cc14dcc4f95a3f19cffbf71ea272ba48
Ilustrasi/IST

*Pertanyakan Fungsi Pengawasan DPRA

PM, Banda Aceh – Kebijakan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah memutasikan tujuh pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Aceh beberapa waktu lalu, dinilai kontra produktif bagi kinerja Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA).

Pasalnya, Nova menunjuk pejabat eselon II lainnya rangkap jabatan sebagai pelaksana tugas untuk mengisi kekosongan posisi kepala dinas atau kepala SKPA yang diganti.

Rangkap jabatan terjadi pada 11 posisi strategis. Sementara kapasitas pejabat yang baru ditunjuk belum tentu didukung oleh penguasaan isu yang ada. Dampaknya, kinerja SKPA jadi tidak produktif.

Menurut Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, gonta-ganti pejabat tanpa pertimbangan yang matang, apalagi dilakukan dengan pola rangkap jabatan, tidak akan membuat manajerial di internal SKPA lebih baik.

Ia ragu pimpinan yang rangkap jabatan bisa mengawal program kerja, sementara di saat yang sama harus menjaga keseimbangan di antara dua institusi berbeda. Sehingga pada akhirnya, dikhawatirkan rangkap jabatan itu tidak hanya mengganggu kinerja lembaga, tetapi juga bakal memengaruhi budaya organisasi itu sendiri.

Koordinator MaTA, Alfian.

“Padahal, kinerja organisasi seperti SKPA membutuhkan pimpinan yang definitif sekaligus menguasai tupoksi dengan baik. Jika terus rangkap jabatan, bagaimana tupoksi itu dipahami?” ungkap Alfian dalam keterangannya, Selasa (5/1/2021).

Mandeknya Fungsi Dewan

Selain itu, MaTA juga mempertanyakan proses penerimaan stakeholder atas kepemimpinan yang rangkap jabatan itu. Ia mewanti-wanti, jika motivasi pergantian pejabat ini terindikasi adanya target lain dalam pengelolaan anggaran yang berpotensi pelanggaran, maka akan jadi preseden buruk ke depannya.

“Publik tahu apa yang terjadi atau apa yang sedang direncanakan oleh Pemerintah Aceh saat ini. Jadi, jangan dikira orang kecil tidak tahu apa-apa,” tegas Alfian.

Ia juga menyayangkan 81 anggota DPRA yang terkesan gagal menjalankan fungsi pengawasannya terkait hal ini.

“DPRA seperti mengalami ‘demam tinggi akibat musim hujan’, sehingga tidak dapat melakukan fungsi pengawasannya secara benar. Padahal saat inilah yang sangat mendesak,” sesalnya.

Melabrak Aturan?

Pengamat kebijakan publik, Nasrul Zaman mengatakan pergantian tujuh Pejabat Eselon II yang dilakukan oleh Gubernur Aceh mencerminkan pengelolaan manajemen pemerintahan yang amburadul.

Pergantian itu juga diduganya melanggar etik dan regulasi, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Aturan ini mendorong keterlibatan Badan Kepegawaian Negara dan Komisi ASN dalam pengangkatan dan mutasi eselon II di jajaran pemerintahan daerah.

Secara etik pola pencopotan dadakan ini menurutnya gagal mendidik untuk mendorong ASN yang profesional dan akuntabel. Pencopotan tersebut juga menunjukkan nuansa like and dislike karena tidak secara langsung disiapkan pengganti definitifnya.

Pengamat Kebijakan Publik Nasrul Zaman
Pengamat Kebijakan Publik, Nasrul Zaman. (Foto/Ist)

“Terkesan lebih mengedepankan manajemen atasan semau gue, karena selain merugikan ASN yang bersangkutan juga akan membuat keengganan ASN lain menduduki jabatan tersebut, yang pada akhirnya pemerintahan tidak mampu melahirkan inovasi dan kreatifitas,” ujar Nasrul.

Bicara regulasi, ia melanjutkan, untuk setiap mutasi dan pengangkatan eselon II, pemerintah seharusnya berkoordinasi lebih dulu dengan BKN. Lalu akan diberikan waktu 25 hari untuk menanggapinya hingga keluarnya rekomendasi dan tanggapan BKN terhadap kebijakan mutasi tersebut.

“Pencopotan eselon II di tengah jalan seyogianya harus dimulai dengan ukuran nilai kinerjanya dan tidak boleh sekonyong-konyong dan serampangan yang mencerminkan arogansi kekuasaan kepala daerah,” kata Nasrul lagi.

Seperti diketahui, Gubernur Aceh Nova Iriansyah melakukan pencopotan dan menonjobkan tujuh pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Aceh.

“Pergantian dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan organisasi, serta untuk penyegaran dalam menjalankan roda masing-masing instansi,” ujar Karo Humas dan Protokol Setda Aceh Muhammad Iswanto dalam siaran persnya, Selasa lalu.

Adapun tujuh pejabat yang dicopot yakni:

  1. Kadis Koperasi dan UKM, Dr. Wildan M.Pd. Untuk mengisi kekosongan posisi kadis sementara ditunjuk pelaksana tugas yakni Kadis Perindag Aceh, Ir. Muhammad Tanwir.
  2. Kepala Arsip dan Perpustakaan (Arpus) Dr. Roeslan Abdul Gani. Untuk mengisi posisi Kepala Arpus sementara ditunjuk pelaksana tugasnya Sekretaris Arpus, T. Miftahuddin.
  3. Direktur RSUDZA, Dr. Azharuddin. Sebagai pelaksana tugasnya ditunjuk Wadir Pelayanan, Dr. Endang Mutiawati.
  4. Wadir Administrasi dan Umum RSUDZA, Muhazar. Sebagai pelaksana tugasnya ditunjuk Kabag Bina Program RSUDZA, dr. Ira Maya.
  5. Wadir Penunjang RSUDZA dr Fakhrul Rizal. Ditunjuk pelaksana tugasnya Kabid Logistik RSUDZA, Yusrizal.
  6. Direktur RSIA, dr. Nyak Rinda. Ditunjuk pelaksana tugasnya Kadis Kesehatan Aceh, dr. Hanif.
  7. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir. Sahrial. Ditunjuk pelaksana tugasnya Kadistanbun Aceh, A. Hanan SP MP.(*)

Komentar