Anomali Kekalahan Petahana di Koetaradja

Kapanye Illiza Saaduddin Djamal (Foto Ist)
Kapanye Illiza Saaduddin Djamal (Foto Ist)

Kenyataan pahit harus diterima kandidat petahana di Pilkada Banda Aceh 2017. Salah mengemas isu atau kejenuhan warga pada kepemimpinan selama ini?

Di ruang tamu kantor Jaringan Survei Inisiatif (JSI), Aryos Nivada menerima kedatangan Pikiran Merdeka, Rabu (22/02) pagi. Ia mesti minggat sejenak dari meja rapat, setelah beberapa menit berdiskusi bersama rekan-rekan lain. Masih terlihat beberapa staf sedang sibuk membincangkan data yang memantul dari proyektor ke dinding ruangan.

“Hasil Pilkada Kota yang sangat menarik,” katanya singkat setelah mempersilakan duduk.

Aryos merasa ada semacam anomalidi Pilkada Kota Banda Aceh. Beberapa survei elektabilitas, sambungnya, menyatakan kemenangan justru berpihak di kubu petahana. Bahkan JSI, sebutnya, juga sempat melakukan survei, namun terakhir urung mempublikasi hasilnya karena ada temuan baru di lapangan.

“Ada beberapa perubahan signifikan yang terjadi beberapa hari sebelum pemilihan,” imbuhnya.

Di hari yang sama, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Banda Aceh menggelar rapat pleno rekapitulasi perolehan suara Calon Walikota dan Calon wakil Walikota Banda Aceh periode 2017-2022. Rapat di Hotel Grand Permata Hati ini menetapkan pasangan calon nomor urut 2 Aminullah Usman-Zainal Arifin sebagai pemenang. Ia mengalahkan pesaing tunggalnya, kubu petahana Iliza Sa’aduddin Djamal-Farid Nyak Umar dengan angka yang sangat telak.

Berdasarkan data KIP, Aminullah meraup dua pertiga dari seluruh jumlah suara pemilih, yakni sebanyak 63.087 suara dari total suara sah 94.453. Sedangkan Iliza menampung sisanya, hanya 31.366 suara. Pasangan Amin-Zainal unggul di seluruh kecamatan.

Pengamat pun terhenyak. Di awal masa kampanye, tak ada perkiraan selisih suara yang amat mencolok seperti ini. Poster dan baliho yang membentang di seputaran kota seakan menandai digdayanya petahana. Begitu pun kampanye di dunia daring, Iliza bak di atas angin, jadi perbincangan di mana-mana.

Kendati demikian, anomali mulai terbaca sejak satu minggu sebelum pencoblosan dimulai. Aryos menjabarkan sekian musabab kegagalan itu. Ia mengungkit kerja tim pemenangan, isu kepemimpinan perempuan, implementasi syariat Islam, hingga dugaan ada pihak yang ‘menyetir’ kepemimpinan Iliza dari belakang.

“Yang paling mendasar, saya pikir, tim pemenangan tidak terdelegasi peran dan fungsinya secara merata. Peran ketua Bapilu tidak bermain disitu,” ucap Aryos.

Baca Juga: Suara Muda, Suara Kemenangan Kota Banda

Dugaan ini bukan sangka semata. Beberapa informasi yang diterima Pikiran Merdeka, tim pemenangan kandidat ini memang tidak bekerja maksimal. Dari sekian partai pengusung pasangan Iliza-Farid, hanya PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang militan di lapangan. Bahkan ada kabar beberapa partai terendus pindah haluan diam-diam ke kubu lawan. Selain itu, tumpulnya pergerakan tim pemenangan Iliza juga tampak dari pendekatan mereka ke masyarakat.

“Pola pendekatan kampanye yang dilakukan itu bukan door-to-door, tetapi lebih mengarah pada kelompok dan komunitas. Sedangkan Aminullah cukup jeli. Dia datang ke pasar-pasar, berjumpa dengan masyarakat secara langsung di lokasi, ke pedagang kaki lima, warga pinggiran, dan sebagainya,” jelas Aryos.

Ia menilai, Aminullah cakap dalam memanfaatkan momentum. Setiap daftar kendala yang dituai dalam kepemimpinan Iliza, ia ingat baik-baik. Kekurangan itu jadi amunisinya untuk mempengaruhi pemilih. “Kendala air bersih, implementasi syariat Islam yang terbilang kaku, penyimpangan Madani Center, ini adalah rangkaian kelemahan Iliza yang dimanfaatkan oleh Aminullah. Masyarakat ingin penerapan syariat yang lebih menyeluruh.”

Berkuasa selama satu dekade, sambung Aryos, menyebabkan sebagian warga merasa jenuh dengan kepemimpinan petahana. Karenanya, karakter pemilih yang secara psikologi ingin mencari pemimpin yang baru, tentu makin menyudutkan kubu Iliza. Selain itu, isu kepemimpinan perempuan yang mencuat di akhir masa kampanye, juga tak kalah penting dicermati.

Aryos mengaku alpa menakar gejala yang satu ini. “Saya pikir isu ini tak memberi efek berarti, tapi ternyata sejak itu pula suara Iliza mulai turun drastis,” ungkapnya.

Bicara personal dan kapasitas tim, menurut Aryos, Iliza jauh lebih baik. Berbagai prestasi yang ditorehkan Pemkot Banda Aceh di tingkat nasional jadi indikasinya. Ini membuktikan Iliza sebenarnya telah mampu berdiri pada identitasnya sendiri, lepas dari baying-bayang mendiang Mawardi Nurdin, mantan walikota yang ia dampingi pada periode lalu.

“Dia sudah berhasil membangun identitas yang membuat publik melabelkan dia sebagai orang yang mumpuni dalam menjujung tinggi nilai-nilai syariat islam, dalam kebijakan dan program. Kita harus akui, Iliza punya kapasitas kepemimpinan yang bagus, konsep yang bagus,” katanya.

Berbeda dengan Aryos, akademisi UIN Ar-raniry Sehat Ihsan Shadiqin mengurai hal lain. Menurutnya, prestasi pemerintah selama ini tak sejalan dengan kondisi riil yang dihadapi masyarakat. Sehingga apapun program lain yang ditawarkan tetap tidak akan mampu mempengaruhi tingkat keterpilihannya.

“Saya melihat kekalahan petahana tidak semata-mata terdera isu keagamaan, namun lebih banyak pada masalah-masalah lain. Pertama, warga Banda Aceh sudah sangat menderita dengan masalah air bersih, tata kota, parkir semraut, pasar liar, dan pembangunan yang tidak merata,” kata Sehat.

Baca Juga: Ketika Kalah Mulai Membayang

Ketika masalah-masalah yang terkait dengan kehidupan mereka tidak terselesaikan secara tuntas, maka isu syariat Islam sekalipun, belum menjadi pilihan.

RASIONALITAS PEMILIH

Perkiraan yang kontradiktif terhadap realitas pemilih dalam Pilkot Banda Aceh beberapa waktu lalu, dimaklumi oleh Saiful Mahdi. Peneliti dari ICAIOS (International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies) ini menilai, survei elektabilitas yang dilakukan beberapa lembaga tentu dengan mudah meleset, jika tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada rendah.

“Kalau saya melihat karena relatif rendahnya partisipasi warga dalam memilih di tahun ini. meski ada peningkatan (jadinya 61 persen) dibandingkan tahun lalu, namun itu juga kan masih sedikit. Partisipasi pemilih untuk sebuah wilayah urban seperti ini, bisa jadi membuat banyak prediksi jadi salah,” katanya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.

Berbeda dengan hitung cepat (quick count) pasca pemilihan, survei elektabilitas, lanjut Saiful, tantangannya memang lebih berat. Perlu keseriusan dari satu tahun sebelum perhelatan dimulai hingga hari menjelang pemilihan. Sedangkan hitung cepat hasilnya lebih akurat.

<~–nextpage–>

“Hasilnya sudah ada, dari form C1. Jadi tidak mungkin berubah. Dan orang tidak bisa berbohong. Kecuali ada yang secara sengaja membuat quick count nya dengan memilih kantung-kantung paslon tertentu, seperti yang terjadi pada Pilpres lalu. Di mana ada beberapa lembaga survei yang merilis hasil yang salah,” ujar Saiful.

Hitung cepat memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi. Perbedaan hanya terletak dalam hal presisi, tergantung dari seberapa banyak sampel yang diambil oleh penyurvei.

Tentang kekalahan Iliza, memang secara kasat mata sulit ditebak. Saiful mengatakan banyak orang hanya melihat euforia di media massa dan berita daring. Iliza dan tim pemenangannya memang mengelola isu secara massif di sana. Informasi dalam bentuk tulisan dan visual memperlihatkan bahwa ia mampu menggalang dukungan sampai ke pelosok gampong.

“Tapi ternyata, saya beberapa hari sebelum pencoblosan sudah mendengar kabar, kemungkinan Iliza akan kalah. Karena memang yang pertama, tidak ada survei yang menunjukkan, bahwa dia akan menang. Dan banyak orang yang melihat Iliza dan timnya, punya kans yang lebih besar karena petahana,” tambah Saiful.

Mungkin, lanjutnya, partisipasi pemilih yang rendah juga memicu merosotnya suara Iliza. “Seandainya partisipasinya tinggi, ada kemungkinan angkanya tidak seburuk itu, kalaupun kalah. Ada misalnya yang yakin dan terlalu percaya diri Iliza menang, sehingga tak nyoblos pun tak terlalu berpengaruh. Jadi saya pikir ada hal dalam mobilisasi yang harus dilihat kembali di tim pemenangan mereka,” lanjut pria yang juga sebagai pengajar di Universitas Syiah Kuala ini.

Soal isu ‘haram’ memilih perempuan, pendapat Saiful tak berbeda dengan Aryos. Isu ini memang berdampak serius. Bahkan, tambahnya, upaya Iliza untuk meredamnya tak terlalu berhasil. Diduga karena ini muncul secara luas sepekan jelang pemilihan, jadi tim Iliza-Farid tak punya cukup waktu.

“Perkiraaan saya 20 persen suara Iliza termakan gara-gara isu tersebut. Walaupun timnya sudah berupaya untuk meng-counter, isu itu telanjur dimainkan dengan kuat beberapa hari menjelang pemilihan. Sendainya sudah meledak sejak awal maka usaha untuk meng-counter akan berhasil. Tapi ini kan tidak cukup waktu.”

Anomali juga ditemukan ketika kita menakar rasionalitas pemilih di kota Banda Aceh. “Politik lokal tak sepenuhnya lokal,” sebut Saiful. Ini berangkat dari bagaimana isu nasional ikut berpengaruh dalam cara pandang pemilih.

Meningkatnya sentimen keagamaan akhir-akhir ini, misalnya, turut menularkan konservatisme dengan cepat merambah di segala lapisan masyarakat. Tak terkecuali warga di Banda Aceh, yang ia lihat masih menaruh hormat yang begitu tinggi pada ulama.

“Hipotesa saya, lantaran masyarakat masih sangat menghormati ulama. Sehingga apa yang dikatakan ulama memang didengar. Artinya ada kecenderungan masyrakat urban Banda Aceh yang punya perspektif seperti ini,” tambah Saiful.

Baca Juga: Menguak Kelemahan di Tubuh PA

Namun, di sisi lain, para pemilih juga punya kecenderungan berbeda dalam menanggapi isu syariat islam. Senada dengan tanggapan akademisi UIN Sehat Ihsan Shadiqin tadi, bahwa tidak tuntasnya permasalahan nyata terkait pelayanan publik oleh pemerintah, membuat masyarakat tidak tertarik lagi pada janji-janji implementasi syariat yang digaungkan kandidat saat kampanye. “Di sinilah letak anomalinya,” sebutnya.

Peran media juga disoroti, di mana isu-isu yang dikira akan dapat melahirkan tanggapan reaktif, lebih dikedepankan. Saiful meminta media massa ikut membantu mengarahkan opini masyarakat ke arah yang lebih konstruktif, bukan malah menguatkan prinsip bad news is a good news.

“Yang saya sayangkan, dalam acara debat, KIP telah berupaya mengarahkan kandidat melalui pembahasan program turunan dari visi-misi. Tapi yang malah disorot media itu justru di bagian-bagian yang bisa memancing reaksi negatif, seperti isu kepemimpinan perempuan, debat tak diakhiri pembacaan doa, macam-macam lah,” ujar Saiful.

Secara keseluruhan, ia menilai pemilih di Banda Aceh lebih rasional ketimbang di kabupaten/kota lain. Partisipasi pemilih yang rendah, kuat dugaan mereka adalah orang yang apatis saat melihat kedua paslon tak memberi harapan yang besar.

“Artinya mereka kan berharap bakal ada paslon lain mungkin. Jadinya cerdasnya disitu. Disisi lain, kendala di kita, tidak menghadirkan calon alternatif, jikalau memang kedua calon ini tidak sebaik yang diharapkan. Kalau itu, saya kira jawabannya juga ada di sistem politik kita yang membuat halangan terlalu berat untuk pemunculan calon alternatif,” tegas Saiful.

Menurutnya, sistem politik di Aceh masih sangat oligarkis. Dimana kekuasaan hanya terbuka bagi keluarga kaya atau pengusaha besar yang punya jaringan yang  luas. “Ini harus jadi pembelajaran untuk kita.”

Kepada pemerintahan yang baru, Saiful menantikan gebrakan apa yang akan muncul nantinya. Terutama solusi di sektor ekonomi. “Dimana pemerintah kota perlu memikirkan keadaan setelah otonomi khusus tidak ada lagi. Ketika belanja pemerintah semakin berkurang. Pemerintah Banda Aceh punya kesempatan besar, karena sampai sekarang sektor jasa terutama pariwisatanya bisa diandalkan untuk menopang pendapatan kita. Tinggal dijaga momentumnya. Agar sektor ini tidak rusak,” harapnya.

Kubu Amin—Zainal tentu tidak bisa terus larut dalam euforia kemenangan. Banyak pekerjaan besar sudah menanti mereka. Ketua tim pemenangan, Heri Julius kepada Pikiran Merdeka menyampaikan, pihaknya sedang mempersiapkan segala sesuatu guna mengawal pemerintahan yang baru nanti.

“Sementara kondisi tim pemenangan sedang melakukan persiapan-persiapan untuk mengawal bagaimana program-program yang sudah digagas pada masa kampanye dapat terealisasi nanti. Yang paling utama, kita akan tetap mengawal visi-misi, kita ingatkan kembali nanti agar walikota tetap memegang teguh mandat sesuai visi-misi yang pernah kita paparkan saat kampanye lalu,” katanya melalui sambungan telepon, pekan lalu.

Baca Juga: Jejak Kemenangan Amin-Zainal

Pihaknya akan tetap konsen membangun ekonomi rakyat. Sasaran utamanya penduduk kelas menengah ke bawah. “Seperti program raskin gratis, ini disambut dengan penuh antusias oleh warga kelas menengah ke bawah di Banda Aceh. Kami prioritaskan hal ini, ini janji kami.”[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait