Proyek Rente Abu Doto
Proyek Rente Abu Doto

Terkejut dan sedih ketika membaca kabar di media massa bahwa pihak legislatif telah menyetujui kredit dari Bank Pemerintah Jerman, Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KFW) sebesar Rp 1.396.730.400.000 yang diajukan pihak eksekutif. Partai-partai yang dikabarkan setuju atas pinjaman tersebut, yaitu Partai Aceh, Golkar, Persatuan Pembangunan, PAN, Gerindra dan PKS. Sedangkan Nasdem dan Demokrat tidak setuju.

Pinjaman dengan suku bunga (riba) yang mencapai 2,5-3,5 persen ini kemudian mendapat kritikan yang sangat “pedas” dan mencerahkan dari  Ahmad Humam Hamid dalam opini Serambi Indonesia dengan judul “Menyoal Kredit KFW, (Senin, 31 Oktober 2016). Memang sangat aneh, di tengah banjirnya dana Otonomi Khusus (Otsus) dari Pemerintah Pusat, kenapa bisa muncul pikiran untuk berhutang dari luar negeri, dan dengan jumlah bunga riba yang sangat besar?

Meminjam uang dari luar negeri meskipun dibolehkan namun seharusnya memperhatikan berbagai sisi, khususnya pandangan Syariat Islam serta nasib dan masa depan Aceh. Sebagai umat Islam, fiqh halal dan haram sudah semestinya terus mendapat perhatian kita dalam skala yang maksimal, karena dengan cara demikian akan membedakan kita dengan non Islam. Dalam aspek ekonomi, Islam melarang riba, sementara sistem kafir membolehkannya. Lalu kita pilih yang mana?

Secara teologis, ketika umat Islam menggunakan sistem riba dalam praktek ekonomi–perbankan, maka itulah tanda kehancuran dan kemunduran. Sebab, ukuran pembangunan menuju kejayaan dari perspektif Islam adalah berdasarkan pandangan Islam, yaitu halal dan haram. Halal adalah pembangunan yang dikehendaki Islam, sementara riba yang haram adalah ditolak Islam karena muatannya yang menindas dan meruntuhkan sebuah peradaban.

Apalagi, dalam kasus kredit dari KFW ini, jelas bahwa di sana terdapat unsur ribawi yang mengancam keberlangsungan entitas Aceh. Secara ringkas dapat kita katakan, di tengah kucuran dana Otsus dari pemerintah pusat, seharusnya Pemerintah Aceh tidak perlu menghutang uang untuk membangun Aceh. Sebab, secara logika, jika saat punya uang (dana Otsus) saja kita menghutang, lalu bagaimana kita akan membayarnya sementara dana Otsus akan segera berakhir? Ini akan menjadi beban besar bagi rakyat Aceh di masa depan. Apakah Gubernur dan pihak legislatif (DPRA) sampai berfikir ke arah itu?

Baca: Pinjaman Luar Negeri Sarat Unsur Riba dan Bukan Pinjaman Lunak

Kredit pada bank Jerman tersebut, terdapat bunga yang bukan saja nilainya sangat besar, namun juga statusnya bunga yang riba dalam ajaran Islam. Jadi bagaimana membangun Aceh dengan cara yang haram, padahal Aceh juga sedang berjuang menegakkan Syariat Islam secara kaffah? Sungguh ini sebuah hal yang sangat ironis, memilukan sekaligus memalukan. Seharusnya, jikapun tidak bisa membantu menegakkan Syariat Islam secara kaffah di Aceh, minimal jangan menjadi pihak yang merusak Syariat Islam.

Setidakanya terdapat dua pengkhianatan dari kredit pada KFW tersebut. Pertama, pengkhianatan terhadap Syariat Islam di Aceh. Kedua, pengkhianatan terhadap masyarakat Aceh. Sebab, meskipun pinjaman riba tersebut berdalih untuk pembangunan, namun ribanya adalah suatu penindasan. Dapat disimpulkan, bahwa agenda pembangunan dengan uang riba yang “mencekik” leher sesungguhnya merupakan “penindasan berlabel pembangunan”. Bahkan riba tersebut sebenarnya bukan hanya penindasan, namun juga penghancur peradaban. Sungguh menyedihkan.

Bagaimana kita memaknai kredit riba itu sebagai pembangunan, padahal praktek riba adalah proses menuju kehancuran? Dalam perspektif Islam, umat Islam akan mundur kalau meninggalkan ajaran Islam, sebab sejarah menunjukkan dengan ajaran Islam pulalah yang telah membawa mereka ke puncak kejayaannya. Melakukan praktek riba apalagi sebesar riba dalam kasus kredit pada KFW ini, jelas-jelas akan membawa kepada kehancuran. Sama sekali bukan pembangunan.

Ketika menjelaskan faktor-faktor yang bisa menyebabkan hancurnya sebuah peradaban, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa praktek riba adalah sebagai salah satu faktor hancurnya sebuah peradaban (Lihat Mukaddimah, terjemahan Masturi Ilham, 2011). Ibnu Khaldun (hal: 667) mengatakan, “Karena itu pada diri mereka terdapat banyak kefasikan, keburukan, perilaku hina dan rekayasa dalam mata pencaharian, baik dengan cara yang seharusnya maupun tidak. Seseorang beralih memikirkan, mendalami dan menghimpun taktik untuk melakukannya. Akhirnya, Anda lihat orang-orang tega berbohong, suka bertaruh, menipu, membujuk, mencuri, menyimpang dari keimanan dan riba dalam jual beli.”

Baca: Wariskan Hutang di Akhir Jabatan

Bahkan, teori kehancuran peradaban akibat praktek kedurhakaan kepada Allah Swt ini juga sangat jelas mendapat justifikasi dari Alquran. Simaklah ayat Allah Swt berikut ini, “Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (QS. Al Isra,: 16)

Teori riba sebagai salah satu penyebab hancurnya sebuah peradaban juga mendapat banyak sekali pembenaran dalam sejarah Islam, bahkan juga sejarah bangsa-bangsa di era modern. Sebagai contoh, jika kita melihat faktor-faktor penyebab runtuhnya Khilafah Usmaniyah, maka kita akan menemukan fakta-fakta bahwa salah satu faktornya yaitu disebabkan sistem ekonomi Islam telah diganti menjadi sistem ekonomi ribawi yang saat ini berwujud nyata pada eksistensi bank konvensional.

Pada awalnya, terdapatnya keluarga Khilafah Usmaniyah yang menyimpan pundi-pundi harta membuat mereka terjebak dalam sistem ribawi yang dipelopori oleh kalangan Yahudi dan kalangan mereka sebagai bankirnya. Perlahan-lahan Kekhalifahan Islam Usmaniyah melemah karena terjebak hutang riba kepada para bankir.

Berkata Abdalqadar Al-Sufi, “Kejatuhan Khalifah karena hutang riba yang secara matematis tidak dapat dipenuhi dan dilampaui, yang pembayaran bunganya saja mencegah bisa terlepas dari jumlah utang pokoknya. Pinjaman-pinjaman untuk membayar bunga atas utang-utang—ini saja sudah cukup untuk menghancurkan peradaban manusia terbesar—dan penipuan yang tidak dapat dielakkan: bahwa proyek, teknik mengikat dan menghubungkan kepada mekanisme utang-berbunga dan lembaga-lembaga yang membuat dua fenomena ini tampak menjadi satu.” (lihat: Kembalinya Khilafah, 2016: 69).

Jadi, keruntuhan Khilafah Usmaniyah yang telah memimpin peradaban melebihi lima abad adalah akibat keserakahan kalangan internal kekhalifahan yang kemudian membuat mereka terjebak dengan praktek ribawi yang dengan sengaja dijalankan kalangan Yahudi untuk memperteguh hegemoni dan eksistensi mereka atas berbagai bangsa saat itu. Padahal, riba sama sekali bertentangan dengan Syariat Islam. Dengan kata lain, ketika Syariat Islam (dalam bentuk keharaman riba) telah dilanggar, maka ini menjadi faktor runtuhnya Khalifahan Islam Usmaniyah.

Di dunia modern, salah satu negara yang ambruk oleh sistem riba yang merupakan ideologi kapitalisme ini adalah Yunani. Sementara negara-negara Eropa lainnya perlahan namun pasti akan mengalami nasib serupa. Maka ketika Islam melarang praktek riba, sebagai ajaran yang bersumber dari langit, tentu saja terdapat hikmat yang sangat besar. Apakah kita berfikir? Pemerintah Aceh dan legislatif harus sadar sebelum terlambat. Takutlah kepada Allah swt yang telah mengharamkan riba. Wallahu a’lam bishshawab.[]

Teuku Zulkhairi

[Sekjend Pengurus Wilayah Badan Koordinasi Mubaligh Indonesia (PW Bakomuibin) Provinsi Aceh. Mahasiswa Program Doktoral UIN Ar-Raniry, Banda Aceh dan Peneliti di AFSIC]

Komentar