Penebangan pohon pinus di untuk dijadikan kayu olahan. (Pikiran Merdeka/Pozan Matang)Penebangan pohon pinus di untuk dijadikan kayu olahan. (Pikiran Merdeka/Pozan Matang)
Penebangan pohon pinus di untuk dijadikan kayu olahan. (Pikiran Merdeka/Pozan Matang)

Banda Aceh—Hutan Aceh pasca MoU Helsinki hingga saat ini terus menyusut. Kondisi itu berbanding terbalik saat konflik bersenjata yang hutannya relatif terjaga.

“Kondisi hutan Aceh sekarang malah menyerupai keadaan hutan Aceh sebelum konflik yang juga rusak parah,” ujar Ian Singleton PhD, Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) dari Yayasan Ekosistem Lestari, dalam konferensi pers di Banda Aceh, Rabu (28/09/16).

Dia mengatakan, sebelum masa konflik Aceh, hutan Aceh terus berkurang tapi selama konflik relatif stabil karena perkebunan tidak aktif dan juga sebagian besar petani berkebun di pinggir hutan.

“Tetapi sesudah konflik selesai dan dimulainya masa perdamaian, kondisi sebelumnya telah kembali. Kerusakan dan kehilangan hutan Aceh terus terjadi lagi,” ujarnya.

Selama semester pertama 2016 saja, 4.097 hektare hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Aceh hilang akibat berubah fungsi. “Pada Januari 2016, luas hutan KEL mencapai 1.820.726 hektare. Namun berkurang menjadi 1.816.629 hektare pada Juni 2016,” jelas Agung Dwinurcahya dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) di acara yang sama.

Ia menyebutkan, KEL mencakup 13 dari 23 kabupaten/kota di Aceh. Kehilangan kawasan hutan terbanyak terjadi di Aceh Timur mencapai 1.870 hektare, dari 236.874 hektare menjadi 235.004 hektare.  Selain kehilangan kawasan hutan, dalam semester pertama tahun ini, terpantau 187 titik api di mana yang terbanyak Aceh Timur mencapai 56 titik.

 

Pemerintah Aceh, tambah Ian Singleton, tak terlalu serius dan berkomitmen tinggi dalam kelestarian dan konservasi hutan. Hal itu terbukti karena KEL yang merupakan Kawasan Strategis Nasional sama sekali tak dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh hingga kini.

Ia menjelaskan, ancaman hutan Aceh saat ini terutama akibat dari konversi hutan untuk meluaskan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan energ, dan pembukaan akses baru untuk perambahan dan konversi, untuk perburuan, dan memotong habitat satwa melalui fragmentasi.

“Tetapi, apa semua kerusakan ini dapat dibilang ‘untuk kepentingan pengembangan ekonomi?’ Cukup banyak bukti, tidak. Jumlah dan skala bencana di Aceh sangat signifikan dan kehilangan dan kerugian ekonomi juga sangat signifikan,” ucap Ian.

Sisa pohon pinus yang sudah yang dijadikan papan. (Pikiran Merdeka/Pozan Matang)
Sisa pohon pinus yang sudah yang dijadikan papan. (Pikiran Merdeka/Pozan Matang)

Sebenarnya kata dia, tak terbukti sama sekali konversi dan kerusakan ini menguntungkan ekonomi provinsi maupun daerah. Misalnya, Bank Dunia mencatat kerugian ekonomi akibat banjir di akhir tahun 2006 di Aceh mencapai USD 210 juta. Contoh lain, Bank Dunia juga mencatat kerugian ekonomi Pemerintah Indonesia akibat kebakaran hutan di tahun 2015 mencapai USD 16,1 miliar.

“Seharusnya perencanaan dan penataan ruang selalu berbasis ilmiah dan fakta fakta atau data yang benar. Di Aceh sudah banyak data berkualitas tersedia, akibat kerja beberapa instansi. Anehnya pemerintah sepertinya mengabaikan semua data dan bantuan tersebut.”
Perlu digarisbawahi, tegas Ian, jika merusak semua asset dan jasa lingkungan untuk memaksimalkan revenue dalam jangka pendek, potensi Aceh dalam pengembangan ekonomi jangka panjang sangat terancam.[]PM

Komentar