Pengembangan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan Terkesan Jalan di Tempat

Pengembangan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan Terkesan Jalan di Tempat
Ilustrasi fasilitas PTLP. (shutterstock)

Jakarta – Baru-baru ini Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK), kembali menyinggung soal pengembangan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan yang sangat lambat. Contohnya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu, tapi minim kapasitas.

“Panas bumi di Indonesia bukan hal baru, 35 tahun lalu Kamojang sudah beroperasi jadi bukan barang baru. Menyusul Dieng, Patuha, Lahendong, semua sudah puluhan tahun. Jadi kalau bisa katakan, walau sudah berapa kali konvensi, ini pengembangannya lambat. Hasilnya baru 2000 MW untuk 30 tahun pengalaman,” ujar JK, Selasa (13/8/2019).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tidak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap produksi energi primer di Indonesia sepanjang 2013-2017.

Sumber energi primer terbesar di Indonesia masih dipegang oleh batu bara, yaitu mencapai 12,3 juta terajoule pada 2017. Diikuti gas alam sebesar 2,49 juta terajoule.

Sementara produksi energi primer Indonesia dari biomasa, air, dan panas bumi sangat kecil. Sebagai informasi, perhitungan produksi energi primer didasarkan pada jumlah energi yang diekstraksi dari sumbernya langsung dan belum dikonversi menjadi energi listrik.

Sementara itu pembangkit listrik di Indonesia juga masih didominasi oleh batu bara, dengan total 161.798 Gigawatt hour (Gwh) pada 2017. Dengan jumlah sebesar itu, listrik dari batu bara menyumbang 61,6% dari total energi listrik yang dibangkitkan sepanjang periode yang sama.

Bahkan, nilai porsinya meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 54,86%. Minyak bumi ternyata juga cukup banyak digunakan untuk pembangkit listrik. Pada 2017, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menyumbang 7,16% dari total listrik yang dibangkitkan, turun tipis dari tahun 2016 yang sebesar 7,18%.

Sementara itu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) hanya menyumbang 4,1% dari total listrik yang dibangkitkan di tahun 2017. Porsinya naik tipis dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,04%. Ada pula porsi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang hanya sebesar 0,2% dari total energi listrik.

Data-data tersebut menjadi salah satu indikator bahwa memang pengembangan energi terbarukan memang sangat rendah di Indonesia. Hal itu tidak terlepas dari biaya pembangkitan energi terbarukan yang memang relatif mahal ketimbang energi fosil.

Contohnya batu bara. Berdasarkan keterangan dari Direktur Pengadaan Strategis PT PLN, biaya pembangkitan listrik dari batu bara (PLTU) rata-rata hanya sebesar Rp 650/kwh.

Nilai tersebut sangat kontras dari biaya pembangkitan listrik tenaga panas bumi yang mencapai Rp 1.024/kWh. Adapun untuk tenaga mikrohidro mencapai Rp 787/kWh.

Harga yang sangat murah dari batu bara punya andil sangat besar pada arah pengembangan pemanfaatan energi di Indonesia. Bahkan tahun lalu, pemerintah menetapkan harga beli batu bara untuk kepentingan pembangkit listrik dalam negeri sebesar US$ 70/metrik ton (acuan nilai kalori 6.322 kcal).

Artinya saat harga batu bara berada pada level US$ 100/metrik ton seperti yang terjadi pada 2018, pembangkit listrik tetap dapat memproduksi listrik dengan harga murah dari batu bara. Penetapan harga ini seakan sebuah insentif bagi pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia.

Hal itu menunjukkan bahwa arah kebijakan pemerintah memang belum fokus kepada perbaikan kesehatan lingkungan yang bisa dicapai dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi FX Sutijastoto, fenomena tersebut bisa terjadi karena selama ini Indonesia telah dibuai oleh harga bahan bakar minyak (BBM) yang murah.

Setidaknya sejak 2010, subsidi BBM memang selalu menghiasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan sepanjang periode 2010-2014, nilai subsidi BBM selalu mengalami kenaikan. Pada 2014, nilai subsidi BBM untuk premium dan solar mencapai Rp 183,81 triliun, naik dari tahun 2013 yang sebesar Rp 172 triliun.

Sama halnya dengan listrik. Pemerintah juga masih mengalokasikan anggaran untuk subsidi listrik setiap tahun. Pada 2014, nilai subsidi listrik mencapai Rp 101,8 triliun.

Bauran subsidi yang begitu besar membuat masyarakat semakin menikmati harga energi yang murah. Bahkan khusus untuk listrik, tidak ada kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sejak 2017 hingga saat ini.

Maka dari itu, pemerintah akan semakin takut untuk beralih dari energi murah menjadi EBT yang relatif lebih mahal. Pasalnya untuk mendorong pemanfaatan EBT, pemerintah pasti perlu untuk menggelontorkan dana yang sangat besar. Bentuknya bisa macam-macam, seperti subsidi dan insentif pajak.

Jika tidak, porsi EBT yang besar tentu saja akan membuah harga energi seperti listrik meningkat untuk konsumen. Akibat sudah terlalu lama menikmati harga murah, kenaikan harga listrik tentu akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Kenaikan tarif juga seringkali merupakan langkah yang sarat dengan kepentingan politis.

Maka dari itu, hingga harga EBT sudah bisa mengalahkan batu bara, agaknya arah pengembangan EBT di Indonesia masih akan berjalan sangat lambat.

Sumber: CNBC Indonesia

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait