Haikal tak punya jawaban lain saat ditanya soal sejarah Islam di Indonesia. Berulang kali ia geleng-geleng kepala. Siswa salah satu Madrasah Tsanawiyah di Banda Aceh ini memang lebih banyak belajar peradaban Islam Jazirah Arab, ia sempat menjelaskan masa kepemimpinan Khulafaurrasyidin yang lebih sering ia sebut ‘Khalifah empat’, lalu kisah sejarah dinasti-dinasti setelahnya.
Beberapa waktu kemudian ia menyela, “Samudera Pasai, itu kerajaan Islam di Aceh yang paling dikenal.” Namun, Haikal tak bisa menjelaskan lebih lanjut, ia tak tahu banyak tentang Samudera Pasai. Hanya pernah mendengar namanya saja.
Ia mengaku tak begitu menyukai pelajaran sejarah. Ketika ditanyai tentang Barus, ia mengaku tak pernah mendapati nama itu di buku-buku sejarah sekolah yang pernah ia baca.
Sejarah Islam Aceh barangkali mulai kurang diminati oleh sebagian besar generasi muda di Aceh, seperti yang dialami Haikal. Bisa jadi karena bacaan sejarah telanjur diidentikkan dengan kesan membosankan, karena hanya berputar pada pembahasan kronologis sebuah peristiwa dan kurang dimaknai dalam konteks kekinian. Sejarah dianggap masa lalu yang sama sekali terputus dengan realita. Hanya cerita, maka mudah dilupakan.
Celakanya, di Aceh, daya pengetahuan masyarakat terhadap sejarah yang kian terkikis beriringan dengan hilangnya satu per satu warisan fisik sejarah itu sendiri. Dalam liputan edisi lalu, Pikiran Merdeka mengungkit kembali beberapa warisan sejarah yang terpaksa dihilangkan karena ambisi pembangunan infrastruktur. Pohon ‘Kohler’ di area Masjid Raya Baiturrahman, misalnya. Miris saat mengetahui pohon beserta tugu penanda peristiwa sejarah penembakan jenderal Belanda ini, harus digusur untuk program perluasan masjid.
Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir, Aceh dikagetkan dengan peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus, Sumatera Utara oleh Presiden Jokowi. Para akademisi, sejarawan, dan mahasiswa di Aceh terhenyak. Banyak yang tidak menyangka bagaimana mungkin wilayah Barus menjadi titik awal pembangunan peradaban Islam di Nusantara, sedangkan lebih banyak literatur sejarah yang menyebutkan, bahwa Samudera Pasai-lah gerbang peradaban Islam pertama di Asia Tenggara.
Sejak itu pula muncul kritikan di media massa. Orang-orang menumpahkan keberatannya, banyak yang tak terima situs sejarah Aceh sebagai pintu masuk Islam di Nusantara, harus dipinggirkan. Dugaan demi dugaan berseliweran di media sosial, seperti anggapan bahwa penetapan itu lebih bernuansa pilihan politik, bukan narasi pengetahuan.
Peresmian tugu peradaban Islam Barus, dinilai Antropolog Reza Idria lebih merupakan klaim sepihak dari Pemerintah Pusat. “Tujuannya bisa saja untuk mendapat reaksi dan resepsi masyarakat Indonesia terhadap klaim tersebut,” katanya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Insiatif penetapan tugu nol ini berasal dari Pemerintah Daerah Tapanuli Tengah. Karena itu, sulit untuk menguji basis pengetahuan apa yang digunakan dalam menetapkan Barus sebagai titik awal peradaban Islam Nusantara.
“Karena itu saya kira cuma klaim yang lebih didominasi oleh kepentingan geopolitik, tepatnya keinginan mempromosikan kembali wilayah Barus dan menarik perhatian Pusat untuk tujuan pembangunan,” tukasnya.
Mengenai tugu apa yang diresmikan, sebut Reza, seharusnya ada penjelasan dari pemerintah. Jika pada tugu peresmian itu disebutkan, ‘Titik Nol Peradaban Islam Nusantara’, tapi laman setkab.go.id menuliskan keterangan yang berbeda, seremoni dimaksudkan untuk meresmikan tugu masuknya Islam ke Nusantara.
“Titik masuk dan titik peradaban itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Jika yang dimaksud Barus sebagai tempat pendaratan orang Muslim pertama, mungkin ada dasarnya menilik keberadaan Barus yang memang lebih dulu pernah menjadi pusat perdagangan internasional, sebelum Aceh mengambil alih,” terang Reza.
Dalam kajian ‘Lobu Tua Sejarah Barus’, arkeolog Perancis Claude Guillot memaparkan bukti-bukti bahwa sejak abad ke 6 Masehi Barus sudah menjadi wilayah dagang yang kosmopolitan. Di akhir abad ke 7 Masehi yang juga merupakan abad pertama Hijriah, pedagang-pedagang Arab mulai menjejakkan kakinya di pelabuhan Barus.
“Tetapi apakah mereka (pedagang muslim) berdiam lama di sana dan membuat komunitas-komunitas yang membentuk budaya Islam bagi masyarakat Barus? Itu yang tidak terbukti hingga kini. Barus dikenal sebagai pusat peradaban Islam setelah wilayah ini dianeksasi oleh Kerajaan Aceh Darussalam di abad ke 15 Masehi,” jelasnya.
Sedangkan Samudera Pasai punya bukti sejarah yang lebih kuat. Beberapa hasil pertemuan para sarjana di tahun 1963 dan 1978 yang membahas soal awal mula Islam masuk ke nusantara, diperoleh keterangan otentik bahwa Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Sumatera. Keberadaan dari kerajaan ini yang kemudia membentuk peradaban Islam pertama di Nusantara.
Memang ada beberapa bukti yang menunjukkan Barus sebagai pusat kosmopolitanisme pertama di pulau Sumatera. Namun, itu belum dapat ditahbiskan sebagai titik awal peradaban Islam.
“Jika yang dijadikan sandaran adalah ulama-ulama berpengaruh asal Barus seperti Hamzah Fansuri atau Abdurrauf As Singkili, maka perlu kita garisbawahi, tokoh-tokoh ini muncul di zaman kesultanan Aceh Darussalam. Mereka muncul dan berkarya ketika Barus sudah menjadi bagian dari peradaban Islam Aceh,” jelas Reza.
Penentuan Barus sebagai titik awal Islam Nusantara pun hingga kini masih debateble. Intelektual muda Affan Ramli menuturkan, tidak mungkin berbicara sejarah Barus hanya dalam bingkai kronologis saja, tapi juga perlu ditinjau dari perspektif kebudayaan.
“Jika kita perdebatkan soal kronologis, seperti di mana Islam masuk pertama kali, saya rasa ada yang jauh lebih penting lagi dari itu. Kita perlu melihat peradabannya, apa ada tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang terdapat dalam wilayah itu, kemudian apa karya intelektual yang lahir dari peradaban tersebut,” ujarnya.
Jika ditakar dari unsur-unsur di atas, sebut Affan, kerajaan Samudera Pasai sangat layak untuk ditetapkan sebagai titik awal peradaban Islam di nusantara. Dalam sejarahnya, Pasai telah menjelma menjadi negara islam pertama yang menjadi rujukan kerajaan islam se-Asia Tenggara.
“Pasai adalah negara islam pertama yang secara tata pemerintahannya dirujuk oleh negara-negara islam se-Asia tenggara. Karena cakupan nusantara itu adalah seluruh kawasan Asia Tenggara,” terangnya.
AKAR PERADABAN ISLAM
Konsep peradaban Islam Nusantara, ujar Affan, tak bisa dilepaskan dari bangunan pemikiran ulama besar tasawuf Aceh, Hamzah Fansuri. Peradaban Islam di Aceh adalah sufisme.
“Islam Nusantara Fansurian itu adalah Islam sufistik, Islam spiritual, membangun peradaban manusia yang jauh dari unsur sektarian. Tidak melulu tekstual, mengedepankan asas rahmatan lil alamin,” kata Affan.
Sebelum melangkah ke arah peradaban, islam nusantara perlu terlebih dahulu membangun dasar keilmuan awal. Affan menyebutnya bangunan ontologi dan epistemologi. “Baru di atas bangunan dasar itu lah disusun kerangka analisis (ushul fiqh) dan kerangka kerja (ushul tadbiq)-nya.”
Pondasi yang kokoh juga bakal memperkuat bangunan peradaban itu sendiri. Fakta sejarah bahwa Islam Nusantara berhasil datang tanpa perang dan senjata. Islam sufisme yang inklusif dan kultural, kata Affan, mampu menciptakan peradaban yang pengaruhnya sangat besar dan meluas.
Tergerusnya sufisme dalam beberapa abad terakhir, berkelindan dengan arah pembangunan islam di Aceh yang seakan kehilangan muara. Padahal menurutnya, kejayaan Islam di Aceh pada era Samudera Pasai tak lepas dari peran sufisme, dimana inti Islam terdapat pada akhlak yang dibangun di atas akal budi (akal amali), hikmah (filsafat) dan latihan spiritual.
“Saya ragu apakah kita benar-benar ingin memperjuangkan Pasai. Yang saya lihat, potret yang ada selama ini justru mengarah pada radikalisme. Jika sudah demikian, kita balik saja ke pertanyaan awal, apakah kita paham konsep islam nusantara itu?” tanya Affan.
PEMERINTAH ACEH BUNGKAM
Hingga sepekan berlalu, Pemerintah Provinsi Aceh belum menunjukkan upaya akan mengkaji masalah penetapan titik nol peradaban Islam Nusantara di Barus.
“Kalau kita belum ada rencana akan mengkaji itu. Karena ini kan tidak ada keterlibatan pemerintah. Tapi kalau bicara sejarah, bisa ditanyakan ke Dinas Kebudayaan. Yang jelas dari Gubernur belum ada. Kita tunggu dari dinas terkait dulu,” ujar Kepala Biro Humas Setda Aceh, Mulyadi Nurdin lewat sambungan telepon, Kamis pekan lalu.
Lambannya sikap pemerintah, dinilai Reza Idria membuktikan bahwa tidak ada kepedulian yang serius dari pihaknya untuk membantu meluruskan sejarah Aceh. Seharusnya, pemerintah perlu meminta penjelasan kepada pemerintah Tapanuli Tengah terkait klaim Barus tersebut.
“Jika memang Barus benar-benar sedang memproklamirkan diri sebagai wilayah peradaban Islam pertama di Nusantara, tentu saja kita wajib menyanggah dengan membawa bukti-bukti yang ada. Pertanyaannya apakah pemerintah daerah kita peduli? Apakah pemerintah Aceh selama ini merawat dan bisa menunjukkan bukti-bukti sanggahan jika ada pemerintah wilayah lain sedang melakukan klaim seperti di atas?” ungkap Reza.
Tanggapan juga datang dari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali. Kedua pihak, baik Pemerintah Aceh dan Pemerintah Tapanuli Tengah, perlu menjalin komunikasi untuk meluruskan hal ini. Ia khawatir jika dibiarkan berlarut-larut, akan menuai perpecahan.
“Kita tak ingin ada perseteruan antara sesama muslim baik di Barus dan di Aceh. Jadi saya minta Pemerintah Aceh untuk membangun komunikasi dengan Pemerintah Tapanuli Tengah,” katanya.
Ia juga berharap, masyarakat Aceh sadar terhadap sejarahnya sendiri. Penting dilakukan kajian-kajian sejarah keislaman di masyarakat. “Kita sadari, minimnya ketertarikan masyarakat dalam mempelajari sejarah islam kita sendiri. Saya berharap ada kurikulum lokal yang bisa diterapkan di Aceh untuk mengembangkan sejarah itu agar lebih sempurna, lebih luas, mudah dipahami oleh anak-anak kita di masa yang akan datang,” ujar Lem Faisal.[]
Belum ada komentar