Mahar tinggi dan politik transaksional dimainkan Parpol menyosong Pilkada Aceh 2017. Memberatkan kandidat dan membebani masa depan Aceh.
Hingga penghujung Juli 2016, selain Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah mendukung Partai Aceh untuk mengusung Muzakir Manaf, tak satupun partai politik berbasis nasional bersikap tegas terkait arah dukungan kepada kandidat gubernur. Padahal, banyak calon masih menggantungkan harapan untuk maju melalui partai politik.
Sejumlah kandidat dalam posisi dilematis, menunggu usungan partai atau beralih melalui jalur independen. Mengingat, sebelum 3 Agustus pekan ini, para kandidat yang belum mencukupi syarat dukungan dari Parpol harus mendaftar melalui jalur perseorangan.
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh telah menetapkan, pendaftaran calon kepala daerah melalui jalur independen akan dilakukan pada 19-21 September 2016. Namun, penyerahan syarat dukungan pasangan calon gubernur dan wakilnya kepada KIP Aceh dari non-partai diilakukan pada 3-7 Agustus 2016. Dalam seminggu ke depan, tenggat waktu tersebut menjadi pertaruhan para kandidat.
Selain belum keluarnya rekomendasi resmi dari Dewan Pimpinan Partai (DPP) di Jakarta, lambannya keputusan partai dalam menentukan sikap disebut banyak kalangan tak lepas dari masih adanya permintaan mahar kapada kandidat. Sejumlah kandidat kabarnya menolak, terutama terhadap Parpol yang memasang mahar tinggi. Hal ini membuat partai tak kunjung menetapkan dukungan.
Disebut-sebut besaran mahar yang dipasang Parpol disesuaikan dengan perolehan kursi mereka di DPRA. Kabarnya, untuk satu kursi, Parpol memasang mahar ratusan juta rupiah. Bahkan, ada Parpol yang memasang mahar setara dengan biaya yang dikeluarkan kadernya saat mengkuti Pemilu hingga menduduki kursi Parlemen Aceh.
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan sikap petinggi partai nasional di Jakarta, seperti Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Keduanya secara tegas mengharamkan mahar politik dalam Pilkada. Terbukti, keinginan mereka berbenturan dengan kondisi real yang terjadi di daerah. Boleh jadi, hal ini dikarenakan operasional partai di daerah membutuhkan anggaran besar, sehingga tidak ada acara lain kecuali DPP mau menalanginya.
Di tengah kesulitan DPP untuk mencari sumber-sumber keuangan, otomatis pengurus partai di daerah memasang mahar tinggi bagi kandidat kepala daerah yang membutuhkan kendaraan politik. Kecenderungan ini mengindikasikan bahwa partai politik tidak menjungjung tinggi idealisme. Parpol menjadi semakin pragmatis. Mereka melihat, momen Pilkada sebagai sebuah sirkuit perputaran uang dalam jumlah besardan tidak lagi memaknai Pilkada sebagai momentum untuk menghadirkan perubahan.
Mengarapkan partisipasi dari kader untuk urusan membiayai kebutuhan partai, kini menjadi suatu yang mustahil. Kita tidak lagi menemukan Parpol seperti era tahun 50-an yang kadernya rela bersusah payah membesarkan partai. Bahkan mereka rela mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk membesarkan partai, seperti loyalis Partai Masyumi dan PKI dulu.
Mereka yang berkecimpung di partai politik sekarang bukan melatih kadernya menjadi negarawan, tapi mereka melihat bagaimana partai politik itu bisa menjadi timbangan finansial atau kuntungan yang bersifat ekonomi. Kini, bagaimana publik bisa percaya kepada partai jika antara omongan dengan kenyataan bertolak belakang? Dukungan bermahar tinggi dan politik transaksional kian kental dimainkan Parpol di Pilkada Aceh 2017.[]
Belum ada komentar