PM, Banda Aceh – Elemen masyarakat kian merasa prihatin dengan kondisi penyeberangan di wilayah Kuta Blang dan Teupin Mane, Kabupaten Bireuen, pasca robohnya jembatan itu akibat banjir bandang dan longsor yang kini menjadi beban besar bagi warga.
Pasalnya, ongkos penyeberangan antarwilayah tersebut melonjak tajam dibandingkan sebelumnya yang harganya masih terhitung normal.
Jaringan Nasional Aktivis 98 (Jarnas98) Provinsi Aceh menyatakan, di Kuta Blang, jembatan penghubung utama di atas sungai Krueng Tingkeum telah putus, sehingga memaksa warga menggunakan perahu nelayan untuk menyeberang.
“Ongkos penyeberangan melonjak secara signifikan,” ujar Ketua Jarnas98 Provinsi Aceh, Hendra Fadli.
Sementara di Teupin Mane, jembatan ambruk membuat akses menuju sejumlah wilayah terputus total, sehingga warga terpaksa menyeberang menggunakan “sling” atau keranjang besi terpasang kabel baja, metode darurat yang jauh dari standar keselamatan.
Bahkan, insiden kecelakaan pernah terjadi: sebuah perahu motor penyeberangan di Krueng Tingkeumyang membawa penumpang warga — terbalik.
“Meski dilaporkan semua selamat, kejadian ini memperlihatkan betapa rapuh dan berisikonya layanan penyeberangan alternatif ini,” katanya melanjutkan.
Jarnas98 menyatakan kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal memetakan secara proaktif kebutuhan vital warga di wilayah terdampak — terutama akses mobilitas darurat dan transportasi aman — sehingga warga terpaksa memikul beban berat: ongkos tinggi, risiko tinggi, pelayanan seadanya.
“Tidak adanya pengaturan tarif darurat yang wajar dan adil, serta minimnya pengawasan terhadap penyedia jasa penyeberangan darurat (baik perahu nelayan maupun penyeberangan sling),” ujar Hendra.

Fasilitas penyeberangan darurat yang muncul adalah inisiatif masyarakat/swasta, bukan layanan terencana dari pemerintah — ini menunjukkan lemahnya respons pemerintah terhadap tanggap darurat.
Metode penyeberangan darurat saat ini — perahu, sling, keranjang — jauh dari standar keamanan dan kenyamanan, yang seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam situasi darurat.
Melalui siaran pers Jarnas98 Aceh mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk segera menetapkan regulasi tarif penyeberangan darurat di Kuta Blang, Teupin Mane, dan wilayah terdampak lainnya.
“Agar harga wajar, proporsional, dan tidak memberatkan warga miskin/korban bencana,” pintanya.
Mereka juga mendesak pemerintah menyediakan/menambah fasilitas penyeberangan darurat aman dan gratis, misalnya perahu karet dari instansi resmi yang dilengkapi dengan pelampung dan peralatan keselamatan lainnya, sehingga penyeberangan bisa diterapkan secara terjadwal dan terawasi secara layak.
“Mesti ada segmentasi peran jelas pemerintah — bukan hanya distribusi logistik, tapi juga pemulihan akses dan mobilitas warga sebagai bagian dari prioritas tanggap darurat,” ujarnya.
Pemerintah juga didesak mengaudit serta mengawasi lapangan terkait adanya jasa penyeberangan swasta agar praktik tarif tidak wajar atau potensi eksploitasi bisa dicegah.
“Pemerintah juga harus menyediakan jalur alternatif yang aman dan permanen seperti mempercepat pembangunan jembatan darurat atau rekonstruksi jembatan utama, agar akses masyarakat kembali normal,” pungkasnya. []
Belum ada komentar