Oleh: Ismar Ramadhani
Analysis Manajer The Aceh Institute

Ismar Ramadhani

Hari HAM Internasional 10 Desember 2017 diperingati dengan cara berbeda-beda di Aceh. Sekelompok mahasiswa melakukan aksi damai di Simpang Lima Banda Aceh yang sering dijadikan pusat kegiatan peringatan semacam ini. Namun beberapa pihak melakukannya dengan cara yang berbeda, seperti aksi Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPUK) yang melakukan serangkaian kegiatan napak tilas dalam upaya mengingat dan memaknai hari HAM. Antara lain mereka menggelar aksi di Tugu Tragedi Simpang KKA Aceh Utara dan mendatangi Pos Penyiksaan pada masa konflik di Rancong, Lhokseumawe.

Meski telah memiliki lembaga yang bertugas untuk melakukan pengungkapan kebenaran yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR), ternyata isu HAM dan pengungkapan kebenaran masih menghadapi banyak kendala. Di antaranya, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang keberadaan dan tugas dari lembaga ini. Termasuk adanya pro dan kontra dari masyarakat dalam agenda pengungkapan kebenaran ini. Kondisi ini diperparah lemahnya dukungan pemerintah, baik dari Pemerintah Aceh maupun Jakarta. Sejatinya, keberadaan lembaga KKR imerupakan pencapaian luar biasa bagi Aceh, Indonesia termasuk untuk kawasan Asia Tenggara.

Agenda pengungkapan kebenaran merupakan kerja besar yang membutuhkan energi dan perhatian semua pihak. Ada 10.000-30.000 jiwa yang menjadi korban konflik selama periode 1976-2004 (Data dari ELSAM dan Amnesti Internasional 2006). Dengan jumlah korban sebanyak itu, komisi ini memiliki masa kerja selama 5 tahun, dan menargetkan untuk mengambil pernyataan dari 10.000 korban konflik di Aceh pada dua tahun pertama dan sisa waktu akan digunakan untuk menyusun pelaporan.

Berdasarkan target kerja di atas, KKR dihadapkan pada kebutuhan akan sumber daya manusia dan keterlibatan semua pihak. Salah satunya dari kampus. Sebagai institusi pendidikan, kampus diharapkan dapat menjadi ‘corong’ dan rujukan bagi kerja-kerja pengungkapan kebenaran. Salah satunya dengan ‘merekam’ jejak kondisi sosial masyarakat Aceh sebelum konflik, pada masa konflik dan pasca konflik, terutama dalam agenda pengungkapan kebenaran ini. Bahwa konflik dan tsunami telah mengubah wajah Aceh dengan begitu cepat, termasuk pengaruh-pengaruh, baik positif maupun negatif, yang dialami masyarakat Aceh. Sehingga penting untuk ‘mendefinisikan’ ulang sosial masyarakat melalui pendekatan akademis.

POSISI KAMPUS
Bersamaan dengan peringatan hari HAM sedunia, pada 7 Desember 2017 civitas akademik kampus Unversitas Malikul Saleh mengadakan seminar bertema ‘Peran Akademisi Dalam Penguatan Perdamaian Aceh Berkelanjutan’ (Zonamedia.co). Empat hari berselang, kegiatan yang sama juga dilakukan di kampus UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Dari dua kegiatan ini, terutama seminar di UIN Ar-Raniry, perserta yang notabene adalah mahasiswa yang tidak merasakan langsung konflik banyak yang terkejut dan tidak percaya ada kekejian dan pelanggaran terhadap kemanusiaan yang begitu mengerikan pada masa itu. Salah seorang narasumber memberi saran pada mahasiswa untuk membaca buku Aceh Bersimbah Darah, sebuah karya yang merekam dengan baik bagaimana pelanggaran HAM terjadi.

Dalam pengamatan saya, ada beberapa hal yang harus dan dapat dilakukan oleh kampus dalam mendukung kerja KKR. Pertama, menjadikan agenda pengungkapan kebenaran ini sebagai bagian dari kerja akademik kampus. Bahkan agenda ini dapat menjadi kekhususan studi di masing-masing universitas dengan latar belakang studi per fakultas yang beragam. Kegiatan seperti ini justru sudah dilakukan oleh LSM seperti The Aceh Institute dengan program Transitional Justice School (Baca: Berbagi Tuah Keadilan Transisi) dan KontraS dengan Sekolah HAM.

Merujuk pernyataan Ketua KKR saat berbicara dalam seminar yang dilakukan oleh Unimal, bahwa KKR membutuhkan dukungan seperti dari akademisi FISIP dengan latarbelakang keilmuan seperti antropologi, sosiologi, komunikasi, politik, adminitrasi negara, adminsitrasi publik. Tidak menutup kemungkinan juga bagi jurusan lain yang ‘beririsan’ dengan kerja KKR seperti psikologi dan lain-lain.

Kedua, peran kampus dalam hal riset. Sudah menjadi tugas mahasiswa dan dosen untuk melakukan penelitian. Menuliskan kembali apa yang sudah terjadi, menganalisa sebuah kejadian dengan menggunakan konsep tertentu sebagai hasil penelitian merupakan kekayaan intelektual seorang akademisi, dan kemampuan kampus untuk terlibat menyelesaikan persoalan masyarakat merupakan arti penting dari keberadaan lembaga ini. Hal ini adalah tugas dari perguruan tinggi yang tercantum dalam Tridharma Perguruan Tinggi.

Ketiga, pengabdian masyarakat. Hampir semua wilayah Aceh pernah mengalami konflik. Hal ini turut mempengaruhi sosial masyarakat, baik secara psikologis maupun ekonomi dan kesejahteraan. Hal ini menyebabkan Aceh tertinggal jauh dari provinsi lain, baik dari sisi Sumber Daya Manusia maupun kesejahteraan. Sehingga keterlibatan kampus untuk mendampingi masyarakat melalui program pengabdian sangat dibutuhkan. Dalam bayangan saya, fakultas atau jurusan tertentu yang beririsan dekat dengan program pengungkapan kebenaran ini dapat membuat sebuah program tematik untuk pengabdian masyarakat. Baik oleh dosen maupun mahasiswa.

Keempat, keterlibatan pertama dan kedua ini secara langsung dapat mengikat mahasiswa, yaitu generasi muda Aceh untuk menjadi relawan pengungkapan kebenaran. Salah satu tantangan yang dihdaapai oleh KKR yaitu penolakan dari masyarakat, mulai dari karena alasan ketakutan, trauma, atau tidak mau mengingat kembali hal buruk yang pernah mereka alami. Pada posisi ini, mahasiswa sebagai generasi muda yang dapat melihat sisi baik dari pengungkapan kebenaran ini dapat mengajak korban atau keluarga korban, atau bahkan melakukan pendampingan agar mau terlibat dalam agenda ini.

Merujuk pada pernyataan Evi Zain dalam seminar yang dilakukan di UIN Ar-Raniry, di mana mahasiswa dapat menjadi perpanjangan tangan KKR dalam memberikan informasi kepada masyarakat atau masyarakat korban, bagaimana mereka bisa terlibat dalam upaya pengungkapan kebenaran ini.

Agenda pengungkapan kebenaran merupakan sebuah lompatan sejarah yang berani bagi Aceh. Mengingat kembali luka dengan tujuan agar tidak terjadi pengulangan sejarah merupakan itikad baik. Pengungkapan kebenaran untuk menjaga perdamaian sebagai sesuatu yang abadi di Aceh bagi generasi berikutnya. Jika agenda ini adalah kerja kemanusiaan, maka merekam jejak kerja pengungkapan kebenaran dalam naskah akademis tidak kalah mulianya.

Menjadikan kampus sebagai rujukan bagi siapapun yang ingin belajar agenda pengungkapan kebenaran di Aceh adalah peran yang paling mungkin dilakukan oleh kampus di Aceh. Bahwa proses terbentuknya KKR yang ‘dramatis’, kerja KKR yang penuh keterbatasan, keterlibatan masyarakat sipil mendukung lembaga ini, merupakan kejadian nyata yang ‘layak’ diangkat sebagai pembelajaran bagi Aceh.

Saya kira, sudah saatnya kampus mengambil peran pentingnya sebagai lembaga rujukan. Jika selama ini kita mengunjungi Belanda untuk tahu siapa Aceh sebenarnya pada masa lalu, semoga kali ini kita tidak perlu pergi dari luar Aceh untuk belajar perdamaian Aceh. Semoga![]

Komentar