencakup biaya perumahan, bensin dan listrik.
Pengangguran Melonjak
Masih di tahun 2020 lalu, dari Februari ke Agustus, tingkat pengangguran terbuka juga memburuk jadi 6,59 persen. Di masa pandemi ini pula, 388 ribu penduduk usia kerja jadi terdampak taraf ekonominya.
Menurut Ihsan, jumlah pengangguran tak terlalu parah karena disokong bantuan sosial selama pandemi Covid-19. Namun itu juga tak mampu mendongkrak posisi Aceh dari jerat kemiskinan.
Saat ini, posisi Aceh sebagai provinsi termiskin disusul Bengkulu dengan persentase 15,30 persen dan Sumatera Selatan sebesar 12,98 persen.
Aceh sebelumnya sempat beranjak satu peringkat, ketika Maret 2020 lalu tingkat kemiskinannya berada di persentase 14,99 persen.
Dituding Gagal Tangani Pandemi
Bagi pengamat kebijakan publik di Aceh, Nasrul Zaman, predikat Aceh sebagai provinsi termiskin sama sekali tak mengherankan.
“Sudah diperingatkan jauh-jauh hari,” kata Nasrul kepada Pikiran Merdeka, Rabu (17/2/2021).
Amatan Nasrul, berbagai pihak telah mewanti-wanti buruknya pola penanganan Covid-19 di Aceh. Ia menyebutkan, dalam tiga aksi besar meliputi layanan kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi mikro di Aceh, pemerintah gagal menjalankannya secara paralel.
“Tak bisa sinergis,” tukasnya.
Ia mencontohkan recofusing anggaran sebesar Rp1,7 triliun untuk penanganan pandemi di Aceh. Menurutnya tak tampak hasil nyata di tengah masyarakat. Yang tersisa hanya dampak kemudian, di mana Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Aceh tahun 2020 mencapai Rp2 triliun lebih.
Menurut Nasrul, sisa anggaran itu mengindikasikan penyebab melonjaknya angka kemiskinan di Aceh. Karena penggerak utama roda ekonomi di Aceh bukanlah UMKM atau sektor lainnya, melainkan disburse APBK setiap tahunnya.
Ia juga mengkritisi lemahnya manajemen kepimpinan daerah. “Pemimpin tak mampu kelola sumber daya dan potensi yang ada untuk mendorong kesejahteraan rakyatnya, ini sumbangan paling buruk terhadap naiknya angka kemiskinan,” tandas Nasrul.
Mau Mengelak Lagi?
Tanggapan serupa dilontarkan Delky Nofrizal Qutni dari Yayasan Aceh Kreatif. Menurutnya triliunan dana otonomi khusus dan sumber anggaran lain hanya berputar di kalangan tertentu di Aceh, sekaligus gagal menyasar masyarakat menengah ke bawah.
“Alokasi anggaran yang begitu besar tapi masih salah urus,” kata Delky, Selasa (16/2/2021).
Ia mempertanyakan, apakah Pemerintah Aceh mau mengelak lagi dengan mengklaim data BPS tidak benar, seperti beberapa waktu lalu.
“Padahal, jelas-jelas faktanya Pemerintah Aceh terlalu banyak terbuai dengan program-program yang cenderung hanyalah pemborosan anggaran, dimana output dan outcome nya tidak maksimal menyentuh kepentingan riil masyarakat,” ujarnya.
Ia menyebut contoh kecil, seperti gerakan bagi-bagi masker yang operasionalnya jauh lebih mahal dari masker yang dibagikan, “Masih banyak contoh lain yang jelas-jelas hanya untuk berfoya-foya,” sebutnya.
Delky juga mengaku heran, sebab peningkatan kemiskinan di Aceh berbanding terbalik dengan besarnya alokasi anggaran belanja tidak terduga (BTT) yang mencapai ratusan miliar serta refocusing APBA hingga 2,3 triliun rupiah.
“Silakan lihat berapa persentasenya yang menyentuh masyarakat, berapa tinggi yang terindikasi mark-up dan rasional penggunaannya,” kata Delky.
Hal lainnya, bicara soal perputaran uang Aceh yang terlalu banyak ke luar, sehingga efek ekonomi di kalangan masyarakat bawah sangat kecil. Ia menyebutkan, dari sekian banyak paket APBA atau APBK dikerjakan oleh perusahaan luar.
“Jadi pajaknya keluar, perputaran uang hasil yang didapat pengusaha-pengusaha itu juga keluar, apalagi pengusahanya tinggal di luar Aceh. Maka perputaran uangnya tentu keluar, sehingga perputaran uangnya tidak di Aceh. Alhasil, daya beli melemah, perputaran uang di tataran pedagang lokal minim, harga jual hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan menurun dan pedagang lokal pun turut kewalahan,” jelasnya.
Bappeda: Pemerintah Akan Bekerja Keras
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh, Teuku Ahmad Dadek mengakui kondisi yang ada saat ini. Ia menyebut Pemerintah Aceh akan terus berupaya mendongkrak kesejahteraan masyarakatnya, terlebih dalam kondisi pandemi.
“Kita akui harus bekerja lebih keras dua kali lipat,” ujar Dadek, Selasa (16/2/2021).
Ia menerangkan, untuk tahun 2021 pemerintah punya anggaran total Rp9, 384 triliun. Dengan rincian, APBA Rp8,05 triliun, APBN Rp1,28 triliun dan CSR sebesar Rp41 miliar. Ini belum termasuk Dana Tugas Pembantuan/Dekon tahun 2021, Dana Desa serta APBD kabupaten/kota.
“Kita berharap agar dana desa difokuskan untuk pemberdayaan ekonomi, terutama dalam menghadapi pandemik 2021 sambil menunggu proses vaksinasi,” terang Dadek.
Perhatiannya juga tertuju pada sektor swasta dan UMKM di Aceh. Sektor ini harus dirangsang untuk bangkit tahun ini, dan diharapkan bisa lebih tahan dan kreatif dalam mempertahankan aura bisnisnya.
Ia menawarkan sejumlah strategi. Di antaranya menekan pengeluaran masyarakat, seperti program JKA, rumah dan lainnya, kemudian meningkatkan pendapatan masyarakat dengan berbagai bantuan, peningkatan sumber daya manusia dengan pelatihan kerja dan pendidikan.
“Serta mendorong transaksi ekonomi dengan membenahi akses jalan, seperti MYC, juga dengan menjaga stabilitas pangan dan menangani dampak bencana,” pungkasnya.
Sebelumnya, rencana pemerintah seperti yang tertera dalam dokumen konsultasi Bappeda Aceh tahun 2021 yang dirilis tahun lalu, sebenarnya sudah mengarah pada sektor ekonomi riil. Namun yang perlu dipastikan apakah implementasinya berjalan?
“Tentunya itu bisa dilihat dari besaran alokasi anggaran pada tahun 2021, seberapa besar persentasenya untuk sektor-sektor yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat seperti UMKM, pertanian, perikanan, perkebunan, dan sektor lainnya,” ujar Delky Nofrizal.
Ia bahkan menyebut, jika pemerintah terus mengalokasikan anggaran untuk kegiatan fisik yang belum tentu berdampak kepada ekonomi dan kebutuhan riil, sementara plot anggarannya terus membesar, maka dapat dipastikan pemerintah belum ‘hijrah’ dari perilaku merugikan.
“Kenapa kita katakan demikian, asumsinya jika yang menjadi fokus pemerintah Aceh adalah infrastruktur besar tanpa dampak maksimal kepada masyarakat, maka tentunya itu adalah bentuk pemborosan uang rakyat,” tandasnya.[]
Belum ada komentar