DALAM karya sastra, tipis sekali perbedaan antara impian dan khayalan. Dua hal ini sama-sama menjadi kenyataan fiksional yang mengantarkan sebuah cerita kepada ending. Novel “Aceh 2025, 1446H” karya Thayeb Loh Angen, misalnya, mengangkat kondisi Aceh tahun 2025. Khayalan atau impiankah?

Dikisahkan, kelak Aceh terbentang dari Barus (Sumatera Utara) ke Aceh Barat, Banda Aceh, Sabang, hingga Aceh Tamiang. Saat itu, Aceh dibagi ke dalam beberapa kekuasaan federasi, antara lain Aceh wilayah Barus, Aceh wilayah Pase Raya, Aceh wilayah Tengah, Aceh wilayah Barat, dan Bandar Aceh.

Aceh tahun 2025 tidak lagi dipimpin oleh seorang gubernur layaknya sekarang. “Pemimpin Aceh” berpindah-pindah kantor dari satu wilayah ke wilayah lain. Namun, tetap masih ada dewan wakil rakyat di setiap kekuasaan federasi. Pusat pemerintahan Aceh pun tidak lagi di Banda Aceh, sudah dipindahkan ke Paloh Dayah, Aceh Utara. Pusat kebudayaan diletakkan di Pasai. Di tengah-tengah pusat pemerintahan Aceh berdiri sebuah gedung bercorak rencong yang tingginya lebih 1 kilometer. Kala itu, Aceh sudah makmur, tidak lagi bergantung pada pusat (Jakarta) atau daerah lain. Aceh sudah berdaulat menjadi sebuah pemerintahan yang unggul dalam segala bidang.

Pertanyaannya, mungkinkah hal itu terwujud sepuluh tahun (2025) ke depan? Tentu saja ini kontroversi, terutama dalam kalangan masyarakan Aceh sendiri. Banyak yang pesimis dan mungkin mencerca novel ini. Hal itu sudah terlihat dari sejumlah status media sosial masyarakat Aceh. Ada yang menyebutkan bahwa pengarang novel ini terlalu berangan-angan. Namun, ada pula yang memberikan tanggapan posistif bahwa semua itu harus menjadi mungkin.

Begitulah sastra, begitulah fiksi. Setiap karya niscaya meninggalkan “horison harapan” kepada pembaca, layaknya novel ini. Sebuah keniscayaan bahwa kemungkinan di dunia nyata dimungkinkan dalam dunia fiksi bahkan yang tak mungkin di dunia nyata pun bisa mungkin terjadi dalam dunia fiksi. Oleh karena itu, rekayasa tentang Aceh ke depan sah-sah saja apalagi dituangkan dalam novel.

Kata Aceh dalam novel bisa jadi bukan Aceh yang sebenarnya. Demikian dengan nama-nama lain dalam novel ini. Jika suatu saat ada yang mempertanyakan mengapa Aceh di tahun 2025 tidak sama seperti dikisahkan dalam novel ini? Tentu saja jawabannya, Aceh dalam novel ini bukan Aceh dunia nyata. Ibarat yang sering kita jumpai saat menonton film atau sinetron televisi, di bagian akhir acap disuguhkan sepotong kalimat, “Cerita ini hanya fiktif belaka, jika terjadi kesamaan nama tempat atau tokoh hanya kebetulan belaka.”

 

Bahasa dan Sastra

Diakui penulisnya di bagian pengantar, novel ini menggunakan bahasa Melayu lama. Katanya, mengacu pada kearifan lampau bahwa bahasa Melayu sudah hidup di Aceh sejak Kerajaan Islam Pasai. Keinginan si penulis memartabatkan kembali bahasa Melayu Pasai melalui karya sastra tentu saja patut diapresiasi. Akan tetapi, “kitab/buku” apa yang menjadi pegangan penulis saat mengklaim bahwa novelnya menggunakan bahasa Melayu Pasai?

Kesahihan bahwa novel ini menggunakan bahasa Melayu lama sangat penting ditelusuri, sebab beberapa kata sama sekali bukan kosa kata Melayu lama. Perhatikan saja kata karena yang seharunya kerana; kata beda seharusnya beza, kata kabar seharusnya khabar. Demikian pula istilah enak untuk makanan, seharusnya menggunakan sedap dalam bahasa Melayu.

Hal yang sangat mengganggu adalah kata sahaya yang ditafsirkan penulis sebagai “Aku/Saya”. Tentu saja ini kesalahan fatal. Sahaya bermakna “hamba” sehingga kerap disandingkan menjadi frasa hamba sahaya. Kekeliruan lainnya pada penggunaan kata bagi yang diubah menjadi bahagi. Contoh kekeliruan itu *Bahagi penduduk Banda Aceh… (hlm.23).

Untuk diketahui pula, istilah kata “tidak” belum lazim di zaman Melayu Pasai, tetapi novel ini terlalu sering menggunakan kata tidak yang seharusnya tak. Novel ini juga acap memakai kata bisa, yang semestinya diganti dengan kata boleh atau dapat. Contoh halaman 67: “….Di bandar utama hanya bisa tinggal pemimpin Aceh…”

Kerancuan seperti ini, hemat saya, bukannya mengangkat harkat bahasa Melayu lama, melainkan lebih kepada mengacaukan tata bahasa. Hal ini harus diperhatikan seorang penulis sebelum ia mengklaim tulisannya ragam atau langgam tertentu.

Kurang hati-hati dalam tata bahasa dapat mengurangi nilai sastra sebuah karya. Sastra itu karya kreatif, tetapi bukan over-kreatif yang mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai estetis. Sebuah karya sastra yang baik bukan sekadar menghibur, tetapi juga harus menjadi “penyucian jiwa” bagi setiap pembaca. Di sinilah peran dulce et utile.

Terlepas dari beberapa catatan di atas, novel “Aceh 2025” sudah menambah daftar buku sastra di Tanah Fansuri. Sampulnya sangat elegan: gambar tata kota Aceh di masa depan dengan gedung rencong pencakar langit di tengah-tengah kota. Sampul buku ini bisa membuat banyak mata tertarik. Sepatutnya saya mengucapkan tahniah atas novel ini. Pengarang novel ini telah memberikan warna baru dalam karya sastra di Aceh, yakni berani mencoba menulis tentang Aceh di masa akan datang meskipun sebenarnya mengisahkan tentang Aceh itu tidak “mudah” diterima orang Aceh.

Si penulis adalah mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Artinya, sudah terjadi perubahan pola pikir pada sejumlah anggota GAM. Jika dulu GAM mengangkat senjata, kini sudah mulai mengangkat pena. Beberapa mantan GAM yang bisa disebut telah beralih dari senjata ke pena, selain Thayeb Loh Angen, tercatat nama Yusra Habib Abdulgani (juru runding GAM/Ketua Biro Penerangan GAM) dan Husaini Hasan (Menteri Pertahanan GAM) yang baru saja meluncurkan bukunya “Dari Rimba Aceh ke Stockhlom”. Maka itu, kehadiran novel “Aceh 2025” telah menambah deretan buku yang ditulis oleh mantan GAM.

 

Diresensi oleh Herman RN, cerpenis dan esais.

 

Judul Buku     : Aceh 2025/1446H.

Penulis            : Thayeb Loh Angen

Penerbit         : Yatsrib Baru

Cetakan          : Nopember 2014

Tebal              : xv + 320 hlm.

Jenis                : novel/prosa

Komentar