Perhutanan Sosial, Solusi Banjir Bandang di Agara

Perhutanan Sosial, Solusi Banjir Bandang di Agara
Dok. Walhi Aceh

PM, Banda Aceh – Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, bencana banjir bandang di kabupaten Aceh Tenggara telah terjadi berulang kali. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat, banjir mengakibatkan kerusakan beruntun pada puluhan rumah penduduk dan sarana jalan di sana.

Direktur eksekutif Walhi Aceh, M Nur menyebutkan, saat banjir terjadi banyak terdapat material kayu gelondongan yang terlihat seperti bekas tebangan. Meski beberapa kayu tersebut telah lapuk termakan usia tetapi ujung dan pangkal kayu terlihat bekas potongan dengan menggunakan gergaji mesin (chainsaw).

“Kondisi ini menunjukkan bahwa aktifitas illegal loging di kawasan tersebut benar adanya,” ujar M Nur dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (22/1).

Karena itu, ia mendesak pemerintah segera menindak semua pihak yang terlibat dalam aktifitas tersebut. Selain upaya rehabilitasi dan reboisasi, Walhi juga menekankan pentingnya pendekatan sosial dengan melibatkan masyarakat terdampak.

“Upaya rehabilitasi dan reboisasi hendaknya tidak dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi pelibatan masyarakat setempat juga menjadi penting sebagai pelaku utamanya,” tambah dia.

Walhi mengurutkan, banjir bandang pertama terjadi Senin (27/11) pukul 21.30 WIB yang melanda sejumlah desa di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Badar, Ketambe dan Kecamatan Leuser. Akibatnya tiga rumah hanyut  dan 40 lainya rusak.

Tiga hari kemudian, tepatnya Jumat (30/11) sekitar pukul 19.30 WIB banjir bandang kembali melanda Desa Natam Baru Kecamatan Bandar dan Desa Kayu Metangur di Kecamatan Ketambe yang mengakibatkan belasan rumah rusak dan hanyut. Banjir bandang tersebut juga menutup akses jalan Aceh Tenggara dengan Sumatera Utara akibat jalan tergenang dan tertutup material batu dan pepohonan yang terbawa arus banjir bandang.

Banjir bandang selanjutnya terjadi pada Rabu (26/12) sekira pukul 21.00 WIB di Desa Suka Makmur Kecamatan Semadam. Terakhir, banjir bandang kembali menerjang Desa Natam Baru Kecamatan Badar, pada minggu (30/12) sekitar pukul 21.30 WIB. Selain merusak belasan rumah, banjir juga berdampak terhadap akses jalan yang menghubungkan Aceh Tenggara ke Sumatera Utara akibat material batu dan kayu gelondongan menutupi jalan.

Implementasi Perhutanan Sosial

Salah satu upaya Walhi Aceh dalam melibatkan masyarakat terkait pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan, adalah mendorong implementasi Perhutanan Sosial di Aceh.

Perhutanan Sosial adalah upaya legal pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan tanpa merubah fungsi hutan. Pemanfaatan itu dilakukan dengan mengedepankan praktek-praktek yang selama ini masih eksis dan dipertahankan oleh masyarakat berdasarkan pengetahuan dan kearifan lokal.

Peraturan Menteri LHK No.P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial memberikan akses legal kepada masyarakat setempat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya dan kelestarian sumber daya hutan. Pemanfaatan hutan yang dimaksud dalam Perhutanan Sosial adalah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan seperti ekowisata, tata air, keanekaragaman hayati dan penyerapan/penyimpan karbon.

“Tentu perlu pendampingan serius dan terus menerus dari berbagai pihak agar pengebalian fungsi kawasan sebagai penyangga kehidupan dapat diwujudkan,” sebut dia.

Pemberian hak pengelolaan dan pemanfaatan hutan kepada masyarakat setempat tentu dengan syarat dan ketentuan yang ketat seperti: tidak mengubah fungsi dan status kawasan hutan, pengelolaan dilakuka secara komunal, serta tidak menanam sawit.

“Oleh karenanya Walhi Aceh mendesak Pemerintah Aceh untuk segera mengoptimalkan kinerja  Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (POKJA PPS) Aceh sebagai dinamisator implementasi perhutanan sosial di Aceh,” kata M Nur.

Untuk diketahui, Pokja PPS beranggotakan para pihak yang terkait dan peduli dengan isu perhutanan sosial seperti DLHK, KPH, BPSKL, Akademisi, CSO dan Swasta. Mereka bertugas melakukan sosialisasi, pencermatan peta indikatif alokasi perhutanan sosial (PIAPS), fasilitasi dan verifikasi permohonan masyarakat, koordinasi dengan para pihak terkait serta monitoring dan evaluasi.

“Optimalisasi kinerja Pokja PPS Aceh menjadi pekerjaan mendesak yang harus segera direalisasikan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini DLHK Aceh selaku ketua Pokja PPS Aceh. Sehingga upaya pelestarian sumber daya hutan dan mitigasi bencana dapat dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat terdampak,” tutup M Nur. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait