“Kami akan terus menyerang pemerintah, para penindas, sampai kewarganegaraan kami diakui.”

Di banding tentara Myanmar, mereka hanyalah semut di depan gajah. Mereka bahkan tak sebesar David jika militer Myanmar jadi Goliath-nya. Tapi seekor semut pun akan menggigit jika diinjak. Semut itulah kelompok militan Rohingya.

“Jika kami tak mendapatkan hak-hak kami, jika 1 juta Rohingya, 1,5 juta Rohingya, harus mati, kami siap mati,” kata Ata Ullah alias Abu Amar Jununi kepada Reuters lima bulan lalu. Ata Ullah adalah “wajah” dan juru bicara kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) alias Harakah al-Yaqin. “Kami siap merebut hak-hak kami.”

Ata Ullah dan teman-temannya terpaksa angkat senjata karena tak ada yang melindungi mereka. Tidak negara-negara adikuasa, tidak pula negara-negara muslim di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. “Kami, orang-orang yang lemah dan teraniaya, sudah meminta perlindungan internasional dari perlakuan semena-mena pemerintah Myanmar, tapi tak ada yang mempedulikan kami…. Kami tak bisa berdiam diri lagi,” Ata Ullah menuturkan kepada CNN, Februari lalu.

Sudah puluhan tahun orang-orang Rohingya tak pernah diterima sebagai bagian dari rakyat Myanmar oleh rezim di Yangon, dan kini penguasa di Naypyidaw. Pada 1978, Jenderal Ne Win mengerahkan prajurit-prajuritnya lewat Operasi Nagamin atau Raja Naga untuk mengusir “pembangkang-pembangkang” Rohingya dari negara bagian Rakhine alias Arakan. Namun bukan cuma kelompok militan yang digusur ke Bangladesh, tapi juga sekitar 200 ribu warga sipil Rohingya.

Tak hanya mengusir orang Rohingya dari kampungnya, pemerintah Myanmar juga tak mengakui mereka sebagai warga negara. Berkali-kali rumah mereka dibakar tentara dan kelompok anti-Rohingya. Berkali-kali pula orang Rohingya terusir, dibunuh, dan perempuan-perempuannya diperkosa, tanpa pernah ada yang diadili pelakunya.

“Jika kami tak mendapatkan hak-hak kami, jika 1 juta Rohingya, 1,5 juta Rohingya, harus mati, kami siap mati.”

“Kami tak bisa menyalakan lampu di malam hari. Kami tak bebas pergi dari satu tempat ke tempat lain. Di mana-mana dicegat pos pemeriksaan…. Manusia tak hidup dengan cara seperti itu,” kata Ata Ullah. Pemuda itu sebenarnya bukan asli Arakan. Dia lahir di perkampungan Rohingya di Karachi, Pakistan, dan tumbuh besar di Arab Saudi. Kedua orang tuanyalah yang berasal dari Rakhine.

Pada Ahad pagi, 9 Oktober 2016, ratusan anggota ARSA menyerbu tiga pos perbatasan di Maungdaw dan Rathedaung, dua kota kecil di wilayah utara Rakhine, wilayah yang mayoritas dihuni muslim Rohingya. Mereka hanya bersenjatakan belasan pucuk senapan, golok, parang, pisau, dan katapel. Penguasa di Naypyidaw segera mengirimkan ribuan prajuritnya untuk mengurung wilayah itu dan “menyapu” dari kampung ke kampung, memburu anggota ARSA.

Atas nama memburu milisi ARSA, tentara Myanmar membakar ratusan rumah milik warga Rohingya. Sebagian perempuan Rohingya mengaku diperkosa tentara Myanmar. Dari persembunyiannya, Rahim, seorang guru di Kampung Dar Gyi Zar, mengaku melihat sendiri tentara Myanmar membakar rumah-rumah di kampungnya dan menembak mati siapa saja yang lari.

“Aku pikir kami akan mati hari itu,” Rahim menuturkan kepada Reuters di kamp pengungsian di Bangladesh. Kesaksian Rahim dibenarkan oleh empat saksi mata lain. Seorang gadis berusia 16 tahun dari Kampung Kyar Gaung Taung mengaku diperkosa dua tentara Myanmar. “Jika aku seorang Bangladesh atau Amerika, mereka tak akan memperkosaku. Mereka memperkosaku lantaran aku seorang Rohingya,” kata gadis itu, pilu.

Thaung Tun, Penasihat Keamanan Nasional Myanmar, mengatakan kekerasan oleh tentara di Rakhine bukanlah tindakan yang diperintahkan oleh pemerintah Aung San Suu Kyi. “Sangat mungkin petugas di lapangan memang bertindak berlebihan,” dia berdalih. Kenyataannya, kejadian seperti itu terus berulang dan tak tampak usaha serius pemerintah Myanmar melindungi orang-orang Rohingya.

PERLAWANAN TERBESAR
Hanya tiga jam setelah Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kini Ketua Komisi Penasihat Rakhine, menyampaikan hasil investigasi soal pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang-orang Rohingya pada Kamis, 24 Agustus 2017, malam, Ata Ullah mengirimkan pesan kepada anak buahnya untuk turun dari kawasan Pegunungan Mayu dengan membawa senjata logam apa saja.

Lewat tengah malam, ratusan, mungkin ribuan, anggota ARSA menyerbu 30 pos polisi dan satu markas tentara Myanmar. Mereka bersenjatakan senapan api, golok, parang, pisau, dan bom molotov. “Jika 200 atau 300 orang keluar, 50 orang akan mati. Tapi atas kehendak Allah, 150 orang sisanya bisa membunuh mereka dengan pisau,” kata Ata Ullah lewat pesan suara kepada anak buahnya, dikutip Reuters. Di pihak pemerintah, 13 polisi tewas. Tapi di pihak ARSA, menurut sumber militer Myanmar, 400 orang tewas.

Inilah serangan terbesar ARSA sejak serbuan pertama Oktober tahun lalu. Tahun lalu, serbuan ARSA hanya terfokus di dua kota, Maungdaw dan Rathedaung. Keduanya ada di wilayah utara Rakhine. Tapi target serangan ARSA kali ini jauh hingga ke wilayah selatan Rakhine. “Kami terkejut melihat luasnya jangkauan geografis serangan mereka…. Itu mengguncang seluruh wilayah,” ujar seorang sumber di militer Myanmar. Gigitan “semut” ARSA sepertinya tak bisa lagi dianggap sepi.

Kemarahan orang-orang Rohingya jadi bahan bakar “prajurit-prajurit” tentara Arakan. “Orang-orang berbagi perasaan, bicara dengan yang lain, dan mereka saling bercerita dengan teman-temannya di lain tempat… dan akhirnya meledak,” ujar seorang tetua Rohingya.

Rohi Mullarah, tetua Kampung Kyee Hnoke Thee, mengatakan para pemimpin kelompok militan rutin mengirimkan anak buahnya ke kampung-kampung untuk merekrut anggota baru. Mereka juga terus menjalin komunikasi lewat WhatsApp, Viber, atau WeChat. Teknologi memudahkan kelompok seperti ARSA menjaring anggota baru. Apalagi di tengah wilayah panas seperti Rakhine.

Satu-dua pemimpin kampung dan tetua Rohingya menolak terlibat dengan kelompok seperti ARSA.

Ata Ullah dan teman-temannya di ARSA bukanlah yang pertama menempuh jalan perlawanan bersenjata untuk membela Rohingya. Sebelum Myanmar merdeka dari Inggris pada Januari 1948, orang-orang Rohingya sebenarnya memang sudah berbeda jalan dengan “orang Myanmar”. Saat Perang Dunia II, orang Rohingya lebih dekat dengan Inggris, sementara suku-suku lain di Myanmar berada di pihak Jepang.

Setelah Jepang kalah, tokoh-tokoh Rohingya sempat menemui Muhammad Ali Jinnah, bapak pendiri Pakistan. Orang-orang Rohingya yang tergabung dalam Liga Muslim Arakan Utara menyampaikan niat mereka bergabung dengan negara Pakistan, lepas dari Myanmar. Tapi Jinnah yang tak mau ribut dengan Myanmar, menolak keinginan mereka.

Tak ada harapan bergabung dengan Pakistan, Jaffar Hussain alias Jaffar Kawwal memimpin sebagian orang Rohingya mendirikan kelompok Mujahidin untuk memperjuangkan wilayah otonomi Arakan Utara, terpisah dari Arakan Selatan, pada Agustus 1947. Jaffar menginginkan Arakan Utara menerapkan sistem pendidikan Islam dan menjadikan Urdu sebagai bahasa resmi. Tapi pemerintah Myanmar tak menggubris keinginan Jaffar.

Kelompok Mujahidin masuk hutan, bergerilya melawan tentara Myanmar. Ribuan orang Rohingya mengungsi ke Pakistan Timur (kini Bangladesh). Jaffar tewas terbunuh pada pertengahan 1950, tapi kelompoknya masih melanjutkan perjuangan bersenjata hingga sepakat berdamai dengan pemerintah Myanmar pada 1961.

Tapi setelah Jenderal Ne Win berkuasa di Myanmar, semua kesepakatan dengan kelompok muslim itu dianggap tak berlaku. Beberapa aktivis muslim mendirikan Rohingya Independence Force pada 1963. Kelompok ini belakangan juga pecah menjadi beberapa faksi, salah satunya menjadi Rohingya Solidarity Organization (RSO).

Ata Ullah dan kawan-kawannya, seperti dikutip International Crisis Group (ICG) dalam laporannya akhir tahun lalu, mengaku tak ada hubungan dengan RSO. Justru mereka menuding RSO acap mencatut nama ARSA untuk menggalang sumbangan di Pakistan dan Arab Saudi. Menurut ICG, ada 20 orang menjadi dewan penasihat ARSA yang berbasis di Mekah, Arab Saudi. Ke-20 orang ini semuanya orang Rohingya.

Tak seperti kelompok Rohingya sebelumnya, berdasarkan hasil wawancara ICG dengan beberapa anggota ARSA, kelompok ini tak punya niat memperjuangkan syariat Islam. Tujuan mereka satu-satunya adalah menghentikan penganiayaan terhadap orang-orang Rohingya.

Bertil Lintner, penulis buku Burma in Revolt, menulis kolom di Irrawaddy, menyinggung soal dugaan kaitan Ata Ullah dengan Abdul Quddus Burmi, ulama keturunan Rohingya di Pakistan. Menurut sumber intelijen yang dikutip harian Mizzima, Quddus Burmi punya hubungan akrab dengan Lashkar e-Taiba, organisasi terlarang di Pakistan.

Namun, dalam sejumlah kesempatan, Ata Ullah membantah kabar soal kaitan kelompoknya dengan sejumlah organisasi militan di Pakistan dan Arab Saudi. “Tak ada kelompok lain yang membantu kami dari belakang. Apakah mereka berasal dari Myanmar maupun luar negeri…. Kami bertahan hidup dengan menjual sapi dan kerbau,” kata dia. Mereka, kata Ata, bukan kelompok teroris, dus tak akan menyerang warga sipil. “Kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa bukanlah prinsip dan kebijakan kami. Melukai warga Myanmar yang beragama Buddha dan orang Rakhine tak sesuai dengan prinsip moral kami.”

Musuh ARSA, kata Ata, adalah tentara Myanmar yang sewenang-wenang terhadap orang Rohingya. “Kami akan terus menyerang pemerintah, para penindas, sampai kewarganegaraan kami diakui…Kami berharap komunitas internasional membantu kami sehingga tak perlu ada pertumpahan darah,” Ata Ullah menuturkan kepada CNN.[]x.detik.com

Komentar