Aceh termasuk provinsi yang mengendapkan uang daerah terbanyak di bank. Angkanya cukup fantastis, Rp4,95 triliun anggaran pembangunan terparkir di Bank Aceh. Fuadi Mardhatillah
Selasa (24/10) pekan lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis sebuah catatan penting. Melalui Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Boediarso Teguh Widodo, disampaikan bahwa dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengendap di perbankan daerah kembali naik. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya sebesar 9,6 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2016.
Hingga akhir September 2017, telah diakumulasi bahwa posisi dana Pemda yang mengendap tersebut mencapai Rp226,6 triliun. Sedangkan tahun lalu besarannya Rp206,75 triliun. Lalu jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, pada Agustus 2017 dana yang mengendap mencapai Rp211,3 triliun. Artinya, ada peningkatan 7,3 persen di bulan September.
Berdasarkan tingkat pemerintahannya, kenaikan tertinggi dana yang mengendap tersebut secara tahunan terjadi pada dana mengendap pemerintah provinsi. Disusul anggaran pemerintah kabupaten dan kota.
“Jumlah agregat dana simpanan pemda provinsi di perbankan hingga akhir September sebesar Rp83,5 triliun. Jumlah tersebut lebih tinggi 49,4 persen dari posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya dan lebih tinggi 4,4 persen dari posisi akhir Agustus 2017,” kata Boediarso seperti dikutip dari kontan.co.id.
Sementara jumlah agregat dana simpanan di tingkat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) hingga akhir September sebesar Rp108,58 triliun atau naik 6,8 persen secara tahunan. Nilai tersebut naik 9,4 persen dibanding posisi akhir bulan sebelumnya. Sedangkan jumlah agregat dana simpanan Pemerintah Kota (Pemkot) di perbankan hingga periode tersebut mencapai Rp 34,56 triliun, naik 0,7 persen dan naik 7,8% persen dibanding akhir Agustus.
“Peningkatan dana endapan di bank ini mencerminkan realisasi pembangunan di daerah yang turun,” tambah Boediarso.
SURPLUS APBD
Masih dilansir Kontan.co.id, besarnya jumlah endapan dana Pemerintah Daerah ini ternyata disebabkan beberapa hal. Di antaranya, terjadi surplus Anggaran Pendapatan dan Belaja Daerah (APBD) provinsi, kabupaten dan kota selama September 2017 hingga mencapai Rp15 triliun.
“Surplus tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, realisasi pendapatan daerah selama September 2017 mencapai Rp88,3 triliun, termasuk realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp64 triliun,” kata Boediarso.
Ia melanjutkan, disamping transfer dana tersebut, realisasi belanjanya hanya sebesar Rp73,3 triliun, lebih rendah dari realisasi belanja daerah pada Agustus 2017 sebesar Rp74,25 triliun.
Penyebab lain dari mengendapnya dana Pemda di beberapa daerah di Indoensia juga disebabkan meningkatnya jumlah realisasi TKDD pada bulan September 2017 sebesar Rp16,3 triliun dari realisasi TKDD akhir September 2016 yang sebesar Rp47,7 triliun. Realisasi TKDD pada akhir September 2017 juga naik dibanding bulan sebelumnya yang sebesar Rp43,53 triliun.
“Kenaikan realisasi TKDD pada bulan September 2017 secara bulanan, karena pada bulan September 2017 terdapat kenaikan realisasi penyaluran dana bagi hasil, dana alokasi khusus (DAK) fisik, dana otonomi khusus Aceh, dana tambahan infrastruktur, dan dana desa,” ujar dia.
ACEH MASUK LIMA BESAR
Dari beberapa provinsi, kabupaten, hingga kota yang tercatat mengendapkan dana pemerintah di perbankan daerah, ternyata Aceh masuk dalam peringkat lima besar. Dalam rilis Kementerian Keuangan juga disebutkan Pemda mana saja yang mengendapkan dana.
Peringkat tertinggi ada di Pemprov DKI Jakata sebesar Rp25,7 triliun. Kemudian menguntit Pemprov Jawa Barat yagn endapan dananya mencapai Rp8,9 triliun. Di belakangnya Provinsi Papua sebesar Rp5,28 triliun, Aceh Rp4,95 triliun, dan terakhir provinsi Jawa Timur Rp4,93 triliun.
Terkait masuknya Aceh sebagai salah satu ‘pemarkir’ dana Pemda terbesar, menjadi sorotan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Kalangan dewan mengaku sejak tahun lalu telah mewanti-wanti hal ini. Sebelumnya di tahun 2016, Aceh juga sempat masuk dalam daftar Pemda yang mengendapkan dana pemerintah di bank daerah.
“Sebenarnya di tahun yang lalu kita sudah pernah bahas di paripurna saat evaluasi pemerintahan, kala itu Aceh juga sudah masuk dalam kategori memarkir dana di Bank. Agak besar juga, Rp1,4 triliun. Sekarang malah lebih lagi, sudah mencapai Rp4,8 triliun,” kata Murdani, anggota DPRA kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (28/10) pekan lalu.
Lebih lanjut, Murdani amat menyayangkan besarnya dana Pemerintah Aceh yang mengendap di Bank Aceh. Pasalnya, dana yang terparkir itu bukanlah Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) maupun pinjaman tanpa syarat. Lagipula, menurutnya, mengendapkan dana sebesar itu sangatlah tidak tepat, mengingat posisi Aceh yang tengah dilanda inflasi saat ini.
“Dalam kacamata ekonomi makro, di sisi kebutuhan uang di masyarakat, tidak baik jika uang parkir begitu saja di bank dan tidak digunakan,” ujarnya.
Secara pribadi, Murdani menyarankan agar Pemerintah Aceh mengajukan regulasi berupa Qanun agar dana yang mengendap itu bisa digunakan. Penyertaan modal untuk perusahaan daerah, adalah satu alternatif.
“Kita cari regulasi yang baik agar uang itu bisa kita gunakan dengan cara investasi semacam penyertaan modal ke perusahaan daerah yang bonafit, dengan ketentuan deviden dari investasi itu bisa digunakan untuk acuan yang lain. Meski misalnya kita bentuk penyertaan modal di Bank Aceh, atau di PT Pemerintah Aceh untuk modal konsorsium, jadi keuntungan atau deviden dari uang tersebut bisa kita gunakan untuk sektor lain, seperti pendidikan,” jelasnya.
Untuk mendapat klarifikasi dari Pemerintah Aceh, Pikiran Merdeka berupaya meminta penjelasan dari Sekretaris Daerah Aceh sekaligus Komisaris Utama Bank Aceh, Dermawan. Namun berulang kali dihubungi, ia tak memberi respon. Pesan singkat dan telepon tak digubrisnya. Sementara itu, Mulyadi Nurdin selaku Humas Pemerintah Aceh saat dimintai keterangan juga mengaku tak tahu menahu kabar mengendapnya dana Pemda ini.
“Saat ini saya sedang sibuk meninjau pembangunan di Aceh Tamiang. Mungkin pertanyaan mengenai ini bisa dibedakan ya, yang mengendapkan itu uang siapa, Pemerintah Aceh atau bank di Aceh?” tuturnya balik bertanya saat dikonfimasi Pikiran Merdeka via pesan singkat, Sabtu lalu.
Pikiran Merdeka kembali meyakinkan bahwa dana yang mengendap di bank daerah sesuai catatan Kemenkeu adalah dana Pemerintah Aceh. Mulyadi lalu merespon singkat. “Untuk data keuangan, silakan bisa langsung ditanyakan ke Dinas Keuangan saja ya,” balasnya.
SBI BANK ACEH NAIK
Sementara itu, menurut Laporan Posisi Keuangan (Neraca) Bulanan Bank Aceh Syariah selaku bank ‘plat merah’ yang menyimpan dana pemerintah Aceh, di akhir September lalu terdapat pos penempatan dana sebesar Rp 4,8 triliun di Bank Indonesia. Penempatan yang lazim disebut sebagai Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ini menanjak signifikan dari bulan sebelumnya sebesar Rp 2,3 triliun.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh menilai kebijakan Bank Aceh untuk menyalurkan dana ke Bank Indonesia ketimbang penyaluran ke sektor riil, sepenuhnya merupakan wewenang dari bank itu sendiri.
“Sebenarnya dana Pemda ini sudah ada peruntukannya. Nah, untuk yang belum direalisasikan program, maka uangnya masih ada. Dari sisi dana mengendap ini, OJK melihat itu dalam beberapa opsi, bisa dijadikan penyaluran dana penempatan surat berharga, ini sepanjang belum digunakan oleh Pemda nya,” kata Humas OJK yang ditemui Pikiran Merdeka, Jumat (27/10) lalu.
Menurut OJK, Seharusnya dana pemerintah yang sangat besar itu bisa diputar untuk memberikan bagi hasil yang lebih besar. Kalau bank tersebut memilih dana sebesar itu di-SBI-kan, maka itu kewenangan Bank sepenuhnya. Karena Bank yang lebih mengetahui penyaluran nya itu.
“Jadi kalau memang menurut Bank itu lebih aman menempatkan di SBI, daripada penyaluran ke sektor riil, itu wewenang mereka,” ujarnya lagi.
OJK lebih menyoroti peruntukan dari dana itu. Perencanaan bank adalah aspek penting dalam pantauan pihak mereka. Apakah itu ke sektor produktif atau konsumtif, yang terpenting adalah mitigasi risiko dalam perencanaan bank tersebut.
“Setiap tahun bank itu ada rencana untuk beberapa tahun ke depan. Kan ada penyaluran, termasuk ke sektor produktif. Nah kita akan lihat apakah penyaluran itu sudah sesuai dengan targetnya. Itu juga kita pantau. Jadi kalau ada masalah sesuai catatan Kemenkeu, bagi kita (OJK) tidak masalah,” tambah Humas OJK.
Lebih lanjut, OJK menyarankan agar Bank Aceh menimbang risiko saat mencairkan dana pemerintah dalam jumlah besar. Hal ini terkait dengan desakan Kemenkeu terhadap Pemerintah Aceh agar segera merealisasikan program kerjanya.
“Yang menjadi risiko bagi Bank Aceh nya adalah ke depannya, karena dana sebesar itu didorong oleh Kemenkeu dan Kemendagri untuk Pemda agar segera direalisasikan dalam program kerja. Untuk mitigasi dari OJK, Bank harus mampu memantau risiko dari pencairan dana pemerintah. Nanti misalkan tiba-tiba sekali ditarik, banyak jumlahnya, ini kalau bank nya tidak siap, akan timbul kewajiban pada pihak lain yang memberikan biaya atau bagi hasil yang besar ke luar,” pungkasnya.
OJK juga kerap memperhatikan kondisi pasar. Bila seiring waktu itu ada isu yang menyebabkan satu sektor tertentu itu bermasalah, maka pihaknya akan meminta penjelasan pada bank, apakah akan meyalurkan dana ke sektor tersebut yang bermasalah itu.
“Kalau bank masih sanggup seusai target menyalurkan dana ke sektor tersebut, pasti kita minta pastikan mitigasi risiko nya apa. Kalau tidak berani menyalurkan, juga tidak salah. Yang ingin kita lihat setiap tiga bulan itu adalah realisasi dari rencana bisnisnya,” tambah dia.
Di sisi lain, OJK tak memungkiri dasar perbankan terkait erat dengan kesejahteraan masyarakat. Maka itu ada sektor yang disebut pembiayaan. Biasanya, keengganan bank dalam menyalurkan dana ke satu sektor lebih disebabkan minimnya kompetensi di internal bank tersebut. OJK mengaku tak berwenang mendorong bank untuk mengambil kebijakan tertentu. Namun lebih mengakomodir kelemahan bank dan memberi saran.
“Perbankan ini kan menghimpun dana dan menyalurkan lagi kepada masyarakat untuk kesejahteraan. Bisa dari segi pembiayaan konsumtif, tapi biasanya kalau konsumtif kan untuk kalangan menengah, untuk yang kecil kan biasanya modal kerja seperti UMKM, dari kita (OJK) bukan mendorong bank harus begini atau begitu, tapi apa yang jadi kelemahan Bank sehingga tidak bisa menyalurkan pembiayaan untuk UMKM, setelah mendapat penjelasan, misalnya SDM nya kurang kompeten dalam memelihara nasabah yang produktif. Maka OJK mendorong Bank untuk meningkatkan kapasitas dari karyawannya,” papar Humas OJK.
Pihaknya pun memaklumi apa yang menjadi keresahan pemerintah pusat terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Ia sepakat bahwa Pemerintah Aceh perlu segera merealisasikan program kerja agar anggaran tercapai.
“Karena program kerja itu tentu tak sembarang disusun. Ada tujuannya yang ingin dicapai, outcome nya bakal seperti apa. Untuk Bank Aceh, Kita dari OJK mendorong agar mampu memitigasi risiko keluarnya dana yang besar terutama menjelang akhir tahun,” sarannya.
CELAH KORUPSI
LSM Masyarakat Tranparansi Anggaran (MaTA) turut memberi beberapa catatan terkait besarnya dana Pemerintah Aceh yang mengendap di Bank Aceh. Pihaknya menilai pemerintah Aceh selama ini tidak produktif. Besarnya anggaran tersebut, seharusnya bisa dimanfaatkan untuk penyediaan lapangan kerja yang nantinya juga berdampak pada meningkatnya pendapatan daerah.
“Bukan sekedar mengharap bunga dari bank, kita sudah paham betapa morat-maritnya kondisi keuangan Aceh saat ini,” kata Koordinator Bidang Hukum dan Politik Badan Pekerja MaTA, Baihaqi kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (28/10) pekan lalu.
Persepsi dari sejumlah kalangan, penumpukan dana yang dilakukan pemerintah Aceh akibat dari pengesahan anggaran yang seringkali terlambat, sehingga realisasi nya cenderung tak sampai target. Jika ini benar, menurut Baihaqi, maka ke depan bakal ada potensi korupsi.
“Ketika Pemerintah merencanakan pembangunan A, targetnya kan selesai di akhir tahun, rupanya prosesnya itu tidak selesai, maka tidak bisa ditarik uangnya. Nah, untuk memanipulasi itu maka pencairan uang ditarik, karena tidak cukup waktu untuk merampungkan proses pembangunan, maka dipercepat penarikan uang sehingga pembayaran di tahun yang akan datang,” papar Baihaqi.
Seharusnya, lanjut dia, ketika masuk tahun berjalan, anggaran lebih dulu sudah ditetapkan, bukan menunggu pengesahan, sehingga proses pencairan anggaran bisa segera direalisasikan. Di sisi lain, dengan cepatnya pengesahan anggaran juga bisa mempercepat roda pembangunan di Aceh, Sehingga posisi uang mengendap dan potensi korupsi dengan mencairkan anggaran lebih cepat, ini bisa diminimalisir.
“Pemerintah Aceh yang kini diemban oleh Gubernur Irwandi Yusuf diharapkan tidak mengulangi hal semacam ini ke depan. Mengingat, dalam periode sebelumnya beberapa tahun pengesahan anggaran nya telat. Irwandi jangan ulangi dosa-dosa pemerintahan yang lama,” tegasnya.
Terakhir, MaTA menyarankan, dengan tingginya anggaran yang mengendap, maka ada bunga yang didapat oleh Pemda. Berapa besar bunga yang didapatkan dari dana tersebut juga harus dibuka kepada publik. “Itu juga bisa dijadikan pendapatan bagi daerah,” tandas Baihaqi.[]
Belum ada komentar