Hasil uji kompetensi, tak satu pun guru non-PNS lulus di grade pertama. Akibatnya, mereka gagal memperoleh gaji setara UMP Aceh.

Program seratus hari kerja pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah menyiratkan kabar gembira bagi para guru honorer di Aceh. Gaji mereka akan dibayar dengan standar Upah Minumum Regional (UMR) sebesar Rp2,7 juta per bulan.

“Tenaga kontrak non-pendidik dibayar penuh UMP, tidak adil rasanya kalau guru dibayar per jam mengajar. Ke depan (2018), semua guru kontrak dibayar penuh UMP. Tidak ada lagi honor, bakti dan kontrak, semua sama,” kata Irwandi Yusuf saat memaparkan program kerja seratus hari di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA.

Dalam pertemuan dengan DPRA tersebut, Irwandi juga menyebutkan akan ada proses penyeleksian kembali terhadap guru-guru non-PNS tersebut. “Jadi ke depannya akan ada pengurangan guru kontrak,” tegas Irwandi.

Jika janji tersebut direalisasikan, maka hal ini akan menjadi sesuatu yang indah bagi para guru honorer yang selama ini dibayar di bawah UMR.

Sebenarnya, pemerintah telah berusaha merealisasikan janji itu untuk mensejahterakan para guru honorer. Namun, niat tulus Irwandi ini tak mulus dieksekusi oleh Kadis Pendidikan Aceh, Laisani. Dalam surat yang ditandatangani oleh Laisani pada 28 Maret 2018 lalu, dipastikan tidak ada satupun guru kontrak maupun honorer dan bakti yang bakal mendapatkan gaji sesuai UMP Aceh sebesar Rp2,7 juta per bulan.

Belakangan gaji para guru non-PNS ditentukan berdasarkan grade hasil uji kompetensi guru yang dilaksanakan Dinas Pendidikan Aceh. Pada grade I ditetapkan upah sebasar Rp2.700.000, grade II Rp2.500.000, grade III Rp. 2.300.000, grade IV Rp2.100.000 dan terakhir grade V sebesar Rp1.900.000.

“Hasilnya, tidak seorang pun mendapatkan grade I, sehingga tidak ada guru non-PNS yang mendapatkan gaji sesuai UMP,” sebut sumber Pikiran Merdeka yang juga mengikuti tes tersebut.

Menurut dia, sebenarnya soal yang diberikan dalam uji kompetensi untuk menentukan grade itu tak begitu sulit. Ujian Computer Assisted Test (CAT) yang dilaksanakan terbagi ke tiga tahap, terdiri dari pedagogig, kejuruan, dan agama.
Sayangnya, papar dia, banyak peserta yang mengeluh soalnya tertukar. Ia mencontohkan, guru yang seharusnya diberikan mata pelajaran Fisika namun yang keluar mata pelajaran bidang lain. Begitu juga guru kejuruan yang mengajar computer namun soal yang diberikan pelajaran otomotif.

“Dalam uji tersebut saya lulus di grade IV dan telah dipanggil ulang pada Selasa (17/4) lalu,” ujar pria yang tengah meyelesaikan studi magister di Unsyiah ini.

Proses penyeleksian terhadap guru non-PNS ini digelar pada 23-24 Desember 2017 lalu. Semua guru non-PNS dari kabupaten/kota mengikuti uji kompetensi guru yang dilakukan dengan standarisasi komputer.
Adalah Yeni, guru asal SMK 1 Kaway XVI Aceh Barat, mengaku baru pertama kalinya ia mengikuti tes seperti itu. Sebelumnya ia telah mengabdi selama kurang lebih tujuh tahun di sekolah tersebut. Suatu kabar gembira baginya ketika pihak sekolah menghubunginya dan mengabari jika ia dan guru honor lainnya akan segera di-SK-kan setelah mengikuti uji kompetensi guru.

Menurut Yeni, selama ini ia dan beberapa teman gurunya hanya mengabdi tanpa SK. ”Saya langsung lengkapi berkas dan pada tanggal 23 Desember mengikuti tes komputer di Meulaboh,” kata Yeni, Jumat malam lalu.

Selanjutnya ia mengikuti serangkaian tes dengan sistem komputer, seperti tes pedagogig, Bahasa Inggris, kejuruan dan agama. “Karena belum pernah mengikuti tes-tes semacam itu memang agak bingung. Tapi sebelum tes itu ada soal-soal latihan juga,” kata Yeni.

Tidak banyak persyaratan yang harus diselesaikannya sebelum mengikuti tes. Syaratnya hanya pengajar sudah terdaftar dalam data Dapodik. Pada pengumuman kelulusan UKG tahap 1, Yeni adalah salah satu peserta UKG yang dinyatakan lulus pada grade V.

Di hasil pengumuman pertama untuk UKG non-PNS, diketahui sebanyak 275 orang guru SLB dinyatakan lulus dan 544 orang guru SLB dinyatakan mengikuti ujian ulang. Sementara untuk guru SMK, dinyatakan sebanyak 2.114 orang lulus tes dan 4.360 orang harus mengikuti ujian ulang.

Dari 2.114 peserta, tidak ada satu orang pun dinyatakan lulus di grade I dan hanya empat guru yang lulus di grade II dengan upah Rp2.500.000 per bulan. Dengan demikian, masih belum ada guru non-PNS yang menerima gaji sesuai UMP.

Sementara itu, guru-guru yang tak lulus UKG dan nilainya kurang dari 51 namun namanya masih tercantum dalam data Pemerintah Aceh tahun 2017, maka mereka tetap diwajibkan mengajar dengan honor Rp15.000 per jam tatap muka dan maksimal 24 jam mata pelajaran.

Meski begitu, persoalan belum selesai sampai di sini. Menurut sumber Pikiran Merdeka yang lulus di grade IV ini, kebijakan tersebut merugikan mereka yang pada tahun-tahun serbelumnya digaji oleh Pemko Banda Aceh.

Sebagai guru non-PNS, lanjut sumber ini, gaji yang diterima sebelumnya dari Pemko Banda Aceh lebih baik dari yang sekarang. Dulu dia mengaku digaji Rp50 ribu per jam. Dengan asumsi 24 jam mengajar dalam seminggu, ia digaji hingga Rp4,8 juta per bulan. Namun, dengan kebijakan ini dia harus “rela” digaji sebesar Rp2,1 juta saja. Ini belum lagi sejak awal tahun dirinya belum digaji karena proses pengumuman ini yang berelarut-larut. “Padahal tes sudah dilakukan sejak Desember tahun lalu,” uangkapnya.

Begitupun, kata dia, persoalan lain akan dihadapi para guru tersebut, terutama terkait jumlah jam mengajar akan sulit diperoleh dengan merujuk standar yang ditetapkan Disdik Aceh. Ia lalu menyampaikan keluhan salah seorang temannya di salah satu SMK di daerah bahwa akan sulit mendapat jam mengajar hingga 24 jam per minggu.

Kondisi itu disebabkan sekolah akan lebih memprioritaskan guru sertifikasi. “Kalau tak sampai 24 jam mengajar dalam seminggu, tentu tak bisa digaji juga segitu,” jelasnya.

Upaya Pikiran Merdeka meminta keterangan Kadisdik Aceh Laisani tak membuahkan hasil. Saat Pikiran Merdeka bertandang ke kantornya pada Jumat (20/4) pekan lalu, Kadisdik tidak berada di kantor. Salah seorang stafnya menyampaikan bahwa ia tak masuk kantor. Begitupun, upaya menghubungi melalui sambungan telepon, Laisani juga tak diresponnya.

Sementara Kepala Bidang SMA Dinas Pendidikan Aceh, Dermawan menjelaskan, para guru itu memang dibayar berdasarkan grade. Untuk grade I memasang upah dengan standar UMP sebesar Rp2,7 juta per bulan. Sedangkan grade di bawahnya dengan upah di bawah UMP supaya para guru bisa berlomba untuk meningkatkan grade mereka.

“Para guru ini beda dengan pegawai lain yang bekerja dengan standar delapan jam per hari. Mereka tidak bisa semuanya digaji sesuai UMP,” katanya.

Dikatakannya, penetapan upah dengan grade-grade tersebut untuk memotivasi para guru bekerja sesuai standar. “Mereka yang grade I bekerja 24 jam per minggu dan digaji Rp2,7 juta per bulan, itu sudah sesuai. Jika mereka yang berada di grade bawah ingin meningkatkan upah mereka, maka harus berusaha lagi pada tes-tes selanjutnya,” ujar dia.

Selain itu, lanjut Dermawan, janji pemerintah akan mengakui para guru honorer juga sudah direalisassikan dengan diberinya kesempatan pada mereka yang sudah terdaftar di Dapodik supaya bisa diangkat sebagai guru kontrak.

“Semua guru honor akan diangkat menjadi guru kontrak selama ia dinyatakan lulus pada ketiga tahapan tes UKG non-PNS,” ujarnya.

“Pada tahun 2017 lalu tercatat kurang lebih 12.000 guru honorer. Sementara yang mengikuti tes UKG non-PNS kemarin ada 9.000 peserta.”

Terkait janji tersebut, Ketua Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar GB), Sayuthi Aulia mengaku pernah menanyakannya ke pihak Dinas Pendidikan Aceh. Namun, dari pengakuan Disdik Aceh padanya hal itu tidak bisa dilakukan karena tidak sesuai dengan aturan.

“Kami sudah pernah tanyakan soal itu ke Dinas Pendidikan. Tapi katanya itu tidak bisa dilakukan karena aturannya pegawai yang digaji di atas UMR itu adalah pegawai yang bekerja mulai pukul 8 sampai pukul 5 sore. Sedangkan guru jam kerjanya tidak demikian,” jelasnya.

Soal banyaknya guru yang lulus hanya pada grade III, IV dan V, dia mengatakan semua itu tidak hanya semata karena kelemahan guru-guru tersebut. Namun, menurut Sayuthi, lebih disebabkan tidak terbiasanya guru-guru menggunakan sistem uji kompetensi dengan standarisasi komputer. “Permasalahannya, banyak guru kita yang belum terlalu menguasai teknologi seperti guru-guru honor yang sudah tua-tua itu,” katanya.

Diakuinya, memang banyak standar yang harus disesuaikan pada uji kompetensi lalu. Misalnya, tes kemampuan tidak hanya dilakukan dengan tes teoritis saja akan tetapi ditambah dengan uji praktiknya. “Guru dituntut tidak hanya cerdas, akan tetapi harus punya kemampuan mengajar. Ada sebagaian guru yang cerdas namun kemampuan mengajarnya kurang. Oleh sebab itu, kami meminta dinas pendidikan untuk mengkaji ulang sistem tes UKG tersebut,” pintanya.

Selain itu, soal uji kemampuan dengan sistem komputerisasi dinilainya kurang tepat. Sebab, menurutnya masih banyak guru di daerah yang belum terlalu paham soal mengaplikasikan komputer. “Jika Disdik tetap menggunakan sistem komputerisasi sebagai standarisasi pengujian, maka harusnya ada pembekalan atau semacam try out terlebih dahulu bagi mereka,” sarannya.

Sayuthi juga menyangkan nasib guru-guru non-PNS yang tidak diizinkan mengikuti ujian ulang dikarenakan materi ajar mereka tidak linier dengan pendidikan awal mereka. Sayuthi berharap, mereka tetap diizinkan untuk mengikuti ujian ulang karena kebanyakan dari mereka telah mengabdi selama belasan tahun. “Misalnya lulusan Biologi yang mengajar Bahasa Indonesia, itu kemarin mereka tidak diizinkan mengikuti ujian ulang karena dianggap tidak linier,” ujar dia.

DPRA PRIHATIN

Ketua Komisi V DPRA Mohd Alfatah menyayangkan banyaknya guru yang lulus dengan grade rendah. Artinya, mutu pendidik di Aceh masih rendah. “Ke depan guru-guru yang masih belum sesuai harapan akan kita diklat,” ujarnya.

Menurut dia, adanya uji kompetensi bagi guru-guru tersebut sangatlah baik untuk meningkatkan mutu pendidik di Aceh. “Uji kompetensi itu bagus, untuk meningkatkan mutu guru-guru di Aceh,” tambahnya.

Dia mengapresiasikan langkah pemerintah yang terus mengupayakan upah bagi guru-guru tersebut agar sesuai dengan UMP. “Penentuan upah sesuai grade ini menjadi pemicu untuk guru-guru tersebut agar meningkatkan kualitasnya supaya mereka bisa digaji sesuai UMP,” pungkasnya.[]

Komentar