Oleh: Putra Hidayatullah
PM, Lhokseumawe – Sabtu (28/6/2025) jelang siang, tim yang terdiri dari delapan orang berangkat ke lokasi Gampong Film selanjutnya, Kota Lhokseumawe.
Perjalanan beberapa kali terjeda untuk mengambil video mobil yang satu lagi, Grandmax bertempel stiker Aceh Film Festival dan “Layar Tancap Keliling Aceh”. Mobil ini cukup mengundang perhatian orang-orang di jalanan.
Rencananya nanti semua potongan-potongan video ini akan dijadikan sebuah film singkat perjalanan Gampong Film 2025.
Baca juga: Layar Dakwah di Ulee Alue: Film Sebagai Cahaya di Kaki Gunung
Sekitar dua jam kemudian dua mobil yang ditumpangi tim Gampong Film masuk ke wilayah Lhokseumawe, tepatnya Gampong Alue Awe, Kecamatan Muara Dua.
Saat mobil berbelok ke kanan, tampak sebuah meunasah dengan halaman yang luas. Di atasnya terlihat dua terpal yang sedang dijemur.
Di sana kami disambut oleh programmer film yang telah dilatih sebelumnya. Mereka terdiri laki-laki dan perempuan yang juga merupakan mahasiswa/i Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe. Para programmer ini juga tergabung dalam Komunitas Seuramoe Cinema.
Di lokasi, mereka membantu membersihkan halaman meunasah agar para penonton nyaman.
Tim Gampong Film dibantu para programmer film lokal mengeluarkan perangkat besi dan layar dari mobil. Semua dirakit dengan susah payah hingga layar siap dinaikkan.
Empat tali diikat di tiang paling atas untuk membuat tarikan kencang dari sisi depan dan belakang agar nanti tidak goyah ketika diembus angin malam. Matahari terasa di atas kepala. Angin yang jarang berembus membuat dahi berkeringat.
Satu persatu bendera Aceh Film Festival dipasang dan diberi beban pemberat yang diisi air agar kokoh dan tidak roboh.
Jelang jam 6 sore, semuanya telah terpasang. Kami kembali ke tempat penginapan di Kota Lhokseumawe. Sambil menunggu antrean mandi, sebagian dari kami melanjutkan kerja, dan ada yang beristirahat sejenak.
Seusai magrib, semua kembali bersiap-siap. Mobil telah menunggu dan kami bergerak kembali menuju lokasi pemutaran. Di tengah jalan, kaca depan mobil mulai ada tetes-tetes air. Perasaan mulai tidak enak.
Begitu tiba di lokasi, apa yang dikhawatirkan terjadi. Hujan mengguyur deras membuat layar yang gagah jadi kuyup.
Beberapa menyangka ini akan menjadi pertunjukan yang gagal. Sesuai namanya; ini misbar, gerimis bubar.
Lepas Isya, hujan tidak kunjung reda. Hawa dingin terasa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, hujan mereda, tetapi tidak berhenti. Di tengah guyur hujan itu tim turun ke tengah lapangan sehingga membuat rambut dan badan basah semua.
Dengan perlahan dan hati-hati, layar besi yang berat itu digeser agar penonton yang duduk berteduh di bawah meunasah dapat langsung menonton dari sana. Dengan segala upaya, proyektor tetap dapat ditembak ke layar yang basah dan nyaris tidak memengaruhi kualitas gambar sama sekali.
Bang Prak, seorang penyanyi sekaligus komedian, membuka acara membangkitkan semangat dan keceriaan pengunjung. Seusai sambutan dari programmer lokal yang diikuti oleh sambutan kepala desa, penonton diajak berhitung mundur sebelum pemutaran dimulai.
Sementara film berjalan, wajah-wajah terlihat terkesima. Di barisan terdepan adalah anak-anak dengan kepala mendongak dan mulut sedikit terbuka yang sigap merespon setiap adegan lucu dengan cekikan tawa.
Bang Prak memoderatori sesi diskusi bertema anti korupsi dengan mengundang pembicara lain yang juga penyanyi dan seorang pegiat budaya, Joel Pase. Dengan nuansa komedi, keduanya membuat para penonton tidak berhenti tertawa.
Anak-anak diminta maju ke depan untuk mempraktikkan bagaimana praktik korupsi dapat terjadi di lingkungan terdekat dan dari hal-hal kecil yang terkadang tidak terduga. Tidak kalah penting setelahnya adalah respon penonton yang dipersilakan untuk menceritakan tanggapan mereka.
Salah satunya adalah Cut Zahara, seorang warga Aceh yang telah lama menetap di Amerika Serikat.
“Apa yang teman-teman lakukan melalui layar tancap ini luar biasa. Ini adalah sebentuk perlawanan di mana selama ini ada anggapan bahwa kerja-kerja kreatif di Aceh selalu dihambat oleh penguasa. Ini adalah kerja-kerja penting yang perlu terus dilanjutkan,” kata Cut Zahara.
Respon seperti ini tampak membuat tim merasa kerja-kerja mereka bermakna dan tidak sia-sia.
Jelang tengah malam, semua film berhasil diputar dan penonton terlihat lega, beberapa menguap pertanda jam tidur memanggil. Berbondong-bondong mereka pulang ke rumah masing-masing.
Setelah menghabiskan sebatang rokok, tim Gampong Film dibantu oleh programmer membongkar kembali perangkat layar dan melipat layar kain putih yang masih basah untuk dijemur.
Lewat tengah malam, seluruh proses selesai. Semua menuju ke warung kopi yang masih buka untuk minum dan bercakap-cakap sebelum kembali ke penginapan untuk merebahkan badan.
Perjalanan ke titik Gampong Film selanjutnya menanti. Keesokan hari, tanggal 29 Juni, tim bersiap menuju ke desa transmigrasi, Gegarang di Jagong Jeget, Aceh Tengah. []
Belum ada komentar