Ilustrasi: PM/Nurhadi

Banyak pemerintah daerah di Aceh meraih opini WTP di saat sederet persoalan keuangan menjadi temuan, bahkan terindikasi korupsi. Kewajaran opini tersebut dipertanyakan.

Dalam sepekan terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh sedang gencar merilis hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) seluruh kabupaten/kota di Aceh. Laporan ini merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 mengenai Standar Akuntansi Pemerintahan. Berdasarkan peraturan ini, tahun 2016 merupakan tahun kedua bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia membuat laporan akuntansi berbasis akrual, yakni pencatatan sekaligus saat terjadi transasksi, baik pada sistem akuntansi maupun penyajian laporan keuangannya.

“Dengan penerapan LKPD berbasis akrual, pemerintah daerah dapat lebih komprehensif menyajikan seluruh hak, kewajiban dan kekayaan serta perubahannya, hasil operasi serta realisasi anggaran dan sisa anggaran lebihnya,” ujar Isma Yatun, anggota V BPK Perwakilan Aceh, Senin (12/6) pekan lalu.

Menariknya, berdasarkan akumulasi laporan tersebut, seluruh kabupaten/kota yang telah menyerahkan LKPD tahun 2016 meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Hingga Jumat lalu, Pemerintah Aceh dan 13 pemerintah kabupaten/kota di Aceh meraih opini WTP, sedangkan 10 kabupaten/kota lagi diketahui belum menyerahkan laporan keuangan daerah mereka.

Adapun pemerintah daerah yang tercatat menerima opini WTP tersebut, yakni Pemerintah Aceh, Pemko Banda Aceh, Pemko Sabang, Pemkab Aceh Besar, Pemkab Bireuen, Pemkab Aceh Barat Daya, Pemkab Aceh Jaya, Pemko Subulussalam, Pemkab Nagan Raya, Pemko Langsa, Pemkab Aceh Tengah, Pemkab Aceh Tamiang, Pemkab Bener Meriah, dan Pemkab Gayo Lues.

Capaian opini itu kian dibanggakan. Prestasi ini dijadikan momentum dalam mendorong akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. Gubernur Aceh Zaini Abdullah dalam satu kesempatan memaparkan, berdasarkan Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2016 tentang APBA dengan Anggaran Pendapatan sebesar Rp12,5 triliun dan Anggaran Belanja sebesar Rp12,8 triliun, tercatat besar Anggaran Pendapatan yang terealisasi Rp12,3 triliun atau 98,5% dari target. Sedangkan Realisasi Anggaran Belanja mencapai 94,1% atau Rp12,1 triliun.

“Artinya, perencanaan anggaran Penerimaan dan Belanja Aceh tahun 2016 sudah lebih realistis, semakin membaik. Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh anggota DPR Aceh yang telah mendukung kinerja aparatur sipil Pemerintah Aceh,” ucapnya dalam sidang paripurna istimewa di gedung DPR Aceh, Senin pekan lalu.

Raihan opini WTP semakin bertambah setiap tahunnya. Jika dibandingkan, pada thaun 2013 saja, terdapat enam kabupaten/kota di aceh yang mengantongi opini tersebut. Tahun 2014 ada 13 WTP, dan tahun 2015 angkanya makin pesat, yakni 21 kabupaten/kota yang menerima WTP, termasuk pemerintah provinsi Aceh yang mendapatkannya untuk pertama kali.

Pemberian Opini merupakan amanah berdasarkan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dalam pasal 16 ayat 1 dinyatakan bahwa laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.

Yang dimaksud dengan opini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat 11, yaitu pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Kewajaran itu sendiri didasarkan pada beberapa kriteria, seperti kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan (adequate disclosure), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.

Dalam penilaian BPK, terdapat empat jenjang prediket yang bakal disematkan pada hasil pemeriksaan LKPD. Masing-masing Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/Unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified opinion), Tidak Memberikan Pendapat (TMT/Disclaimer opinion), dan Tidak Wajar (TW/Adverse opinion).

Kantor Badan Pemeriksaan Keuangan Aceh (BPK). Foto: PM/Oviyandi Emnur

TAK SEPADAN TEMUAN

Pemberian opini WTP oleh BPK memunculkan keraguan sebagian masyarakat. Beberapa pemerintah daerah yang diganjar penghargaan ini diketahui masih bergelimang masalah. LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) mengungkap beberapa contoh daerah yang berselemak kasus keuangan daerah. Di Kabupaten Bireuen, misalnya, tersemat sejumlah kasus yang belum selesai diproses aparat penegak hukum hingga sekarang ini.

Dugaan penggelapan sapi pada tahun 2010 di Dinas Peternakan dan Pertanian, salah satunya. Kasus ini awalnya ditangani oleh Kejaksaan Negeri Bireuen dan kemudian diambil alih oleh Polda Aceh. Lalu ada kasus dugaan penyelewengan dana hibah pembangunan mesjid Agung Bireuen tahun 2015 yang bersumber dari APBK-P senilai Rp9 miliar yang ditangani Kejati Aceh. Selanjutnya, dugaan tindak pidana korupsi dana honorarium relawan Siaga Bencana Gampong (Sibag) di bawah BPBD Bireuen, bersumber dari APBK Bireuen tahun 2013 sebanyak Rp730 juta.

Selain itu, pengadaan tanah fiktif di SMP Negeri 2 Pandrah pada tahun 2013 tercatat merugikan negara sekitar Rp300 juta. Terakhir, kasus dana hibah APBA untuk alokasi pembangunan Sekolah Pembangunan Pertanian (SPP) Bireuen yang anggarannya mencapai Rp1 miliar.

“Kasus-kasus semacam ini seharusnya menjadi catatan BPK bahwa masih banyak kasus terkait keuangan daerah di Bireuen. Ini bertolak belakang dengan Opini WTP yang diberikan,” terang Akhalani, Koordinator GeRAK Aceh.

Sedangkan pihak BPK dalam siaran persnya mengungkapkan, beberapa hal yang masih lemah dalam laporan keuangan Kabupaten Bireuen, terutama menyangkut Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan kepatuhan terhadap perundang-undangan.

Pertama, terkait Pengelolaan Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bireuen belum melakukan validasi seluruh data atas PBB P2 yang dialihkan ke pusat. Pada tahun 2016, Pemkab Bireuen baru melakukan pemutakhiran data tersebut pada delapan dari total 17 kecamatan.

Kedua, BPK mencatat pengelolaan aset tetap di Pemkab Bireuen belum sepenuhnya memadai. Masih ada aset tetap yang berada dalam penguasaan pihak lain meski aset tersebut tercatat milik Pemda. Kemudian juga ada aset yang belum memiliki bukti kepemilikan/ sertifikat. Terakhir, di Kabupaten Bireuen masih terdapat kekurangan penyaluran bagi hasil pajak/retribusi kepada desa.

Kelemahan terkait SPI maupun kepatuhan terhadap perundang-undangan juga terjadi pada Pemkab Aceh Tamiang, yang juga meraih opini WTP untuk ketiga kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Catatan BPK, di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tamiang terdapat kekurangan volume pekerjaan belanja modal. Selain itu, pengelolaan retribusi pemanfaatan kekayaan daerah di kabupaten itu juga tidak sesuai dengan ketentuan.

Teranyar, Opini WTP yang diraih Pemerintah Aceh. Dalam pemeriksaan BPK ditemukan beberapa masalah menyangkut SPI yang belum memadai, yakni pada penatausahaan persediaan di SKPA, pengelolaan aset, serta pengelolaan dana BOS.

BPK juga merilis sejumlah temuan yang cukup mengejutkan. Mengenai pembayaran premi peserta Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh, misalnya. Data kependudukan yang digunakan ternyata tidak valid. Akibatnya, terjadi pemborosan keuangan daerah sebesar Rp63,4 miliar. Kemudian, pada proyek pembangunan landscape dan infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman, juga terdapat kelebihan pembayaran oleh Pemerintah Aceh kepada kontraktor untuk tiga paket pekerjaan yang mencapai Rp2,6 miliar.

GeRAK Aceh mencatat, praktik rasuah yang berhasil ditangani polisi dan kejaksaan sudah hampir merata di seluruh kabupaten/kota di Aceh. Ia menyimpulkan tak ada satupun daerah di Aceh yang bebas korupsi, semuanya bermasalah. “Yang kita hitung adalah terkait dengan jumlah penanganan korupsi dari dana yang bersumber dari APBA dan APBK. Ini cukup tingggi. Hasil temuan dari Kejati tahun lalu saja berhasil menyelamatkan kerugian keuangan negara lebih kurang Rp54 miliar,” kata Askhalani.

Untuk tahun 2016, GeRAK menemukan potensi kerugian keuangan negara lebih kurang Rp886 miliar dari sejumlah kasus yang sebagiannya sudah ditangani penyidik. Dari total kasus yang muncul, lebih kurang 32 kasus yang menguras dana APBA dan APBK. Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan 2015 yang kerugian negara hampir mendekati angka Rp1 triliun. “Melihat kasus-kasus ini, sejatinya banyak pemerintah daerah belum layak mendapatkan WTP,” tandas Askhalani.[]

http://www.pikiranmerdeka.co/2017/06/28/siasat-culas-berburu-wtp/

Komentar