Jadi Gay Itu Pilihan, Bukan Takdir!

Jadi Gay Itu Pilihan, Bukan Takdir!
Jadi Gay Itu Pilihan, Bukan Takdir!

Ilustrasi pasanganSETIAP pagi dan sore hari, Ferry sudah mandi dan berpakaian rapi. Dengan rambut disisir, pria hitam-manis bertinggi badan 170 sentimeter itu melempar senyum ke setiap perempuan yang lewat. Sesekali, perempuan-perempuan itu digodanya.

Boleh jadi orang menilai Ferry sebagai laki-laki genit. Tapi, bagi Darmawan, tingkah genit Ferry adalah keajaiban. Sebab, tiga bulan sebelumnya keadaan mental Ferry boleh dibilang sangat buruk.

Ferry diantar keluarganya ke Madani Mental Health Care—klinik kejiwaan yang didirikan psikiater Prof Dadang Hawari—karena mengalami depresi akibat narkotika dan mengidap homoseksual.

“Setelah terapi tiga bulan, dia tidak senyum-senyum ke laki-laki lagi, dan mulai tertarik kepada lawan jenis,” ujar Darmawan, Ketua Yayasan Madani Mental Health Care, Jakarta kepada Suara Hidayatullah bulan lalu.

Kata Darmawan, selama tiga bulan penuh Ferry menjalani terapi fisik dan psikis. Katanya, 50 persen terapi menggunakan obat-obatan. Dia mengaku tidak tahu obat-obatan apa yang diresepkan Prof Dadang untuk Ferry. Tapi, Prof Dadang mengaku menghindari obat-obatan adiktif seperti Metadhone dan Subutex.

Selain obat, Ferry juga menjalani konseling pribadi dan kelompok, diajari gaya hidup sehat, shalat lima waktu, dan diajak menonton film bersama, terutama film tentang HIV/AIDS. “Kita gembleng agamanya dan kita ajak muhasabah,” kata Darmawan.

Sayangnya, kata Darmawan, setelah selesai terapi di tahun 2006 itu dia putus hubungan sama sekali dengan Ferry dan keluarganya.

Selain kisah Ferry, Majalah Hidayatullah juga mewawancarai dua orang mantan homoseks yaitu Zemarey Albakhin di Bandung dan Haris (nama samaran) di Jakarta. Keduanya telah menikah namun belum dikaruniai anak.

Haris (32) yang berprofesi sebagai wiraswasta mengaku sudah lima tahun lepas dari jerat homoseksual. Dia baru saja menikah bulan Februari tahun ini. Dia mengaku sudah tertarik kepada sesama pria sejak sekolah menengah pertama dan terjerumus ke dalam pergaulan sesama jenis saat kuliah.

“Walau sempat menikmatinya, terkadang perasaan takut dosa ada dalam hati saya,” kata Haris mengakui.

Haris mengaku merahasiakan identitas homonya. Hanya pacar homonya dan beberapa teman dekat saja yang tahu. “Istri saya tidak tahu saya pernah jadi gay,” katanya.

Saat mulai bekerja, barulah Haris mulai merenung dan merasa tidak ingin selamanya menjadi gay. Dia juga merasa mendapat teguran dari Allah Subhanahu Wata’ala saat menyaksikan sahabatnya meninggal dunia karena kanker paru-paru. “Bagaimana jika hal itu terjadi pada saya yang belum sempat bertobat?”

Haris pun mulai belajar kembali ajaran agama. Dia rajin shalat berjamaah di masjid, membeli buku-buku agama, menonton ceramah, bertanya ke ustadz, dan melakukan puasa sunnah. Selama empat tahun dia bergumul melawan hasrat homoseksnya, dan tahun pertama adalah ujian yang terberat.

“Semakin banyak godaan. Misalnya, ajakan untuk pacaran berhubungan seks dengan orang-orang yang dulu saya kagumi, nongkrong (dengan gay), dan lainnya,” ujar wirausahawan yang tinggal di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan ini.

Sekarang Haris mengaku telah benar-benar lepas dari jerat homoseks, dan berusaha hidup normal dengan menikahi seorang gadis. “Saya berharap Allah Subhanahu Wata’ala memberi saya keturunan yang saleh. Insya Allah Subhanahu Wata’ala, saya akan berusaha mendidiknya dengan benar agar tidak tersesat seperti saya dulu,” kata Haris berharap.

Terang-terangan

Jika Haris memilih menyembunyikan pengalamannya, Zemarey Albakhin justru tampil di muka umum mengaku sebagai mantan homoseks. Pria berusia 34 tahun, yang akrab disapa Bang Rey ini mengaku ketagihan berbicara di publik setelah mencurahkan isi hatinya (curhat) di salah satu radio Islam di Bandung.

Berbekal pengalamannya, Bang Rey mengaku telah menerima lebih dari seratus orang yang mempunyai masalah sama sepertinya. Tapi, kata Bang Rey, hanya empat orang dari mereka yang bisa dibilang berhasil sembuh dari penyakit homoseks.

Kepada Suara Hidayatullah yang menemuinya di Bandung Agustus lalu, Bang Rey mengaku telah menjadi gay sejak kelas I SMP dan sepenuhnya meninggalkan dunia gay sejak tahun 2000. Tiga tahun setelah itu, 2003, dia pun menikahi pacar terakhirnya, Nur.

Meski telah menikah, Bang Rey mengaku masih memiliki hasrat terhadap laki-laki. Tapi cintanya kepada istri membuatnya bisa menahan diri. “Nur membuat saya mengeremnya,” kata Bang Rey yang saat itu tengah mengisi acara Ramadhan di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung.

Nur sendiri baru mengetahui keadaan sang suami setelah setahun menikah. Dia mengaku kaget dan tertekan. Namun, karena komitmen sang suami yang mau berjuang melawan ujian fitnah homoseksual, membuat Nur setia menemani dan mendukung langkah Rey.

Bagi Nur, Rey adalah ladang amalnya untuk meraih surga. Karena belum dikaruniai anak, keduanya menampung empat anak asuh. Setiap hari rumah mereka juga dipenuhi puluhan anak-anak yang belajar mengaji.

Rey mengaku, dakwahnya kepada para gay tidak berjalan mulus. Katanya, dia pernah diancam oleh klub homoseks karena aktivitasnya itu. “Alasan mereka, mencintai itu adalah hak asasi. Hal yang sering dikatakan para gay yakni ‘saya juga tak mau seperti ini, tapi Tuhan menciptakan saya berbeda,” ujar Bang Rey.

Kepada para gay, Rey berpesan agar membuka diri, hati, pikiran dan sanubari agar hidayah Allah Subhanahu Wata’ala bisa datang. Katanya, kepada yang sedang berjuang keluar dari belitan homoseksual agar bertahan menguatkan iman, dan jangan memendam masalah sendirian. “Allah Subhanahu Wata’ala tidak mungkin meninggalkan hambanya yang tengah berikhtiar,” pesan Rey.

Selain mengisi acara sebagai nara sumber, Rey juga rajin menulis buku. Hingga kini dia telah menulis tiga buku. Bersama istrinya di rumah dia juga membuka warung kecil-kecilan. Setiap hari Rey juga melayani puluhan konsultasi kepada penderita homoseksual. Selain tatap muka, dia juga melayani konsultasi lewat telepon, surat elektronik, dan media jejering sosial seperti Facebook dan Twitter.

Pesan terakhir dari Bang Rey, “Menjadi gay atau tidak itu adalah pilihan, bukan takdir,” ujarnya.[hidayatullah]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait