Oleh: Zulfikar R H Pohan
Ketua Sanggar Daun Mekaum (SDM) Banda Aceh, yang juga Mahasiswa Jurusaan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Ar-Raniry, sekaligus Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Syiah Kuala.

Aceh sebagai bagian dari bangsa Timur yang kaya dengan segala keragaman budaya, sejarah peradaban dan tentu saja dilengkapi dengan kesenian yang bermacam-macam pula. Hal ini membuat Aceh menjadi salah satu kebudayaan yang diperhitungkan sebagai kekuatan potensial untuk pembangunan moral dan identitas kemanusiaan atas kesenian yang menguatkan keberagaman.

Dengan sejarah bangsa Aceh yang tak bisa lepas dari perang dan koflik berkepanjangan, pada masa-masa aman seperti saat ini rakyat Aceh tengah getol dengan berbagai perayaan kebudayaan. Tak bisa dipungkiri pula, dalam acara apapun tari-tarian dan musik entik menjadi sajian wajib di Aceh.

Dalam satu penantian yang panjang, Aceh sebenarnya ingin benar-benar ‘move on’ dari berbagai kenangan perang dan konflik terdahulu. Dengan berdasarkan pemahaman kebudayaan yang tanggung, pentas-pentas kesenian diadakan hampir minimal sebulan sekali di Banda Aceh dan sekitarnya. Pentas kebudayaan tentu saja tidak membawa permasalahan. Namun patut kita waspadai bahaya laten kebudayaan (melebihi hal-hal politis), yaitu waspada kepada fetisisme kebudayaan.

Fetisisme diambil dari kata fetis yang bermakna sebuah objek yang dianggap mempunyai ruh atau kekuatan tertentu, sehingga menimbulkan pengaruh magis dan daya pesona. Sedangkan fetisisme adalah orang yang beranggapan adanya kekuatan yang menyematkan daya pesona (yang berlebih) pada objek tertentu. Fetisisme kebudayaan sendiri dianggap sebuah gaya penyembahan pada objek kebudayaan yang dimiliki seseorang pada sebuah kebudayaan.

Daya pesona orang Aceh terhadap kebudayannya sendiri saat ini sampai pada titik yang paling bombastis jika kita tilik dari bagaimana perayaan kebudayaan dilakukan dan perdebatan mengenainya. Tidak sulit menemukan sejarahwan dadakan di warung kopi, dan tidak perlu repot-repot untuk mencari berbagai perayaan kebudayaan di sekitaran Kota Banda Aceh. Lalu memunculkan pertanyaan, adakah hal positif yang ditelurkan fetisisme kebudayaan?

WARISAN BUDAYA
Dalam satu puisi WS Rendra yang nakal, beliau menuding masyarakat modern yang hampir-hampir tunaspiritualitas ketika kebudayaan lokal disandingkan dengan berbagai upaya untuk menghibur turis dan kepentingan pemodal dari berbagai jenis. Dalam puisi yang berjudul Bali, Rendra memekik “Dengan segenap kesenian, kebudayaan, dan alamnya, harus bisa diringkaskan, untuk dibungkus kertas kado, dan disungguhkan kepada pelancong.”

Menjelang menutup puisinya, Renda menyesalkan dengan pekikan yang lebih keras, “Tari-tarian bukan lagi satu mantra, tetapi hanya tontonan hiburan. Pahatan dan ukiran bukan lagi ungkapan jiwa, tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.”

Dalam sajaknya, Renda seperti menohok kita dengan kesadaran baru, bahwa selama ini ada yang salah dengan cara kita memandang budaya leluhur kita sendiri. Ada sebuah kerancuan ketika kebanggaan kita kepada kebudayaan kita sendiri tidak diimbangi dengan penghayatan nilai-nilai luhur yang terdapat didalamnya.

Penemuan warisan kebudayaan dan penghayatan nilai-nilainya tentu tidak mudah, kita tahu bahwa butuh proses untuk itu. Namun, adalah sesuatu yang sama sekali tak elok apabila kita meminggirkan nilai-nilai sosial di tengah-tengah masyarakat kita, dan kita lebih mengutamakan simbol-simbol kebudayaan kita di pentas-pentas dan bisa jadi disalah-tafsirkan menjadi kebudayaan yang dangkal. Dalam sebuah puisi dari Wiji Thukul Si Penyair Demonstran menuliskan, “Begitu panjang riwayat bangsa tetapi hari ini kita baru pandai memuja masa lalu, mengelus-elus Borobudur mendewakan nilai ketimuran semu tetapi sibuk dengan breakdance dan membiarkan penyelewengan kekuasaan.”

Sedikit-banyak, inilah yang sedang kita alami. Pemerosotan nilai-nilai sosial dan lebih mengutamakan simbol-simbol kebudayaan dan sejarah masa lalu. Dan, sampai di sini saya merasa was-was menuliskan gejala kemerosotan kepekaan sosial kita, dan hilangnya keluhuran budaya kita yang di mana kini kita semakin terperosok ke dalam lumpur fetisisme kebudayaan kita sendiri.

Fetisisme kebudayaan yang kita kira adalah sebagai gerakan pengubah, malah menciptakan jurang khusus bagi desakralitas kebudayaan itu sendiri. Kita tetap mengenal tradisi, jenis-jenis tarian dan kesenian. Tapi lupa pada sistem nilai yang dibangun nenek moyang. Kita tetap menyebut kearifan lokal, tapi jarang sekali kita memahami motif hidup atau kosmologi yang diciptakan nenek moyang kita tentang apa makna hidup, bagaimana laku manusia kepada alam, Tuhan dan sesama manusia. Banyaknya acara-acara kebudayaan tidak berbanding lurus dengan kekuatan untuk mengubah keadaan.

Aceh dengan kesenian rakyatnya malah mentok hanya sampai kepada perayaan dan perayaan. Di satu sisi kita mengundang kembali feodalisme pada kebudayaan yang telah dirangkai kaum penjajah dengan propagandanya sejak jaman nenek moyang untuk menjajah kita dan merendahkan kebudayaan kita.

Derasnya globalisasi yang kian tak berperasaan dan menyerobot semua nilai-nilai moral yang dibangun oleh corak-corak kebudayaan secara tidak langsung globalisasi pun melakukan penyeragaman massal pada belahan dunia yang ada. Di samping itu, kita pun tak dapat memungkiri watak Aceh kita semakin terkuras. Apa yang bisa diajarkan tari-tarian kepada kita idealnya adalah hal yang penuh dengan nilai-nilai filosofis seperti penalaran watak kita, sikap kita, cara untuk bekerjasama dan membangun semangat pergerakan secara bersama bisa gerakan perang bisa juga gerakan sebagai pelaksana kata-kata dan kode untuk bekerjasama. Sebuah kompleksitas yang disusun melalui nilai-nilai estetis.

Percaya atau tidak, kita sangat rentan terjatuh dalam fetisisme kebudayaan. Tari-tarian akan tetap bejalan, namun bukan dalam kadar peningkatan mutu watak manusia Aceh, perayaan akan tetap berjalan, namun tidak menjadi jaminan untuk identitas Aceh yang semakin terseret arus pembaharuan keseragaman budaya. Jadi, dalam hal demikianlah saya menatap curiga akan kurangnya minat sastra Aceh, sangat jarang ditemukan satu rumusan kesusatraan Aceh kontemporer, memelihara kejumudan yang kita lakukan bukan dengan meninggalkan kebudayaan, akan tetapi cara kita mendekati kebudayaan sendiri dengan cara dan metode yang salah.

SEMANGAT KEBUDAYAAN
Laku dan ide yang ditelurkan oleh kita saat ini tidak jauh beranjak menuju gerakan sosial, kebudayaan dan sejarah kita hanya sebagai euforia. Jika memang leluhur kita membangun sebuah relasi menggunakan tari-tarian dan nyanyian, maka saat ini kita bakal menyuarakan relasi dan obat penyatuan dengan cara dan estetika yang berbeda akan tetapi tanpa menghilangkan unsur masa lalu. Semangat estetika kebudayaan dipelihara dalam rangka menyatukan semangat kebudayaan itu sendiri.

Aceh menanti satu di antara berbagai cita-cita yang dirasa sebagai tanggung jawab bagi semua. Kebudayaan Aceh yang berakulturasi dengan Islam membuat sebuah harapan bagi kita di Aceh, untuk satu tujuan memperjuangkan kebudayaan dan (agama) Islam dalam setiap akar-akarnya, Aceh yang telah lama berdiri dan ingin kembali menemukan kejayaannya. Dengan bekal perubahan sosial melalui kesenian bukan sebuah khayalan jika kita kembali membangkitkan kebudayaan kita sebagai sebuah jalan. Tidak ada peradaban yang bertahan tanpa mempertahankan dua hal penting, yaitu nilai estetis kebudayaan, dan pondasi sosial yang dibangun melalui penalaran agama.

Untuk itu, kebudayaan Aceh harus digiring untuk berada pada makna sebagai sebuah harapan (the hope) bukan sebuah wacana yang sekedar kehendak untuk berkuasa (the will to power). Membawa kebudayaan dalam bentuk harapan adalah membawa semangat keberagamaan dan tentu saja semangat keluhuran. Untuk lari dari jebakan fetisisme kebudayaan Aceh kemudian melihat kenyataan dan menanam harapan lalu berjalan dengan keyakinan. Sebagaimana manusia, kita hidup sampai saat ini berkat sesuatu yang kita yakini. Dan, kebudayaan Aceh akan kembali menemukan jalannya jika kita memang memiliki semangat memanusiawikan kebudayaan Aceh itu sendiri.[]

Komentar