Kebijakan pemerintah pusat yang baru saja mengesahkan Undang-undang Pemilu menimbulkan tanggapan yang beragam baik di kalangan kaum intelektual, politisi dan akademisi. Pro dan kontra terutama berkaitan dengan Undang-undang pemilu pasal 571 yang meniadakan pasal 57 dan pasal 60 ayat 1, 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pengamat Politik Effendi Hasan mengungkapkan, bahwa sebagian besar kalangan menilai Undang-undang pemilu tahun 2017 telah mengkebiri UUPA yang mengatur keberadaan KIP Provinsi dan Panwaslih/ Bawaslu.
“Seharusnya Undang-Undang Pemilu tahun 2017 yang baru saja disahkan itu harus mengakomodir keistimewaan Aceh yng telah mengatur tentang lembaga penyelenggara Pilkada dan Pemilu di Aceh,” katanya.
Menurut dosen ilmu politik Unsyiah ini, dalam mengambil kebijakan menyangkut urusan yang berkaitan dengan Aceh, pemerintah pusat seharusnya terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPRA. Sayangnya, dalam beberapa kasus seperti calon independen pada pilkada tahun 2012 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan pengaturan hak pencalonan bagi narapidana pada pilkada 2017 tidak memperhatikan norma hukum yang telah diatur dalam UUPA.
Sebagian pengamat lain, sebut Effendi, mengusulkan agar UUPA direvisi untuk mempertegas kekhususan dan kewenangan Aceh. Namun ia meragukan hal tersebut.
“Apabila UUPA direvisi apakah ada jaminan penegasan kewenangan Aceh dapat disepakati? ini mengingat nilai tawar Aceh telah sangat lemah dimata pemerintah,” bebernya.
Berangkat dari kekhawatiran ini pula, ia merekomendasikan pemerintah untuk tidak hanya berkonsultasi dengan DPRA sesuai UUPA melainkan juga harus berkonsultasi dengan Crisis Management Initiative(CMI) dan Martti Ahtisaari selaku mediator perdamaian GAM-RI.
“MoU Helsinki merupakan hukum internasional yang telah diratifikasi dalam Undang-undang nomor 11 tentang Pemerintah Aceh ( Law on Governing of Aceh-LoGA), ini harus dipatuhi oleh pemerintah, dan kita berharap pemerintah komit dengan apa yang telah disepakatinya, bila tidak pemerintah akan menerima konsekuensi pelanggaran hukum internasional,” tegasnya.
Belum ada komentar