Sejak tahun 2007, Raqan Pertanahan Aceh sudah diusulkan ke DPRA. Namun berulang kali mengalami revisi. Sejak diajukan pada 2016, DPRA berjanji bakal masuk Prolegda 2017. Sayangnya, tahun ini qanun tersebut tidak masuk daftar pembahasan.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Pokok-Pokok Agraria, sejatinya menjadi regulasi ideal dalam mengatur persoalan tanah di Indonesia. Perspektif perlingdungan hak atas tanah amat mengemuka, di satu sisi. Sayangnya, di sisi lain, implementasi terhadap UU ini amat berbeda.
“Dalam konteksnya, UU ini menjadi dasar mengatur hubungan hukum antara tiga sisi, yaitu negara dan tanah, negara dan warga-negara, dan warga-negara dengan tanah. Sejatinya itu kan komprehensif,” ujar Chandra Darusman pada Pikiran Merdeka, pekan lalu.
Namun dalam hal implementasi, lanjut Chandra, ada satu azas yang ditafsirkan secara sempit oleh banyak pemangku kebijakan. Semua hak atas tanah itu bermuara pada satu hak paling dasar, yaitu hak menguasai tanah oleh negara.
“Makna yang sebenarnya adalah hak negara untuk melakukan penguasaan terhadap tiga elemen tadi dengan mengedepankan kesejahteraan dan kemakmuran, kembali pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” terangnya.
BACA: Merampas Tanah Rakyat
Seringkali hak menguasai negara ini ditafsirkan secara salah, seolah negara adalah pemilik tunggal. Padahal, hal negara dalam mengatur semata agar tanah tidak dikuasai sekelompok orang saja dengan luas seolah tanpa batas.
“Di sisi lain, ada kelompok masyarkat lain yang jangankan punya tanah, tanah garapan saja tak punya, boro-boro aset, akses saja tidak ada. Justru ini yang selama ini kelihatan,” tambah dia.
Tafsir sesat terhadap makna penguasaan tanah oleh negara ini, justru melanggengkan kebijakan-kebijakan praktis di lingkungan masyarakat, sehingga banyak terlihat praktik-praktik penggusuran yang semena-mena. Ironisnya, masyarakat yang memprotes praktik tersebut, justru banyak dianggap tidak pro pada pembangunan, industri, dan sebagainya.
Maraknya penguasaan sepihak dari pemerintah terhadap penguasaan tanah, serta merta mendorong terjadinya konflik. “Kita perlu menyadari, bahwa konflik GAM-RI kan berasal dari ketimpangan ekonomi yang terjadi di Aceh. Ketimpangan ini terjadi salah satunya lantaran akses masyarakat terhadap tanah dirampas negara, sehingga memicu perlawanan,” kata Chandra.
Pelanggaran HAM di Aceh saat ini masih berkutat pada pelanggaran hak sipil dan politik. Seharusnya, ia menyebutkan, hak ekonomi, sosial, dan budaya juga perlu mendapat tempat dalam bingkai penyelesaian konflik Aceh. Karena pelanggaran hak ekonomi dan sosial ini yang menjadi cikal bakal pergolakan yang mengakibatkan hak sipil ikut terenggut.
AMANAH UUPA
Secara nasional, UU Nomor 32 tahun 2004 memuat penjelasan tentang kedudukan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di bidang pelayanan pertanahan. Namun di tingkat lokal, landasan hukum yang secara eksplisit mengamanatkan perlunya qanun untuk penyelenggaraan pelayanan pertanahan adalah UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

“Pada pasal 144 menjelaskan tentang penyediaan tanah untuk kepentingan umum melalui pelepasan hak/pencabutan hak dengan memberikan penggantian kerugian yang layak, dan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dengan Qanun Aceh,” kata Chandra.
Atas amanah itu pula, bersama sejumlah elemen lainnya, LBH Banda Aceh menyusun draft Qanun Pertanahan Aceh. Sejak tahun 2007 dan 2008 LBH juga sudah pernah memasukkan draft tersebut ke DPRA. Namun berulang kali mengalami revisi.
“Seiring tahun, konflik juga terus bertambah di banyak daerah, 2016 kita coba revisi sesuai fakta lapangan, lalu kita ajukan lagi ke DPRA,” kata Chandra.
Terkait: Jalan Terjal Konflik Agraria di Aceh
Secara terpisah, Manajer Program Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Rusliadi memandang pentingnya qanun pertanahan juga sebagai landasan pembangunan bagi pemerintah. “Kita melihat pemerintah selalu mendesain pembangunan, tapi dasarnya belum ada, maka kita perlu Qanun,” katanya.
JKMA bersama LBH dan sejumlah LSM lainnya ikut andil memperjuangkan draft qanun ini. Namun, sejak diajukan pada tahun 2016 lalu, pihak DPRA semula berjanji bakal memasukkan Qanun Pertanahan ke dalam Program Legislasi (Proleg) prioritas di tahun 2017. Sayangnya di tahun ini qanun tersebut tidak masuk ke dalam daftar pembahasan.
“Memang sepertinya lobi politik nya yang kurang kuat, sehingga Qanun ini gagal dibahas tahun ini,” ujar Rusliadi.
Namun, dalam pertemuannya belum lama ini dengan pimpinan DPRA, Tgk Muharuddin, pihak LBH dan jaringannya dijanjikan bahwa draft Qanun Pertanahan bakal dibahas untuk Proleg tahun 2018. “Kita lihat nanti, apakah DPRA memenuhi janjinya,” kata dia.
Terkait dengan penanganan konflik, pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 10 Tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Tenurial Dalam Kawasan Hutan. Namun pada Mei lalu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh meminta Pergub itu direvisi, Pasalnya, dalam Pergub tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dinilai memiliki kewenangan sangat besar terhadap penanganan konflik tenurial (lahan) untuk membuat kerja sama pengelolaan dengan masyarakat maupun badan hukum.
“Sehingga dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian negara,” kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh, M Nur kepada awak media.
Dalam Pergub tersebut, semangat penyelesaian konflik tenurial terkesan dikerdilkan oleh pembatasan penanganan yang terjadi sebelum tahun 2014. Sementara sekarang ini masih banyak konflik tenurial antara warga dengan perusahaan yang belum ditangani dengan baik.
Pihak Dinas Pertanahan Aceh (DPA) sendiri, hingga akhir pekan kemarin tidak berhasil dimintai keterangan terkait maraknya konflik agraria di Aceh. Kadis Pertanahan Aceh, Ramli Daud tidak dapat memberi konfirmasi dengan alasan sedang sibuk. Demikian juga Sekretaris Dinas yang menyatakan tidak bisa memberi komentar mengenai hal ini.
Sementara itu, Pikiran Merdeka sempat terhubung dengan Kepala Bidang Penyelesaian Masalah dan Sengketa, Muhammad Nizwar. Namun dirinya juga tidak berkenan memberi keterangan. “Maaf, harus melalui persetujuan pimpinan dulu,” ujarnya.
Namun, dalam posisinya secara akademis, Nizwar yang sedang menyelesaikan program doktoral di Fakultas Hukum Unsyiah ini menjelaskan, banyaknya sengketa agraria terjadi di Aceh karena belum ada petunjuk teknis khusus dalam penyelesaian konflik tersebut.
“Selama ini mekanisme penyelesaian sengketa itu berjalan. Sesuai Perpres 34 tahun 2003 tentang pelimpahan kewenangan bidang pertanahan. Selama ini yang tercatat memang yang berada masalah di wilayah kabupaten kota. Selama ini bahkan Pemerintah Aceh mendampingi langsung penyelesaian di daerah,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, penyelesaian sengketa tanah garapan, itu kewenangan Pemerintah Daerah, di luar itu masih di bawah penanganan BPN, “Sebagian besar ujung tombak penyelesaian kasus pertanahan ada di BPN. Selama ini memang semua unit bekerja, kalau di Pemda itu sudah ada tim penyelesaian sengketa tanah, unsur–unsur semuanya lengkap, memang dalam hal ini, semua pihak perlu bersinergi.”
Dinas Pertanahan Aceh sendiri merupakan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang baru dibentuk berdasarkan Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh. Sedangkan untuk Tugas Pokok serta Fungsi SKPA ini mengacu kepada Peraturan Gubernur Aceh Nomor 133 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Pertanahan Aceh dan Pembetukan SKPA Dinas Pertanahan Aceh mengacu pada Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 95 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah Aceh.
Lantaran baru dibentuk, DPA masih membutuhkan pembenahan dalam hal sumber daya manusia, anggaran fasilitas, serta aparaturnya. Keberadaan Qanun Pertanahan nantinya, kata Nizwar, diharapkan dapat memperkuat peran DPA dalam membantu menyelesaikan konflik agraria di Aceh.
Dalam posisi berbeda, segelintir masyarakat di daerah sepertinya harus terus bersabar menghadapi carut marut penguasaan lahan oleh pemodal. Safpuriyadi, paralegal LBH yang hingga kini bersama masyarakat di Nagan Raya dan Abdya masih menunggu realisasi penyelesaian sengketa tanah dari pihak pemerintah.
“Memang banyak yang cenderung tidak percaya lagi pada institusi yang ada. Masyarakat di lapangan berhadapan langsung dengan masalah. Semakin lama Qanun Pertanahan ini disahkan, maka pelanggaran-pelanggaran hak tanah rakyat akan terus terjadi. Kita lihat saja nanti bagaimana pemerintah dan elit-elit politik menyikapi ini,” pungkas Puri.[]
Belum ada komentar