Sebagian proyek mercusuar Pemerintah Aceh menggunakan pinjaman luar negeri. Abu Doto sandera Aceh dengan uang rente.
Pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf memberikan surprise kepada rakyat Aceh di tahun-tahun terakhir masa kepemimpinannya. Betapa tidak, karya-karya monumental tak terduga bermunculan di tengah melesunya perekonomian Aceh.
Wajah ibu kota provinsi Aceh bagai memasuki masa operasi plastik. Masjid Raya Baiturrahman, direnovasi dengan memasang 12 payung elektrik layaknya Masjid Nabawi di Madinah. Proyek yang dimulai medio 2015 ini bakal menyerap anggaran Rp1,4 triliun bersumber dari APBA. Untuk tahap pertama, Pemerintah Aceh gelontorkan Rp573 miliar.
“Proyek renovasi Masjid Raya Baiturrahman bukanlah kebutuhan masayarakat Aceh yang mendesak, biayanya seharusnya bisa diplot untuk melaksanakan program yang lebih menyentuh kebutuhan masyarakat, seperti peningkatan pelayanan kesehatan,” kata Wiratmadinata, Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama.
Pada akhir November 2015, Gubernur Aceh Zaini Abdullah meresmikan pembangunan Jembatan Lamnyong yang juga prioritas Pemerintah Aceh. Proyek dua tahun anggaran ini juga menggunakan APBA dengan nilai kontrak kerja kepada PT Waskita Karya senilai Rp 89,202 miliar.
Yang mengejutkan, sebut Wiratmadinata kepada Pikiran Merdeka, ketika Gubernur Aceh mengeluarkan mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh nomor 49 tahun 2016 tentang pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, pada Agustus 2016.
Dalam peraturan tersebut, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Aceh mendapatkan cuti hamil dan melahirkan selama enam bulan. Pergub itu juga berlaku untuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau tenaga honor dan tenaga kontrak perempuan. Mereka mendapatkan cuti selama 20 hari sebelum melahirkan dan enam bulan sesudah melahirkan untuk pemberian ASI eksklusif.
Bahkan, Pergub cuti hamil dan melahirkan juga berlaku bagi suami dari PNS, PPPK, tenaga honorer dan kontrak perempuan. Mereka diberikan cuti selama tujuh hari sebelum istri melahirkan dan tujuh hari setelah istri melahirkan. Hal itu diatur pada BAB VI tentang cuti hamil dan cuti melahirkan bagi PNS.
Tak lama, Gubernur Aceh melalui Sekda Aceh Dermawan meresmikan konversi Bank Aceh dari bank konvensional menjadi Bank Aceh Syariah. Zaini Abdullah dalam sambutannya menyatakan konversi Bank Aceh didasari salah satunya oleh landasan filosofis Aceh sebagai daerah mayoritas muslim diwajibkan menerapkan syariat islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk aspek ekonomi dan perbankan: menjauhi riba.
Namun anehnya, menurut aktivis Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Pemerintah Aceh yang digeber Zaini Abdulllah di akhir jabatannya, memutuskan untuk ambil pinjaman luar negeri kepada Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) Jerman untuk membangun 3 rumah sakit regional di tiga daerah di Aceh dan satu rumah sakit kanker di RSUZA lama, Banda Aceh.
Utang berjumlah €250.000 (250 ribu Euro) atau saat ini setara Rp1,3 triliun lebih. Masalahnya, pinjaman tersebut mesti dilunasi dalam waktu 10 tahun dan 5 tahun masa tenggang dengan persentase bunga antara 2,5 – 2,9 persen per tahun.
Totalnya, menurut Hafidh, Koordinator Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik MaTA, Pemerintah Aceh saat ini mewariskan utang sebanyak Rp2,3 triliun kepada pemerintahan dan generasi Aceh selanjutnya.
Bunga bank jelas riba. “Kebijakan pemerintah Aceh mengambil pinjaman luar negeri itu malah mendekati riba,” ujar Tgk Faisal Ali, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Sayangnya, DPRA yang merupakan wakil 5 juta masyarakat Aceh, tidak melihat beban berat tersebut. Sebanyak 5 dari 7 fraksi DPRA menyetujui usulan Pemerintah Aceh pinjam Rp1,3 triliun dari KfW Jerman untuk bangun tiga RSR di Bireuen, Aceh Tenggara, dan Aceh Barat, serta satu RS di RSUZA lama, Banda Aceh.
Sidang paripurna itu juga diwarnai oleh aksi demonstrasi para mahasiswa, namun massanya tak sebanyak saat isu kunjungan kerja anggota DPRA ke luar negeri. Fraksi yang menolak soft loan itu bahkan harus keluar gedung mendukung aspirasi mahasiswa.
Namun apa daya, Pemerintah Aceh sudah sepakat berutang. Yang mengkhawatirkan, sebut Wiratmadinata, Pemerintah Aceh berutang saat dalam kondisi mampu dari segi keuangan tapi akan nol bantuan anggaran dari Pusat saat memasuki masa pelunasan.
“Seharusnya Pemerintah Aceh lebih dulu menghidupkan industri usaha kecil mikro menengah di setiap kab/kota, daripada mengejar proyek mercusuar yang tidak mendesak itu,” tandas pria yang sedang menempuh doktor ilmu hukum di Unsyiah itu.[]
Belum ada komentar