Negeri ini tak henti-hentinya ditimpa bencana alam, tidak terkecuali di Aceh. Beberapa hari terakhir, pemberitaan media dihiasi oleh bencana banjir. Siklus tahunan ini merata hampir seluruh wilayah di Aceh, dari ujung timur, utara, tengah, barat-selatan hingga daerah kepulauan semacam Aceh Singkil. Curah hujan yang cukup tinggi membuat sungai dan waduk meluap. Tanggul pun jebol karena tak mampu menampung debit air.
Belum selesai menghadapi bencana tersebut, Aceh kembali dilanda puting beliung. Puluhan bangunan rumah dan ruko milik warga Tanoh Anoe, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, hancur diterjang angin puting beliung, Rabu (6/12/2017) sekitar pukul 17.00 WIB. Boleh jadi, rangkaian bencana ini diakibatkan Siklon Cempaka yang melintasi sejumlah wilayah di Indonesia.
Secara geografis, daerah kita memang berada di lokasi yang rawan bencana. Terlebih bagi Aceh dan beberapa wilayah lain di Indonesia yang berada persis di wilayah yang kerap disebut sebagai Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik. Karenanya, ancaman bencana geologis senantiasa mengintai kita akibat adanya gugusan gunung berapi.
Selain itu, wilayah Aceh juga masih berpotensi diguncang gempa berskala besar. Ini dikarenakan letak geografis Aceh yang berada persis di persimpangan lempengan bumi antara kerak Indo Australia dan Eurasia. Hanya saja, karena tidak bisa diprediksi, kita tidak tahu kapan gempa (besar) itu akan terjadi dan seberapa besar kekuatannya.
Dengan beragam risiko bencana alam yang terus mengintai, Pemerintah Aceh seharusnya sejak jauh-jauh hari menyiapkan program mitigasi yang holistik sehingga dapat menekan risiko. Pemerintah, dengan segenap perangkatnya, wajib mengupayakan minimalisasi angka korban dan kerugian yang ditimbulkan. Bukan sebaliknya, baru ramai-ramai bicara mitigasi dan penanggulangan setelah bencana terjadi.
Dari tahun ke tahun, kesadaran pemerintah mengenai kebencanaan terlihat masih sangat rendah. Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota di Aceh belum menaruh perhatian yang lebih serius menyangkut pengurangan resiko kebencanaan. Ini dapat dilihat dari minimnya anggaran, rendahnya kualitas teknologi, dan minimnya pendidikan kesiapsiagaan bencana.
Yang terlihat selama ini, setiap ada bencana, selalu saja ramai-ramai bicara dampak sosial hingga dampak politik. Padahal, tujuannya sudah bisa ditebak, kalau tidak untuk popularitas dan naik pangkat, ya memburu proyek-proyek rehap-rekons pascabencana. Jarang sekali penguasa yang benar-benar ikhlas membantu tanpa pamrih.
Karena itu, jangan heran kalau langkah pemerintah dalam menanggulangi bencana selama ini lebih bersifat proyek. Penyaluran bantuan untuk para korban pun hanya sebagai bentuk pencitraan pejabat dan seremonial belaka. Bahkan, bantuan yang disalurkan juga kerap tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Kita berharap, kondisi demikian tidak terulang dalam proses penanggulangan bencana alam kali ini. Baik pemberian bantuan bagi korban banjir yang tersebar di sejumlah daerah maupun bantuan untuk korban puting beliung di Bireuen, harus dialokasikan sesuai kebutuhan.
Menghadapi kemungkinan bencana susulan, pemerintah harus lebih serius mengoptimalkah langkah-langkah mitigasi. Untuk menghindari banjir, misalnya, antara lain dengan membuat waduk, sumur serapan, revitalisasi sistem drainase, normalisasi sungai, dan sebagainya.
Tak kalah pentingnya, Pemerintah Aceh dan jajarannya juga bertanggungjawab memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang kebencanaan. Seluruh instansi terkait harus lebih proaktif memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai wawasan kebencanaan. Hal ini penting, untuk meminimalisir jumlah kerugian dan korban, di samping mencegah kepanikan saat bencana serupa terulang di masa-masa mendatang.[]
Belum ada komentar