Oleh: Akbar Rafsanjani*
PM, Lhokseumawe — Mobil yang kami tumpangi masuk ke kota Lhokseumawe. Kami berangkat dari arah Samalanga ke Lhokseumawe lewat jalan utama Banda Aceh – Medan. Kiri-kanan, artefak industrialisasi kota ini menjadi jangkar ingatan bagi kami tentang era kejayaan kota Lhokseumawe yang konon tidak pernah dinikmati oleh warga Lhokseumawe sendiri, bahkan orang Aceh secara luas.
Jejak kejayaan industri minyak dan gas masih terasa dalam besi-besi industri yang kini mulai terlihat tua dan rongsok. Pada masa puncaknya di tahun 1980-an dan 1990-an, kota ini dijuluki kota “Petro Dollar”, julukan yang lahir dari mengalirnya kekayaan gas alam dari ladang Arun ke pasar dunia.
Kilang gas PT Arun LNG, salah satu yang terbesar di Asia Tenggara saat itu, tidak hanya mengubah wajah ekonomi Lhokseumawe, tapi juga mempercepat transformasi sosial dan budaya warganya.
Kota industri ini, salah satu yang terbesar di Aceh setelah Banda Aceh, telah lama dikenal sebagai tempat lahirnya beragam kreator seni: dari musisi independen hingga animator muda, dari pembuat film dokumenter hingga penulis skenario.
Jika Aceh kelak memutuskan untuk membangun bioskop-bioskop baru di luar ibu kota provinsi, Lhokseumawe hampir pasti akan menjadi kandidat terdepan.
Namun sebelum layar perak benar-benar terbentang, sebuah langkah kecil tapi signifikan sedang dimulai di IAIN Lhokseumawe. Selama dua hari, enam orang mahasiswa dari Fakultas Ushuluddin dan Adab (FUAD) mengikuti pelatihan intensif menjadi programmer film, pekerjaan yang biasanya diasosiasikan dengan festival-festival internasional, kurator budaya, atau pemutaran alternatif sinema di kota besar.
Pelatihan ini merupakan bagian dari program Programmer Gampong Film yang digagas oleh Aceh Documentary sebagai bagian dari rangkaian Aceh Film Festival.
Tujuannya sederhana namun ambisius: mencetak generasi baru programmer film dari berbagai kota dan latar belakang, yang mampu membaca konteks sosial budaya mereka sendiri dan menyusun program pemutaran film yang relevan dan bisa menstimulasi perubahan.
“Kami mengapresiasi Aceh Documentary atas kerjasama melaksanakan program pelatihan Programmer Gampong Film di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, IAIN Lhokseumawe. Kami punya rencana untuk membuat komunitas film yang fokus pada apresiasi film: menonton, mereview, dan merekomendasi film untuk lebih memberi impact,” kata Rizqi Wahyudi, M.Kom.I., Wakil Dekan III IAIN Lhokseumawe.
Dalam pelatihan ini, para peserta tidak hanya diajak menyelami dunia kuratorial film, yakni bagaimana menyusun tema, memilih film, dan menyusun sesi diskusi. Tetapi juga belajar hal-hal teknis seperti penyusunan surat-menyurat administrasi, cara mengakses film secara sah, serta pengetahuan dasar tentang hak cipta dan perizinan distribusi.
Materi teknis seperti pengelolaan ruang pemutaran, tata letak tempat duduk, hingga pengoperasian proyektor dan sistem suara pun menjadi bagian dari silabus.
“Awalnya saya kira film itu hanya soal hiburan. Saya tidak tahu kalau film ini punya peran besar untuk membawa perubahan sosial dalam kehidupan, sampai saya ikut pelatihan Programmer Gampong Film ini, dan itu (pembawa perubahan) adalah kerja Programmer Film,” cerita Fadhil, mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang juga salah satu peserta pelatihan.
Aceh Documentary, yang selama lebih dari satu dekade konsisten bekerja di ranah perfilman dan pendidikan film, melihat Lhokseumawe sebagai medan yang strategis. Kota ini punya basis penonton muda yang aktif, perguruan tinggi yang dinamis, serta komunitas seni yang terkoneksi dengan skena nasional.
Selama ini wacana tentang ekosistem film di Aceh selalu terjebak pada bangunan fisik bioskop. Tapi kita lupa bahwa membangun ekosistem film tidak cukup hanya dengan bangunan fisik. Harus ada manusianya. Harus ada programmernya. Harus ada penontonnya yang siap.
Melalui pelatihan ini, Aceh Documentary berharap bisa berkontribusi menyiapkan infrastruktur manusia dan budaya untuk masa depan sinema di Aceh.
Jika bioskop kelak hadir di Lhokseumawe, mereka ingin para alumnus pelatihan inilah yang menjadi jantungnya, bukan hanya sebagai operator teknis, tetapi sebagai penggerak wacana, pembuat program, dan penghubung antara film dan masyarakat. []
*Penulis merupakan programmer film di Aceh Documentary
1 Komentar
Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)