PM, BANDA ACEH – Pengamat politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada, menilai, Surat Nomor 161/2611 perihal Penundaan Pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dikeluarkan oleh DPRA, menjadi indikasi dari darurat demokrasi di Aceh.

Sebab, surat yang dikeluarkan oleh DPRA pada tanggal 5 Oktober 2017 itu, merupakan bentuk intervensi sekaligus ancaman DPRA terhadap kemandirian penyelenggaraan Pemilu di Aceh.

“Demokrasi di Aceh kini berada dalam posisi darurat sebab sudah dibayang-bayangi oleh teror yang dilakukan oleh DPRA, dengan berupaya mengontrol jalannya penyelenggaraan Pemilu 2019 di Aceh,” ujar Aryos, dalam siaran pers diterima redaksi, Sabtu (7/10).

Surat yang dikeluarkan DPRA tersebut, kata Aryos, merupakan indikasi ancaman sekaligus bentuk intervensi parlemen lokal yang saat ini didomonasi partai lokal, dalam mempengaruhi kemandirian dan independensi penyelenggara Pemilu di Aceh.

“Hal ini sangat mengkhawatirkan saya kira. Ini semakin menegaskan bahwa adanya upaya yang dilakukan DPRA dalam mengontrol kebijakan penyelenggaraan Pemilu di Aceh. Surat tersebut terkesan memerintahkan agar KPU RI dan KIP Aceh untuk tidak mengimplementasikan UU Pemilu di Aceh, hanya karena sedang dalam proses sengketa di MK. Padahal DPRA sama sekali tidak berwenang untuk mengintervensi penyelenggaraan Pemilu,” kata Aryos.

Dalam UUPA, sambung dia, kewenangan DPRA dalam kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh terbatas pada rekrutmen penyelenggara. Sedangkan mekanisme teknis penyelenggaraan hal tersebut, merupakan ranah KIP sebagai penyelenggara Pemilu.

“Dengan demikian, DPRA dalam hal ini telah melakukan tindakan Abuse of Power (penyalah gunaan kekuasaan), karena sudah menggunakan kekuasaan diluar dari pada kewenangannya,” tegas dosen Ilmu Politik Unsyiah ini.

Terakhir, alumnus magister ilmu politik ini juga menambahkan berkaca dari situasi darurat demokrasi di Aceh saat ini, maka patut dipertimbangkan kembali untuk mendukung agar proses seleksi tidak lagi melibatkan unsur parlemen lokal (DPRA/DPRK).

“Karena proses rekrutmen satu pintu via DPRA/DPRK rentan dengan ancaman dan intervensi terhadap kemandirian penyelenggaraan Pemilu. Parlemen lokal merasa berhak untuk mengontrol jalannya Pemilu. Karena mereka menganggap penyelenggara dipilih oleh mereka,” pungkas Aryos.()

Komentar