Proyek fly over Simpang Surabaya, Banda Aceh, terhambat proses pembebasan lahan. Negosiasi Pemko Banda Aceh dengan tiga pemilik lahan menemui jalan buntu.
Pertumbuhan kendaraan roda dua dan empat di Banda Aceh melonjak drastis usai bencana gempa dan tsunami 2004 silam. Tak ayal, jika antrian panjang kendaraan kerap memenuhi ruas jalan ibukota berjulukan kota madani itu.
Di Jalan Simpang Surabaya, misalnya, saban pagi terjadi kemacetan panjang. Kondisi itu sangat meresahkan. Wajar saja jika beberapa gebrakan baru dimunculkan sebagai solusi pembasmi kemacetan yang menjadi momok bagi pengguna jalan.
Pada 2015 lalu, melalui Kementrian PU, pemerintah pusat mengalokasikain dana sebesar Rp307,6 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) 2015, untuk pembangunan proyek fly over (jembatan layang) sepanjang 850,954 meter.
Sejak itu, tahapan demi tahapan pra-kualifikasi pembangunan proyek itu gencar dipersiapkan. Namun, berbagai permasalahan lapangan satu persatu bermunculan. Mulai dari sikap acuh tak acuhnya pemindahan kabel listrik oleh awak PLN hingga lambannya penanganan kebocoran pipa air bersih milik PDAM Tirta Daroy.
Bahkan, baru-baru ini, terhambatnya pembebasan beberapa lahan warga—di sekitar proyek—juga kian santer diperbincangkan. Tuding-menuding antara pihak Pemko Banda Aceh dan pemilik lahan semakin tak terelakkan.
Samsul Bahri, Kepala Dinas PU Kota Banda Aceh mengatakan, proses negosiasi pembebasan lahan tersebut sudah dilakukan pihaknya sejak 2015 lalu. Namun, hingga saat ini tiga pemilik lahan, dr Andalas, H Anwar dan keluarga Almarhum Abu Manyak, masih bersikukuh tidak membiarkan tanah mereka ‘diborong’ untuk pembangunan fly over tersebut.
“Bukan masalah tidak cocok harga. Tapi mereka ini plin-plan, tidak tahu saya apa (penyebabnya). Hari ini mau, besok sudah tidak mau. Kalau masalah harga, orang lain sudah setuju semua,” tuturnya saat dihubungi Pikiran Merdeka, Kamis (16/06/16).
Bahkan, karena permasalahan tersebut sudah terlalu bertele-tele dan tidak menemui titik temu antara Pemko dan pemilik lahan, pihaknya sudah meminta Pengadilan Negeri Banda Aceh untuk menyelesaikannya hingga tuntas.
“Karena sudah tidak ada kesepakatan lagi, ya sudah kita tempuh jalan pengadilan. Ini mungkin karena mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda. Mungkin dia (pemilik lahan) sudah mau, adiknya tidak mau. Jadi makanya dari kita (Dinas PU dan Pemko) tidak mau mengulur-ulur, sementara waktu jalan terus,” ungkapnya.
Ia mengaku harus menempuh jalur hukum akibat terhambatnya pembebasan lahan yang telah menghalangi pengerjaan proyek dan mengganggu aktivitas transportasi warga yang dialihkan akibat pembangunan fly over tersebut.
“Karena pada saat kita mau buat fly over di (bagian) tengah nanti, jalur transportasi akan kita alih ke pinggir. Kalau sudah dibebaskan semua tanah tersebut, jika jalan tengah terganggu, kan bisa dialihkan ke samping. Sementara, kalau tidak dibebaskan memang akan sangat terganggu pelaksanaannya,” imbuhnya.
Sementara saat dikonfirmasi Pikiran Merdeka, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Pembangunan Jembatan Layang tersebut, Hermansyah, menerangkan, di lokasi pembangunan fly over yang diawasinya itu memang masih tersisa tiga persil tanah warga yang belum dibebaskan.

Akibatnya, proses pembangunan jembatan layang tersebut masih menemui kendala, seperti yang terjadi di depan Klinik Putroe Phang milik dr. Andalas yang terletak di bahu Jalan Tgk Chik Ditiro.
Pihaknya padahal sudah beberapa kali menggelar rapat dengan dr Andalas yang diwakili adik kandungnya, Putra. Awalnya, kata Hermansyah, dr Andalas sudah setuju dengan pembebasan lahan.
“Tiba-tiba kita tidak tahu apa kendalanya dengan Pemko, pembebasan itu sudah tidak dibolehkan lagi. Sedangkan kami sudah terlanjur buka (lahan) yang di depan Klinik Putroe Phang. Terakhir, disuruh tutup balik (oleh pemilik lahan). Ya, sudah kami mengalah karena mereka belum sepakat,” katanya.
Lanjut ke halaman 2
Belum ada komentar