Ramai-ramai Berburu Sekolah IT

Murid kelompok bermain Mekar Jaya. (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Murid kelompok bermain Mekar Jaya. (Foto PM/Oviyandi Emnur)

Seolah menjadi trend, dalam beberapa tahun terakhir banya orang tua memburu sekolah IT (Islam Terpadu) untuk pendidikan anak-anaknya. 

Suasana di kompleks Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Ishlah di Desa Pango Deah, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, Kamis sore pekan lalu, tampak riuh. Mengenakan kemeja dan celana panjang serba merah cerah, anak-anak rentang umur lima hingga 12 tahun berlari ke sana-kemari.

Di depan pintu gerbang masuk, seorang ustazah duduk di meja piket sembari menggenggam mikrofon. Satu per satu nama siswa yang sudah dijemput orang tua masing-masing dipanggil agar menghadap ke meja piket.

“Iya, ini mereka sudah dijemput sama orang tua karena sudah waktunya pulang,” ujar ustazah tersebut kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.

SDIT Nurul Ishlah merupakan salah satu sekolah IT yang berada di bawah Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), yaitu organisasi yang beranggotakan Sekolah Islam Terpadu di seluruh Indonesia.

Dilansir laman resmi JSIT Indonesia, pada prinsipnya SIT adalah sekolah yang menginplementasikan konsep pendidikan Islam berdasarkan Alquran dan hadis.

“SIT diartikan sebagai sekolah yang menerapkan pendekatan penyelenggaraan denganmemadukan pendidikan umum dan pendidikan agamamenjadi satu jalinan kurikulum,” demikian tertulis di laman tersebut.

Karena sistem yang terintegrasi antara pendidikan umum dan agama yang menjadikannya berbeda dengan sekolah berbasis pendidikan formal, hal ini membuat banyak orang tua yang tertarik menyekolahkan anak-anak mereka ke SIT, seperti di SDIT Nurul Ishlah ini.

Salah seorang orang tua siswa, Fitriani menuturkan alasan dirinya menyekolahkan anaknya, Nasywa Latifah Azzahra, ke SDIT Nurul Ishlah karena dinilai mampu mendidik anaknya membentuk karakter insan Qurani di sekolah tersebut.

“Akhlaknya sudah mulai terbentuk. Emang saya lihat ada perubahannya dibandingkan dengan anak-anak dari sekolah lain. Hafalan (Quran) pun cepat, mungkin metodenya yang bagus di sini ya. Dari berpakaiannya juga sudah muslimah karena dilihat dari guru-guru di sini juga sudah seperti itu kan,” ujarnya.

Menurut Fitriani, prestasi hafalan Alquran menjadi prioritas di SDIT yang bernaung di bawah Yayasan Hikmah Sejati ini. Nasywa yang kini berada di kelas VI, menurut pengakuan Ibunya sudah menghafal empat juz Alquran.

Dengan kualitas sistem pendidikan sedemikian rupa sehingga membuat banyak orang tua antusias untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah IT tersebut, biaya pendidikan yang harus dibayarkan pun relatif lebih besar ketimbang sekolah umum lainnya.

Untuk SDIT Nurul Ishlah ini, orang tua harus merogok kocek hingga Rp6.925.000 sebagai biaya Pendidikan Peserta Didik Baru (PPDB). Namun, Fitriani mengaku tak mempermasalahkan hal itu mengingat kualitas pendidikan sepadan yang didapatkan anaknya di sekolah tersebut.

Berbeda dengan sekolah umum lainnya, waktu belajar di SDIT Nurul Ishlah ini cenderung lebih lama. Terutama untuk para siswa kelas IV hingga VI, di sekolah tersebut seperti anaknya harus masuk sekolah sejak pukul 07.30 dan pulang dijemput orang tua pukul 16.30 WIB.

Karena itu, waktu luang bersama keluarga relatif berkurang. Orang tua dan anak hanya sempat bersua sewaktu mengantar dan menjemput sang anak. Selebihnya, orang tua sibuk bekerja di kantor dan anak menghabiskan waktu belajar dan bermain di sekolah.

Ketika malam, baik orang tua maupun sang anak memilih beristirahat setelah seharian lelah beraktivitas. Fitriani pun merasakan hal serupa dan tak bisa menafikannya.

PNS di lingkungan Pemerintah Aceh itu mengaku dengan jadwal kerja kantor dari pagi sampai sore, ia baru bisa berjumpa kembali dengan anaknya sewaktu menjemput ke sekolah sore hari.

“Kalau kita ibu rumah tangga mungkin lebih banyak waktu di rumah ya. Sementara ini jam pulang kantor pun sudah sore. Jadi kita maksimalkan kedekatan dengan anak itu pada waktu malam hari dan hari liburnya. Misalnya hari Minggu kita ajak jalan-jalan,” tuturnya.

Karena itu, untuk menyiasati hal ini, ia lebih menekankan faktor komunikasi dengan anak agar tak terjadi kesalahpahaman. Jika secara emosional sudah dekat, komunikasi yang terbangun juga menjadi lebih baik.

Kepala SDIT Nurul Ishlah, Dian Huriana mengatakan tuntutan pembangunan sekolah IT yang didirikan sejak 2004 itu berasal dari permintaan dan kebutuhan para orang tua siswa sendiri.

Sebelumnya, waktu itu sudah dibangun Taman Kanak-kanak Islam Terpadu (TKIT) Arrahmah yang juga bernaung di dalam Yayasan Hikmah Sejati.

“Jadi, saat kita mendirikan TKIT Arrahmah ini juga karena masing-masing orang tua siswa menginginkan keterpaduan antara ilmu dunia dan akhirat. Sebenarnya nggak ada dikotomi, mungkin lebih tepatnya antara ilmu dan iman, jadi itu konsep dasarnya,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.

Setelah itu, wacana pembangunan SDIT Nurul Ishlah ini mulai dipikirkan. Ia berkeinginan dengan berdirinya sekolah berbasis Islam Terpadu ini mampu terbangun kesamaan persepsi pendidikan antara siswa, guru, orang tua, dan lingkungan sekitarnya.

“Kami merangkumnya ke dalam sepuluh karakteristik siswa, yaitu dari terbangunnya keimanan yang kuat hingga bermanfaat bagi orang lain. Itulah harapan kami,” ujar alumni Program Studi Psikologi STIP Harapan Bangsa itu.

Untuk mewujudkan hal tersebut, kualifikasi guru yang mengajar di sekolah IT pun diperketat. Namun, prioritasnya bukanlah pada latar belakang pendidikan para gurunya. Tapi kedekatan dengan peserta didik dan adanya keinginan untuk meningkatkan kualifikasi diri lebih tinggi.

“Guru tahfiz (penghafal Alquran) hafalannnya lima juz, sedangkan guru kelas satu juz. Sementara kalau dari peserta didiknya sendiri, semangat belajar untuk menghafal Alquran itu harus ada. Setiap lulusan itu harus hafal lima juz,” kata Dian.

Ia menyebutkan, sewaktu mendaftarkan anaknya dan menjalani sesi wawancara orang tua di sekolah tersebut, rata-rata orang tua menginginkan agar anak-anak mereka bisa menghafal Alquran dan adanya pembiasaan sifat-sifat baik pada sang anak seperti dalam hal ibadah dan bakti kepada orang tua.

Terkait dengan mahalnya biaya pendidikan, Dian mengakui hal tersebut bisa dimaklumi. Selain karena perbedaan kurikulum pendidikan yang lebih berorientasi pada peningkatan kualitas siswa, SDIT Nurul Ishlah juga bukanlah sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah.

“Kalau pun akhirnya bayarannya lebih mahal, ya karena para pengajar di sini bukan PNS, termasuk saya juga kepala sekolahnya. Jadi bukan sekolah negeri.”

Pun begitu, jika ada orang tua dengan kemampuan finansial pas-pasan namun ingin anaknya bisa bersekolah di situ, pihaknya bisa memberikan kemudahan dengan menyicil atau menunda pembayarannya.

“Tapi kalau ada orang tua yang mengeluh, kok mahal kali ya, akhirnya waktu wawancara saya bilang, kalau memang tidak sanggup, saya juga nggak memaksa agar anaknya sekolah IT di sini,” ujarnya.

Ke depan, Dian berharap adanya penambahan tenaga pengajar Bahasa Arab dan Bahasa Inggris dan penambahan hafalan juz Alquran bagi siswa di sekolah yang dipimpinnya itu.

Saat ini, SDIT Nurul Ishlah telah memiliki 61 tenaga pengajar tetap dan tiga pengajar honorer sebagai cadangan. Sementara siswanya sebanyak 480 orang yang terbagi ke dalam 17 kelas.

LAMPAUI STANDAR NASIONAL

Dosen Program Studi Psikologi UIN Ar-Raniry, Jasmadi Ali menyebutkan kehadiran JSIT merupakan bentuk ketidakpuasan sebagian praktisi pendidikan terhadap sistem yang sudah ada, yaitu pendidikan umum formal, madrasah, pesantren, sekolah binaan di bawah yayasan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), serta pendidikan nonmuslim.

“Jadi, JSIT mencoba untuk menggabungkan keunggulan dari berbagai pendidikan yang sudah ada ini dengan mengedepankan pendidikan Islam. JSIT ini juga punya standar di atas standar nasional,” ujarnya melalui sambungan telepon, Sabtu pekan lalu.

Karena itu, sambung Jasmadi, standar yang diterapkan JSIT menjadi lebih baik karena sudah melampaui standar nasional yang sudah berlaku.

“Misalnya kalau dalam standar kurikulum nasional untuk kelas Quran Hadis itu hafal ayat-ayat pendek, di JSIT tak hanya hafalan surat pendek, tapi seluruh Juz Amma yang menjadi standar mereka,” kata Ketua Majelis Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Aceh itu.

Menurut Jasmadi, JSIT dalam hal ini lebih maju selangkah dalam segala hal, terutama dari sisi kurikulum dan kompetensi peserta didik dibandingkan dengan standar pendidikan nasional.

Namun, ia tak menampik ada juga beberapa kelemahan dari sistem pendidikan JSIT yang masih perlu diberikan perhatian. Salah satunya, tuntutan yang tinggi kepada peserta didik juga memiliki kecenderungan menjadi bumerang.

“Ada peluang kelemahan, tapi sejauh ini saya belum mendapatkan informasi yang saya peroleh serta referensi terkait hal ini. Tingginya kompetensi yang diharapkan dari peserta didik nantinya akan terjadi miss. Maksudnya, tuntutan kalaupun sudah dibuat sehumanis mungkin, ada kecenderungan pola pengajaran satu-dua pengajar membuat siswa menjadi lebih lelah,” katanya.

Sementara terkait padatnya jadwal belajar peserta didik sehingga mengakibatkan kurangnya interaksi dengan orang tua dan keluarga, menurut Jasmadi hal tersebut tak perlu terlalu dikhawatirkan.

Menurut Jasmadi, para orang tua yang mayoritas dari kalangan PNS memang jam kerjanya sampai sore. Jadi, walaupun sang anak tak disekolahkan di JSIT, peluang interaksi dengan orang tua juga sama-sama kecil mengingat jam kerja orangtuanya sendiri.

“Jadi sinkron jadwal orang tua dengan anaknya yang sekolah di Islam Terpadu ini karena jadwalnya sama. Karena itu, para orang tua yang notabenenya PNS lebih memilih menyekolahkan anaknya di JSIT ini. Selain itu, hal ini juga menghindari anak dari acara-acara televisi yang kurang mendidik,” ujarnya.

DIAWASI DISDIK

Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Banda Aceh, ada tiga SDIT di Banda Aceh, yaitu SDIT Nurul Ishlah, SDIT Al Azhar, dan SD Al-Imtiyaz serta dua SMP, yaitu SMPIT Nurul Ishlah dan SMPIT Al Azhar.

Kadisdikbud Banda Aceh, Syaridin mengatakan dalam pengelolaannya, sekolah-sekolah JSIT yang ada di Banda Aceh berstatus sebagai sekolah yang berada di bawah pengawasan Disdikbud Banda Aceh.

“Tetapi ada keterbatasan antara dinas dan yayasan dalam hal pengelolaan. Kalau sekolah negeri itu tanggung jawab penuhnya itu pemerintah. Sementara sekolah IT swasta, termasuk SDIT dan SMPIT ini penanggung jawabnya adalah yayasan mereka sendiri, namun perlu dan butuh dukungan pemerintah,” ujarnya, Kamis pekan lalu.

Ia menyebutkan, terkait dengan tenaga pengajar di sekolah JSIT itu merupakan tanggung jawab dari ketua yayasan. Namun, jika yayasan membutuhkan tenaga pengajar PNS, Syaridin mengatakan Disdikbud Banda Aceh bisa mengerahkannya.

“Misalnya Kepala SMPIT Nurul Ishlah itu dari PNS, walaupun di-SK-kan oleh yayasan. Artinya untuk bisa dia kesana sebagai PNS tentukan kan ada izin dari dinas,” katanya.

Terkait kemungkinan penambahan sekolah-sekolah dengan sistem pendidikan serupa di Banda Aceh, menurut Syaridin bisa saja terjadi. Namun, katanya, Disdikbud Banda Aceh berhak untuk mempertimbangkan terlebih dahulu.

“Bisa saja ada tergantung pada yayasan yang peduli pada pendidikan. Tapi kita harus lihat dulu persiapan, program, dan visi-misinya seperti apa,” sebutnya. []

1 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait