Sumut mengklaim empat pulau di Aceh Singkil masuk wilayah mereka. Berbagai komponen di Aceh pun beraksi.
Menumpangi Speedboat, Azmi bertolak sekian puluh mil dari pelabuhan Singkil ke laut perbatasan. Sekda Aceh Singkil ini tidak sendiri, ia turut ditemani Kapolres Singkil AKBP Rizkian Milyardin, Kasat Pol Air Iptu Hendri Sihombing, dan Kadis Perhubungan Eddy Hartono. Beberapa awak media juga ikut dalam rombongan tim Penegasan Batas Daerah (PBD) Aceh ini.
Saat itu, Kamis (16/11), mereka menyambangi pulau Panjang. Setibanya di sana, tampak ratusan pohon kelapa menjulang mengitari pulau tersebut. Beberapa hektar tanah kosong yang terhampar di pulau ini biasanya dijadikan tempat persinggahan nelayan.
“Kalau cuaca kurang bagus, nelayan menepi ke pulau ini. Mereka menjemur hasil tangkapan ikan yang diperoleh berhari-hari usai melaut,” kata Azmi sambil menunjuk beberapa gubuk yang didirikan nelayan.
Selebihnya, tak ada seorang pun yang menetap di pulau Panjang, meski ia mengaku banyak nelayan dari Nias, Sumatera Utara, yang singgah ke situ.
Pulau yang terletak nyaris di ujung tenggara Kabupaten Aceh Singkil ini merupakan satu dari empat pulau yang kini tengah dipersoalkan oleh Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara. Pasalnya, semua pulau ini berderetan di tapal batas laut kedua provinsi. Keempat pulau tersebut yaitu Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Kedatangan Azmi rombongan ke Pulau Panjang untuk meninjau kawasan tersebut setelah sepekan masalah ini mencuat.
Sengkarut awalnya muncul ketika Pemerintah Sumut menggelar acara konsultasi publik membahas dokumen penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) pada 9 November 2017 di kantor Gubernur Sumatera Utara.
Rencana Zonasi, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, yakni rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan. Di dalamnya memuat kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperolah izin. Aturan ini kemudian berubah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. RZWP-3-K ini menjadi dasar pemberian izin lokasi kegiatan di daerah pesisir suatu wilayah.
Dalam acara konsultasi publik membahas hal tersebut, pihak Pemerintah Sumut juga mengundang perwakilan dari Pemerintah Aceh yang dihadiri oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, dan Biro Tata Pemerintahan Aceh.
“Waktu itulah diketahui, pihak Pemerintah Sumut dalam paparannya mengklaim empat pulau yang berada di Kecamatan Singkil Utara menjadi milik mereka. Pulau itu katanya masuk Kabupaten Tapanuli Tengah yang berbatasan langsung dengan Singkil,” kata Asisten I Setdakab Aceh Singkil, M Ichsan kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu. Ia juga ikut dalam rombongan yang memantau lokasi bersama Setkab Aceh Singkil beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, untuk menegaskan kepemilikan pulau tersebut, Pemkab Singkil sudah membangun dermaga, tugu wilayah, dan tugu ‘Selamat Datang’. DKP telah mendirikan pos perikanan, bahkan pihak Pemerintah Aceh juga telah membangun pilar batas di sana. “Pilar itu adalah hasil dari kesepakatan kedua provinsi pada tahun 2002,” ujarnya.
Belakangan, dari sejumlah penelusuran diperoleh keterangan bahwa keempat pulau ini telah mengantongi sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional. Sertifikat tersebut atas nama Teuku Idris, yang kini telah meninggal dan kepemilikan tanah di pulau itu dipegang oleh ahli warisnya.
“Dengan semua bukti yang ada, kita memastikan tak ada alasan bagi Pemprov Sumut untuk mengklaim kepemilikan empat pulau tersebut,” tambah Ichsan.
Persoalannya kemudian, sampai sekarang belum ada penduduk yang menetap. Karena itu, ia berharap ke depan akan ada pembangunan di kawasan ini. Meski persoalan batas wilayah menurutnya sudah tuntas, pemerintah dirasa perlu mengembangkannya lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan program zonasi yang menegaskan bahwa pengelolaan pesisir pantai sejauh 12 mil merupakan kewenangan provinsi.
“Kemarin itu kan di Sumut masih peta rencana zonasi, dan kita telah mengajukan sanggahan secara tertulis dan meminta agar empat pulau tersebut dikeluarkan dari peta Sumut,” imbuhnya.
BEDA PETA ACUAN
Klaim Sumut terkait kepemilikan pulau-pulau itu mengacu pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 tahun 2017 yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Untuk diketahui, lembaga ini sebelumnya bernama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). BIG merupakan lembaga pemerintah nonkementerian. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, badan ini berkoordinasi dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Mengenai Peta RBI, selama ini BIG membuat peta hanya secara imajiner berdasarkan hasil survei. Sementara itu, untuk batas wilayah, kewenangannya ada pada Mendagri. Dalam hal ini, Ichsan sendiri mengaku tidak tahu musabab peta RBI ini dijadikan pedoman Pemerintah Sumut sebagai peta zonasi mereka. Padahal, penyelesaian batas antara Aceh dan Sumut sudah berulang kali ditetapkan sejak belasan tahun lalu.
Ichsan merincikan, pernah ada kesepakatan bersama antara Pemda Tingkat I Sumatera Utara dengan Pemda DI Aceh tanggal 10 September 1988 di Medan, salah satunya. Selain itu juga ada kesepakatan tanggal 22 April 1992 di Langsa, yang kemudian diperkuat dengan Keputusan Mendagri Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah Antara Provinsi Daerah Tingkat I Sumut dengan Pemerintah DI Aceh pada tanggal 24 Oktober 1992.
Lalu, pada 18 Oktober 2004, lahir Berita Acara Kesepakatan Bersama antara Pemprov NAD (Kabupten Aceh Tamiang dan Aceh Singkil) dengan Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Pakpak Barat, Langkat dan Tapanuli Tengah) di Medan dan beberapa kesepakatan lainnya. Terakhir, Mendagri menerbitkan surat nomor 125.3/112/SJ pada tanggal 15 Januari 2010 perihal batas Aceh dan Sumut.
“Seluruh kesepakatan dan dokumen yang tersebut tadi menegaskan bahwa penyelesaian batas antara Aceh dan Sumut berpedoman pada peta Topografi TNI AD tahun 1978, yang mana keempat pulau di tapal batas itu adalah milik Aceh,” jelas Ichsan.
Malahan, tambah dia, sejak masa pemerintahan Belanda, kepulauan itu sudah masuk dalam wilayah Aceh Singkil. “Itu tertera dalam Stabat Nomor 3 Tahun 1903. Ini sudah jelas perbatasan Aceh dengan Sumatra Utara dan Pulau Panjang untuk daerah laut,” sebutnya.
Rancangan peta zonasi dikerjakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi terkait. Seharusnya, sambung Ichsan, pihak DKP juga berkoordinasi dengan Biro Pemerintah Sumut sebelum menetapkan kawasan mana saja yang masuk dalam peta wilayah mereka.
Secara terpisah, Kabid Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Nurmahdi kepada Pikiran Merdeka mengaku sebelumnya juga tak tahu ihwal klaim Sumut atas kepemilikan empat pulau ini. Ia baru mengetahuinya saat ikut dalam rombongan perwakilan dari Pemerintah Aceh yang diundang dalam acara konsultasi publik tersebut.
“Sebenarnya kita juga sudah punya jadwal untuk Rencana Zonasi. Sebagaimana biasanya dalam penyusunannya, ketika ada daerah yang berbatasan dengan wilayah lain, maka wilayah yang bersangkutan juga diundang,” kata Nurmahdi, Kamis pekan lalu.
Dalam pertemuan itu, Sumut berkesempatan untuk menyampaikan lebih dulu hingga pembahasan dokumen awal. Dalam paparannya, DKP Sumut meminta perwakilan Aceh untuk mengoreksi beberapa hal yang kira-kira menurutnya perlu disesuaikan.
“Saya waktu itu langsung fokus melihat peta Singkil, karena sebelumnya pernah mendengar isu bahwa ada tumpang tindih antara Sumut dan Aceh di wilayah itu. Ternyata benar, bahwa empat pulau itu dimasukkan ke peta wilayah mereka,” tambahnya.
Hal itu bisa terjadi, sambung Nurmahdi, lantaran dalam penyusunan dokumen Rencana Zonasi itu ia diminta mengacu pada peta yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). “Saat melihat peta itu, saya juga heran kenapa garis batas di kawasan ini dipotong dan ditarik sampai memasukkan empat pulau dari Singkil ke wilayah Sumut,” kata Nurmahdi sambil memperlihatkan selembar peta Wilayah Perencanaan WP3K dari Pemerintah Aceh.
Terus terang, Nurmahdi tidak mengetahui alasan peta RBI dari BIG tidak mempertimbangkan dokumen-dokumen kesepakatan antara kedua provinsi yang telah ada lebih dulu. Apakah BIG sendiri sudah berkoordinasi dengan Mendagri saat menetapkan kawasan tersebut, Nurmahdi juga tidak tahu.
“Pastinya ini lantaran kurang koordinasi. Seandainya sebelum survei mereka berkomunikasi dengan Biro Tapem Pemerintah Aceh, tentu perbedaan acuan seperti ini tidak perlu terjadi,” imbuhnya.
Pihak Pemprov Sumut, aku Nurmahdi, juga menerima dengan baik sanggahan dari Pemerintah Aceh saat pertemuan itu berlangsung. “Mereka juga tidak terlalu ngotot. Karena waktu itu juga tidak pegang dokumen, dan katanya akan segera mereka koreksi kembali. Tapi ini kan tidak bisa kita jadikan pegangan, maka kita meminta ketegasan Mendagri untuk meng-clear-kan masalah ini,” ujarnya.
DKP Aceh hingga kini belum melakukan pemetaan secara khusus terkait karakter dan potensi yang ada di keempat Pulau tersebut. Namun, lantaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengintruksikan ke seluruh provinsi agar segera merancang peta RZWP-3-K, maka pihaknya akan segera menyelesaikannya hingga tahap dokumen akhir yang terangkum dalam Raperda. “Karena DKP yang ditunjuk untuk itu, maka kami akan fokus mengenai itu dulu, soal tapal batas jadi kewenangan Tapem,” pungkasnya.
Dalam RZWP, empat pulau yang tengah dipersoalkan itu hingga kini masih dikategorikan sebagai Kawasan Pengelolaan Umum. Artinya, lanjut Nurmahdi, masih banyak sekali kemungkinan potensi yang ada di sana. “Ke depan, mungkin potensi wisata nya cukup besar. Akan kita klasifikasi lagi nanti, sejauh ini memang belum kita fungsikan secara maksimal,” katanya.
SURATI PEMERINTAH PUSAT
Tak lama usai mencuatnya klaim Sumut atas kepemilikan empat pulau di Kabupaten Singkil, Pemerintah Aceh melayangkan surat ke pemerintah pusat. Surat itu ditujukan ke Kemendagri, BIG, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Surat Gubernur Nomor 136/40430 tanggal 15 November itu sebagaimana disampaikan Kasubbag Tata Batas dan Pengembangan Daerah Biro Tapem Aceh, T Meurah Fajar, Kamis (16/11) pekan lalu.
“Kita jelas mengkonfirmasi apa yang menyebabkan empat pulau di Singkil diklaim milik Sumut,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga meminta Menteri KKP untuk merevisi peta RZWP-3-K Provinsi Sumut, guna mengeluarkan Pulai Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan dan Pulau Panjang dari peta tersebut dan memastikan kembali pulau tersebut masuk dalam wilayah teritorial Aceh.
Keesokan harinya, Jumat sore, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar rapat koordinasi. Pertemuan yang dipimpin Ketua DPRA Tgk Muharuddin ini terkait dengan sengkarut empat pulau yang tempo hari masuk dalam Raperda RZWP-3-K tahun 2017-2037 Provinsi Sumut. Dalam pertemuan itu turut pula hadir Wakil Bupati Aceh Singkil Sazali, sedangkan dari pihak Pemerintah Aceh diwakili oleh Asisten I Iskandar A Gani. Sejumlah LSM seperti Walhi Aceh, HAkA, Prodeelat, dan LBH Banda Aceh juga diundang.
Pada pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam itu, Tgk Muharuddin meminta Badan Pertanahan Aceh yang baru saja terbentuk untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit mengenai tapal batas Aceh-Sumut.
“Banyak lagi, karena selain Singkil sebenarnya ada juga kasus pengakuan sepihak wilayah di Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara oleh provinsi tetangga,” sebutnya.
Dalam kesempatan itu, Wabup Aceh Singkil Sazali menjelaskan perihal kesepakatan dengan Tapanuli Tengah pada tahun 2002. Saat itu, batas wilayah darat memang berpedoman pada peta topografi TNI AD. Namun, untuk batas laut, yang digunakan adalah peta Hidros, atau peta laut yang diproduksi oleh Dishidros TNI AL.
“Dalam peta hidros itu, tampak memang ada garis ke timur, setelah melalui empat pulau ini lalu garis masuk ke selatan. Sebenarnya, kalau kita merujuk pada sejarah pun, titik gunung Simanuk-Manuk itu sejajar dengan pulau Panjang. Tapi pada tahun 1979, ketika pembuatan peta Topografi ini, mereka tidak menghubungi pemerintah Aceh Selatan kala itu. padahal kalau lebih jauh lagi, sejak zaman Belanda pun batas ini sudah tegas,” urainya.
Persoalan mengenai status empat pulau ini tidak hanya mengenai zonasi, akan tetapi juga berkaitan dengan tata ruang. Karena itu, Direktur eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh Zulfikar Muhamad menyarankan pihak pemerintah harus kembali melihat Tata Ruang yang dimiliki Aceh berdasarkan Qanun 19 Tahun 2013.
“Dalam pasal 34 dijelaskan hanya Pulau Banyak. Artinya, kita juga tidak cukup serius untuk mengklaim pulau lainnya. Seharusnya, kita harus jadikan pulau lain ini sebagai kawasan strategis, sayangnya itu tak ada dalam RTRW kita,” kritiknya.
Sementara itu, Iskandar A Gani dalam paparannya juga menguraikan isi surat Gubernur Aceh ke Badan Informasi Geospasial (BIG). Kepada kepala BIG, pihaknya meminta agar peta RBI yang menjadi rujukan terhadap keberadaan pulau-pulau tersebut segera direvisi.
“Setiap mengeluarkan peta harusnya dikonsultasikan dulu dengan Mendagri yang berwenang dalam hal penegasan batas wilayah,” katanya. Ia juga mendesak Pemerintah Sumut untuk mengeluarkan empat pulau di Singkil ini dari peta RZWP-3-K yang mereka miliki.
Kepada Bupati Aceh Singkil, kata Iskandar, gubernur memerintahkan agar segera membangun infrastruktur di pulau tersebut. “Bupati perlu mengeluarkan sertifikat tanah gratis kepada masyarakat yang menggarap lahan, serta melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala ke empat pulau itu,” imbuh Iskandar.
Di akhir pertemuan, semua pihak bersepakat agar pemerintah membentuk tim Taskforce untuk segera menindaklanjuti permasalahan ini. “Kita minta agar semua sektor terkait dilibatkan, termasuk LSM yang ada untuk segera menyelesaikan persoalan batas-batas wilayah Aceh,” tutup Tgk Muharuddin.[]
Jangan kalian klaim 4 pulau itu,krn kami alih warisnya masih ada
Alih waris.menyebar di aceh dan sekitar kota medan
Alih warisnya sbb
Adalah cucu teuku Daud Raja uda
Tr arif faisal SH
T bambang utoyo,ST
T rahmad syaputra
T Reza wahyudi
T Afriadi
T Ade ilham