Belasan rumah di dekat sungai di Dusun Tanah Merah, Desa Lubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, ambruk dan hanyut tak berbekas bersama derasnya air sungai. Peristiwa itu terjadi secara berangsur-angsur sejak tahun 2004.
Pejabat desa setempat mencatat; 13 rumah dan rumah toko (ruko), baik berkonstruksi beton maupun kayu telah hilang dalam kurun waktu tersebut. Dua ruko lainnya saat ini juga terancam bernasib sama, jika pemerintah tidak segera mencegahnya.
Perlahan tapi pasti. Setidaknya begitu kata pejabat desa tersebut memprediksi terhadap nasib dua ruko yang masih berdiri kokoh di dekat sungai, hanya berjarak sekitar dua meter lagi dengan arus sungai.
Sejauh ini memang belum ada pencegahan khusus yang ditangani pemerintah setempat, untuk membantu warga yang tinggal di sekitar 26 kilometer arah tenggara ibu kota Aceh Utara, Lhoksukon itu atau 32 kilometer arah selatan jika ditempuh perjalanan melalui Kota Panton Labu.
“Belum ada bantuan apapun yang diterima korban dari pemerintah, padahal dewan dan petugas lainnya sudah turun ke lokasi secara bergantian sejak dua tahun terakhir,” kata Kepala Dusun Tanah Merah, Razali, yang ditemui di sebuah pesantren di Lubok Pusaka, Kamis 2 November 2017.
Secara terpisah, Keuchik Lubok Pusaka Jaharuddin didampingi sekretaris desanya, Maulidiar, memprediksi kerugian warga dalam bencana ini sudah mencapai ratusan juta rupiah, bahkan bisa tembus hingga Rp1 miliar lebih.
Beberapa korban tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi harta benda mereka juga hanyut bersama derasnya air di sungai terusan Arakundo itu.
Mereka mencatat, korban yang rumahnya hanyut masing-masing M Yunus, Umar, Ali Gatol, Idris, M Malim, H Wahidin, Salihin, H Abdul Rahman, H Daut, Abdul Rahman, Sulin, Karya dan Siti.
Dari 13 rumah dan ruko tersebut, dua di antaranya sempat dibongkar dan diambil kayu dan bahan lain oleh pemilik sebelum benar-benar dibawa arus. “Sedangkan 11 rumah lain hilang tak berbekas,” kata Jaharuddin di sebuah warung kopi dekat lokasi erosi, Kamis petang.
Sementara dua ruko yang saat ini dalam posisi terancam, adalah milik Madjadi Husen dan Rohani. Tak mau ambil risiko, Madjadi Husen dan keluarganyapun pilih mengungsi dalam setahun terakhir dan membangun rumah baru di tempat lebih aman, masih di desa setempat.
Sedangkan Rohani dan anak-anaknya masih bertahan, meskipun dalam kondisi terancam. Anak Rohani, Erna yang ditemui petang itu mengaku khawatir dengan keselamatan jiwanya, yang sewaktu-waktu rumah dan mereka sendiri bisa hanyut bersama air sungai.
“Takut sih, tapi saya pasrah. Muda-mudahan tidak terjadi apa-apa,” kata gadis remaja kelas 2 SMA itu, yang baru belasan hari yatim setelah orangtuanya, Syafie meninggal dunia.
Menurut Jaharuddin, erosi terparah terjadi sekitar 300 meter sejak beberapa tahun terakhir, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tanah Merah, tempat penduduk bermukim. Akibatnya, rumah dan puluhan meter tanah warga di sepanjang bantaran sungai yang berbentuk letters U tersebut, telah menjadi sungai. Sementara di seberang sana, sungai semakin dangkal karena terus tertimbun.
Beberapa waktu lalu, kata Jaharuddin, ada petugas datang ke lokasi. “Kalau tidak salah mereka petugas dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Aceh Utara dan tim dari Jakarta. Tetapi kami belum mengetahui apa hasilnya.”
“Warga berharap, pemerintah segera mengupayakan penanggulangan seperti membangun tanggul atau semacam benteng agar tanah warga tidak dikikis air sungai,” pinta keuchik yang memimpin 617 Kepala Keluarga (KK) itu.
Di samping pencegahan erosi, pejabat desa tersebut juga berharap pemerintah dapat memberi bantuan kepada para korban, meskipun sebagian dari pemilik rumah itu telah meninggal dunia, setidaknya masih ada ahli waris yakni anak-anak mereka yang berhak menerimanya.
Sejauh ini menurut keuchik, sekretaris dan kepala dusun, para korban belum mendapat bantuan apapun dari pemerintah. “Rumah yang mereka tempati di lokasi terpisah itu, dibangun dengan uang pribadi.”
DIUSUL KE BNPB
Kepala BPBD Aceh Utara Munawar dihubungi terpisah mengaku bahwa pihaknya sudah mengusulkan permohonan terkait penanggulangan erosi sungai itu ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta. Tetapi, kata dia, belum ada respons pasti terkait permohonan ini.
“Kita berharap agar masayarakat bersabar, karena permohonan bantuan sudah kita usulkan ke Jakarta,” katanya singkat.
Sementara Kepala Bagian Humas Setdakab Aceh Utara, Teuku Nadirsyah menyebutkan, bahwa Pemkab akan segera berembuk dengan PT PHE NSB yang sebelumnya bernama ExxonMobil, untuk memastikan apakah tanah itu milik warga atau milik perusahaan tersebut.
“Masalah korban longsor, pemerintah akan membahas dengan PHE,” kata Nadirsyah melalui WhatsApp, Jumat 3 November.
Seorang karyawan PT PHE NSB yang bertugas di bagian kehumasan, dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, terkait apakah tanah itu milik perusahaan tersebut atau milik warga Dusun Tanah Merah, belum memberi jawaban. Yang bersangkutan hanya membalas pesan bahwa pihaknya akan melihat ulang terkait hal ini.[]
Belum ada komentar