Penegakan Syariat Tanpa Standar (Editorial)

Penegakan Syariat Tanpa Standar (Editorial)
Konser Band Armada beberapa waktu lalu di Banda Aceh.(PM/IST)

Penegakan Syariat Islam di Aceh masih terkesan tebang pilih. Setidaknya, kesan itu terlihat jelas dalam razia-razia yang dilaksanakan polisi syariat atau WH. Baik razia pakaian non-syar’i maupun penertiban rumah kecantian dan tempat hiburan, sejauh ini masih kental unsur pilih kasih.

Terkait penertiban hotel yang dicurigai melaksakan kegiatan melanggar syariat, misalnya. Sasaran razia masih sebatas hotel kelas melati, tanpa menyasar hotel berbintang yang memang rawan pelanggaran syariat. Padahal, beberapa hotel di Banda Aceh diketahui memiliki bar, diskotik, dan pub.

Begitu juga terkait larangan penyelenggaraan acara hiburan semacam konser musik. Boleh tidaknya pelaksanaan acara itu, sangat tergantung pada siapa penyelenggaranya. Izin dengan gampang bisa diperoleh kalau pelaksananya kalangan ‘berkuku’, baik izin dari pemerintah daerah maupun izin keramaian dari kepolisian.

Lain cerita kalau penyelenggaranya masyarakat biasa, dipastikan izinnya akan dipersulit. Kalaupun berhasil mengantongi izin, tetap saja sulit melaksanakan kegiatan hiburan karena ditentang habis-habisan oleh kelompok massa tertentu. Anehnya, bila kalangan ‘berkuku’ penyelenggaranya, mereka sama sekali tak berkutik.

Karena itu, penerapan Syariat Islam di Aceh hari ini bukan saja ditertawakan orang luar, tapi dilecehkan sebagian masyarakat sendiri. Pelaksanaan hukum sejak awal juga hangat-hangat tahi ayam, dan nyaris pupus kemudian. Sebuah proyek politikkah agama ini? Entahlah, hanya mereka yang tahu.

Sikap diskriminatif semakin menjadi-jadi belakangan ini. Kalau kegiatan secara kecil-kecilan di malam hari langsung ditindak tegas, tapi kalau konser besar (yang diselenggarakan oleh orang-orang besar pula) tidak ada yang mempersoalkannya. Anak-anak kita tentu akan mengira bahwa beginilah cara bersyariat yang sebenarnya. Padahal, ini hanya kesalahan kita dalam menerapkan hukum Allah tersebut.

Padahal, kalau kita sepakat melaksanakan Syariat Islam secara kaffah di Aceh, pola penegakan syariat semacam itu harus dihilangkan. Setiap penertiban harus dilakukan sesuai standar dan tidak diskriminatif. Bukan seperti sekarang ini, justru mempertontonkan ketimpangan hukum.

Ingat, Islam adalah akidah dan syariah. Di dalamnya mengatur seluruh kehidupan manusia. Tidak ada satupun kehidupan yang tidak diatur oleh Islam. Setiap muslim juga diwajibkan mengikatkan seluruh perbuatannya dengan hukum syara’. Begitu juga dalam menegakkan syariat, semuanya harus berdasarkan standar dan ketentuan hukum. Bukan penegakan sesuka hati yang mendiskreditkan Syariat Islam itu sendiri.

Kalau penegakan syariat masih tebang pilih seperti sekarang ini, maka sebaiknya label daerah penegakan Syariat Islam bagi Aceh perlu ditinjau kembali. Karena, kemaksiatan dan kemungkaran tetap saja merajelela jika penegakan hukum Islam masih setengah hati.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

IMG 20201120 WA0000
Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, didampingi Sekretaris Daerah Aceh, Taqwallah, bersama Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin, dan seluruh pimpinan DPRA lainnya, menandatangani nota kesepakatan bersama terhadap KUA dan PPAS tahun 2021, di Gedung Paripurna DPRA, Jumat (20/11/2020). (Foto/Humas)

DPRA Minta KIP Plenokan Tahapan Pilkada Aceh 2022

Bendungan Krueng Susoh Penuh Sampah, Dinas PU Abdya: Bukan Wewenang Kami
Bendungan Krueng Susoh, Desa Kuta Tinggi, Kecamatan Blangpidie, Abdya tampak kotor dan penuh sedimen, hingga saat ini belum ada tindakan pembersihan dari instansi terkait, Selasa (12/1) | Pikiran Merdeka/Syahrizal Husni

Bendungan Krueng Susoh Penuh Sampah, Dinas PU Abdya: Bukan Wewenang Kami