Mengakhiri Kutukan APBA Telat

Rapat Anggota DPR Aceh (Foto Istimewa)
Rapat Anggota DPR Aceh (Foto Istimewa)

Keterlambatan pengesahan RAPBA menjadi APBA masih terjadi di Aceh. Hingga memasuki minggu pertama Januari 2017, pembahasan masih berlangsung di DPRA. Hal ini pun dilakukan setelah Plt Gubernur Aceh Soedarmo melunak.

Sebelumnya, ia sudah mewacanakan mem-Pergub-kan anggaran derah untuk tahun 2017. Namun, belakangan ia menyatakan siap duduk kembali dengan pihak legislatif. Setelah adanya kata sepakat kedua pihak, Soedarmo dan Ketua DPRA Muharuddin menyatakan bakal menyelesaikan pembahasan pada 17 Januari 2017.

Keterlambatan pengesahan APBA sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. Sebab, UU mengamanahkan pengesahan APBA paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Selain itu, keterlambatan tersebut semakin memperburuk upaya pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi rakyat Aceh.

Jika dicermati, persoalan keterlambatan pengesahan APBA bukan hal baru lagi di Aceh. Sejak tahun 2004, APBA selalu terlambat disahkan dan qanunkan. Pihak legislatif maupun eksekutif sama sekali tidak merasa bersalah, dan tidak ada niat untuk memperbaiki kinerja dalam membahas APBA di tahun berikutnya.

Tercatat, tahun 2004 APBA molor dan baru disahkan pada April 2004. Bahkan, APBA 2007 baru disahkan pada akhir Juni 2007. Tahun ini, kutukan keterlambatan APBA juga terjadi. APBA 2017 juga dipastikan sudah terlambat. Bahkan belum diketahui seberapa lama keterlambatan APBA tahun ini. Akibatnya, Pemerintah Aceh belum bisa melakukan action plan pembangunan sejumlah proyek dan program pembangunan selama setahun anggaran.

Pengamat politik Unimal, Teuku Kemal Fasya menilai, masih belum berubahnya fenomena ini akibat belum terlaksananya kerja yang professional dalam pemerintahan. “Bagi yang bekerja sungguh-sungguh tidak mendapatkan reward dan pegawai berkinerja jelek tak mendapatkan punishment,” katanya.

Menurut Kemal, kondisi itu dipicu kentalnya kultur nepotisme dalam penunjukan pejabat di dalam struktur Pemerintah Aceh. Hanya orang yang suka menjilat dan dekat dengan kekuasaan yang mengisi kabinet atau SKPA. “Jika hal itu masih terjadi, kita tak akan mendapatkan budaya kerja yang berbasis kepada kinerja. Budaya kerja masih berbasis kepada budaya menyogok dan menyuap,” ujar Kemal, Sabtu pekan lalu.

Tradisi keterlabatan pengesahan anggaran, kata Kemal, belum akan berubah jika belum adanya reformasi pemerintahan dan birokrasi.  Apalagi, jika batas deadline dilampaui, Aceh juga akan dikenakan penalti berupa pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 30 persen dari dana bagi hasil Migas. “Saya tak melihat budaya ini akan berubah selama belum ada reformasi birokrasi oleh pemerintah di Aceh,” sambungnya.

Meski begitu, ia menilai kelemahan terbesar ada di pihak DPRA. Menurut dia, sejelek-jeleknya eksekutif, dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan pemerintahan sudah berada di ruang birokrasi dan sudah dididik mengerti perencanaan tahunan. Sementara legislatif bukan terbentuk dari unsur profesional. “Kebanyakan di antara mereka tak memiliki kecerdasan birokasi, kecerdasan analogi, kecerdasan hukum dan konsep pembangunan,” tegas Kemal.

Untuk menghindari keterlambatan serupa pada pembahasan APBA 2018, Kemal mewanti-wanti legislatif dan eksekutif untuk berbenah. Menurutnya, keterlambatan dibahasnya anggaran menjadi persoalan serius bagi Aceh. Telatnya pembahasan berimbas pada telatnya dimasukkan ke dalam DIPA dan pengesahan qanun APBA. Untuk itu, ia meminta legilatif dan eksekutif agar menghapuskan praktik lobi proyek dan titip proyek.

Baca: Solusi Salah Kaprah Pergub APBA

“Potong semua proses lobbying untuk menitipkan proyek seperti yang terjadi selama ini. Itu yang menyebabkan pembahasan RAPBA selalu telat,” kata akademisi Unimal ini.

Selain itu, masih adanya kepentingan dari kekuasaan bayangan yang mampu mengatur dan mengintervensi anggaran juga menjadi problem. Shadow power atau kekuatan bayangan yang disebut Kemal masih mengendalikan penganggaran, juga menjadi persoalan serius. “Jangan ada lagi shadow power yang mengatur APBA hingga membuat keterlambatan dalam pengesahannya,” sambung Kemal.

Selama ini, kata Kemal, mereka berkepentingan menentukan proyek-proyek yang sejatinya bukan kepentingan publik, melainkan kepentingan mereka sendiri. Namun, ia tak merincikan siapa yang ia maksud kekuatan bayangan yang selama ini mencampuri urusan penganggaran APBA.

“Adanya kongkalikong pada pola perencanaan yang tersistematis, kalah kuat dengan perencanaan yang berbasi politik. Dan, itu yang membuat pembangunan kita bopeng dan tak terintegarasi,” sambungnya.

Hal senada diungkapkan Kepala Ombudsman RI Provinsi Aceh Dr Taqwaddin SH. Selaku kepala lembaga negara yang fungsinya mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, Taqwaddin menyatakan pihaknya punya kepentingan agar APBA dapat disahkan tepat waktu. Karenanya, untuk APBA 2018, ia mengharapkan  agar pembahasan Raqan APBA dapat dimulai paling lambat pada awal Oktober, sehingga pertengahan bulan Desember sudah bisa disahkan.

“Semoga gubernur yang terpilih nanti dapat membina keharmonisan dengan pihak legislatif Aceh. Jangan sampai, akibat ketidakharmonisan elit menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat,” pungkas Taqwaddin.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

kuappas
Pj. Gubernur Aceh, Dr. H. Safrizal ZA, M.Si, dan Ketua DPRA Zulfadhli, A.Md, usai menandatangani Nota Kesepakatan bersama terhadap Rancangan KUA dan PPAS Tahun Anggaran 2025 dalam Rapat Paripurna di Gedung DPRA, Banda Aceh, Selasa, (17/9/2024) malam. Foto: Biro Adpim

Pj Gubernur Safrizal Teken Nota Kesepakatan Bersama Rancangan KUA PPAS Tahun Anggaran 2025