PM, Banda Aceh – Perusahaan minyak sawit raksasa Golden Agri-Resources Ltd (GAR) dikabarkan telah mengeluarkan PT Dua Perkasa Lestari (DPL) dari rantai pasok mereka. Hal ini imbas dari konflik lahan dengan masyarakat di kawasan konsesi perusahaan yang beroperasi di Babahrot, Aceh Barat Daya itu.
Dalam keterangan pers yang diterima Pikiran Merdeka, Rabu (11/11/2020), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh yang selama ini mengadvokasi warga setempat, menerangkan, dalam keputusan pada 6 Oktober 2020 itu terungkap bahwa PT DPL dinyatakan sebagai perusahaan non-compliant (tidak patuh) terhadap kebijakan korporasi minyak sawit terbesar kedua di dunia itu.
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul mengatakan, Golden Agri pada 9 September lalu mengundang lembaganya untuk membicarakan kasus dugaan perampasan lahan masyarakat oleh PT Dua Perkasa Lestari.
“Pertemuan itu untuk mengklarifikasi temuan kasus perampasan lahan oleh PT DPL,” ujar Syahrul.
Menurut dia, keputusan Golden Agri ini seharusnya jadi pintu masuk bagi pemerintah untuk mengevaluasi PT DPL, sekaligus menyelesaikan konflik lahan yang telah berlangsung lama di Babahrot. Syahrul memastikan telah memberi semua bukti-bukti perampasan lahan itu.
Konflik Agraria Sejak 2008
Masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan kembali lahan mereka sejak diklaim PT DPL pada tahun 2008-2009, tepatnya saat Hak Guna Usaha perusahaan itu terbit.
Kata Syahrul, kasus ini telah bergulir hingga ke tingkat nasional, namun hasilnya nihil. LBH Banda Aceh mulai mengadvokasi warga mulai tahun 2015. Hasil investigasi dan analisa mereka, disimpulkan bahwa masyarakat setempat telah menguasai lahan itu sejak tahun 1992 silam.
“Jika dirunut berdasarkan sejarah penguasaan lahan, maka masyarakat lebih dahulu menguasai lahan tersebut, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya tanaman tua seperti mangga, rambutan, kuini, dan jengkol yang ditanam warga dengan umur tanam lebih dari 15 tahun,” ungkapnya.
Beberapa tahun kemudian, konflik bersenjata di Aceh kian memanas, masyarakat pun terpaksa meninggalkan lahannya. Mereka baru kembali pada tahun 2005.
“Pasca perdamaian, masyarakat kembali turun ke lahan mereka. Upaya pengelolaan itu juga didukung dengan kebijakan bantuan modal bibit oleh Pemkab Abdya kala itu,” kata Syahrul.
Ketika sebagian warga memulai penanaman, pada tahun 2008-2009 HGU PT Dua Perkasa Lestari terbit di atas lahan itu tanpa sepengetahuan mereka. Masyarakat pun melancarkan protes. Penerbitan HGU dinilai janggal.
“Bisa dipastikan tidak akan terbit HGU kecuali melalui ganti rugi atau ada perjanjian lain dengan masyarakat. Artinya ada pelanggaran prosedur rantai perizinan di sini,” ungkapnya lagi.
Penguasaan lahan oleh PT DPL sekaligus menggusur ribuan petani dari tanah garapannya. Setidaknya masing-masing petani kehilangan dua hektar lahannya. Mereka dipaksa keluar dengan berbagai cara, termasuk diintimidasi aparat.
“Seharusnya negara hadir menjamin pengelolaan tanah untuk masyarakat, sehingga ada 1000 warga yang bisa memiliki sumber ekonomi sendiri, bukan malah memberi lahan dalam skala besar untuk dikuasai secara individu,” tegasnya.
Tempuh Mekanisme Komplain Pasar
Pada Agustus 2020 yang lalu, masyarakat bersama dengan LBH Banda Aceh difasilitasi oleh Rainforest Action Network untuk mengangkat kembali kasus ini melalui komplain pasar. Mereka mendorong pemutusan rantai pasok oleh Golden Agri sebagai perusahaan yang masih menerima pasokan dari PT DPL.
“Langkah ini diambil karena DPL terbukti tidak patuh terhadap kebijakan dan komitmen nol deforestasi, nol pembangunan di lahan gambut dan nol eksploitasi yang telah ditetapkan oleh Golden Agri,” tandasnya.
Dari temuan tersebut terbukti, bahwa PT DPL tidak patuh terhadap kebijakan dan komitmen tentang keberlanjutan lingkungan hidup, serta melanggar komitmen untuk tidak mengakibatkan konflik sosial.
“Dalam hal kasus ini berakibat pada penyerobotan lahan masyarakat,” tandas Syahrul. (*)
Belum ada komentar