Bank Aceh makin identik dengan peternak uang. Andalkan kredit konsumtif, bunga SBI dan bunga deposito di bank lain.
Bank Aceh, Bank Peternak Uang.

Ramai PNS di Aceh terperangkap kredit konsumtif Bank Aceh. Persyaratan dipermudah, lalu dijerat dengan bunga yang mencekik leher.

Tak hanya persoalan kredit Usaha Mikro dan Kredit Menengah (UMKM)  yang lebih sedikit dibanding kredit konsumtif, Bank Aceh memasang perangkap ala lintah darat dalam mengucurkan kredit kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pada 2015, kredit konsumtif kepada PNS mencapai Rp11,7 triliun atau mencapai 90 persen lebih dari total kucuran kredit Bank Aceh. Sementara kredit properti hanya Rp235 miliar dan  untuk sektor UMKM hanya Rp764,202 miliar. Angka tersebut lebih rendah dari biaya tenaga kerja, promosi dan biaya lainya yang dihabiskan Bank Aceh mencapai Rp875,5 miliar.

Mengharapkan Bank Aceh meberikan kredit dengan bunga rendah bagi usaha mikro seakan tak mungkin. Begitu juga bunga atas kredit konsumtif yang hampir seluruh debiturnya adalah PNS, tetap tinggi walau Bank Aceh mengelola dana pemerintah daerah.

Baca: Bank Aceh, Konsumtif Dipermudah Produktif Dihambat

Bahkan, Bank Aceh memposisikan diri sebagai bank kapitalis yang memberikan kemudahan saat pengurusan pinjaman, namun memberatkan debitur saat ingin melunasi kredit di tengah jalan. Karena itu, banyak pihak kini menabalkan bank plat merah milik Pemerintah Aceh ini sebagai bank berkonsep Yahudi. Mencari untung sebesar-besarnya dengan mengesampingkan aspek sosial dan syariah.

Debitur seakan menjerit dan sulit terlepas dari jeratan bank yang kini dipimpin Busra Abdullah sebagai direktur utama dan Dermawan sebagai komisaris utama.

Baca: Petinggi Bank Aceh Gugat Gubernur

Bak lintah darat, mereka mencekik para PNS yang menjadi debitur di bank  dengan menetapkan bunga tinggi. Meski disebutkan bunga bank berkisar 9 persen per tahun, namun dalam kenyataannya ketentuan itu diakali oleh direksi Bank Aceh.

Akal-akalan ini dengan menetapkan tagihan bunga bank melebihi 200 persen dari cicilan pokok yang dipotong dari para debitur setiap bulannya. Tujuannya jelas, agar debitur tak lari ke bank lain atau menutup kredit di tengah jalan. Meskipun nantinya debitur memiliki uang yang mencukupi untuk menutup kredit, mereka tetap saja dipusingkan saat melihat cicilan pokok pinjamannya tak banyak berkurang. Padahal, sudah menutup pinjaman tersebut hingga 90 persen dari take home pay (THP) atau gaji bulanan mereka.

Kondisi ini menjadi fakta ironis dari wajah bank yang dibangun atas dasar tujuan mulia untuk ikut andil membangun perekonomian rakyat. Saat ini yang terjadi adalah, seakan-akan gubernur dan bupati/walikota berkomplot dengan direksi dan komisaris untuk kompak menghisap darah rakyat Aceh.

Baca: Direksi Bank Aceh: Segmen Konsumer Target Market Semua Bank

Seolah, mereka sudah terpuaskan dengan bonus dan bagi hasil di akhir tahun. Patut dipertanyakan, bonus tersebut mengalir ke kantong gubernur dan bupati/walikota secara pribadi ataupun masuk ke kas negara karena mereka sebagi pejabat negara yang mewakili daerahnya?

Mereka tentu harus transparan, berapa bonus yang diterima direksi dan komisaris tiap tahunnya? Masyarakat berhak tahu karena yang mereka ‘ternakkan’ adalah uang rakyat Aceh.[]

Komentar