Menanti Jurus Parlok Lolos Dari Kepungan Parnas

Bendera Partai Politik di Aceh (Foto Ist-google)
Bendera Partai Politik di Aceh (Foto Ist-google)

Oleh: Usman

Pemilu 2019 merupakan pemilu yang sangat berat bagi eksistensi partai lokal di Aceh. Sebanyak empat Parlok peserta yang menjadi peserta pemilu pada 2019 ini, yaitu Partai Aceh, Partai Nasional Aceh, Partai Sira, dan Partai PDA. Keempat Parlok tersebut akan diuji kembali melalui kotak suara tahun ini. Akankah semangat penguatan identitas lokal yang disuarakan Parlok tersebut masih menjadi alasan bagi masyarakat Aceh yang memantapkan pilihan pada Parlok, ataukah isu tersebut sudah kadaluarsa? Tentu jawaban konkret akan terlihat dari hasil pemungutan suara nanti.

Melihat fenomena dan perkembangan dinamika politik dalam dua kali masa periode terakhir, Parlok tidak begitu serius memperlihatkan perannya sebagai partai politik yang memposisikan diri untuk menuntaskan agenda konsensus perdamaian Aceh. Hal itu terlihat bahwa komitmen mereka dalam mengawal dan memperjuangkan realisasi amanah dari MoU Helsinki dan UUPA belum terlihat maksimal.

Dilihat dari periode sebelumnya pada Pileg 2009 dan 2014, partai lokal sangat mendominasi parlemen, seperti Partai Aceh. Misalnya pada tahun 2009, PA mendominasi Kursi DPRA dengan jumlah 33 kursi (47.83) persen dari 69 total kursi, di tinggkat DPRK hampir sebagian wilayah dikuasai oleh Partai Aceh. Periode 2014 partai Aceh masih unggul dan memdominasi di parlemen dari 81 Kursi diperebutkan PA mendapat 29 kursi dengan presentase 35 persen dan juga masih menguasai beberapa kabupaten/kota namun ada penurunan jumlah suara dari periode Pilleg 2009.

Eskalasi penurunan jumlah kursi bisa diakibatkan kekecewaan para pemilih dengan tidak konsistennya para caleg terpilih dari Partai Aceh dalam melahirkan kebijakan berpihak pada masyarakat, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat saban hari terus menurun. Selain dari para politisi di DPRA/DPRK, pemilih juga kecewa atas kebijakan gubernur/bupati/walikota yang berasal dari Partai Aceh yang tidak mampu dan konsisten dalam menurunkan angka kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan dan gagalnya komunikasi politik antara pusat dan daerah, terbukti beberapa kebijakan daerah gagal ditengah jalan seperti perjuangan qanun bendera, lambang dan himne bahkan qanun Wali Nanggroe sendiri masih dalam perdebatan hangat.

Selain itu, kelemahan lainya adalah konflik di internal Partai Aceh dan gagalnya konsilidasi yang dibangun elit GAM telah menyebabkan banyak kader kader potensial keluar dan bergabung ke partai Nasional. Dari berbagai persoalan diatas seharusnya partai Aceh melakukan konsolidasi sebagai upaya nyata dalam memperbaiki kinerja politisi baik di DPRA/DPRK maupun pihak eksekutif. Upaya perbaikan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan melakukan konsolidasi kader, perbaikan program partai, komunikasi dengan lintas profesi dan lainnya.

Tahun 2019 akan menjadi sejarah bila partai lokal atau Partai Aceh khususnya bila tidak merubah strategi politik, konsolidasi internal, dan penguatan kembali ideologi, dan bakal berdampak pada hilangnya kursi seperti terjadi di pileg 2014, dimana kursi tersebut akan direbut dan dikuasai oleh partai nasional. Sangat tidak meyakinkan target Partai Aceh di Pileg 2019 memperoleh kursi mayoritas, dengan kondisi partai saat ini berbeda dalam mendobrak kekuatan untuk mendapatkan suara terbanyak. Mesin mesin politik PA Pilleg kali ini tidak hidup dan tidak bekerja maksimal seperti Pilleg 2014. Ada persoalan yang belum tertuntaskan di kalangan partai sendiri. Seperti tidak terkonsolidasi dengan baik, sehingga mesin mesin partai di bawah macet malah bisa jadi mereka beralih dukungan ke partai lain.

Untuk itu, dua bulan ke depan ini Partai Aceh harus lebih kencang dan tajam dalam melakukan konsolidasi dan menghidupkan kembali mesin-mesin politik di arus bawah. Belum terlambat memang, tetapi harus memakai bahan bakar aftur. Jika tidak, jangan harap lima tahun ke depan Parlok akan punya nilai tawar lagi di bagi Pemerintah Pusat. Bangun dan segera keluar dari pragmatisme politik. Mandat tanggung jawab perjuangan dan perdamaian berada di tangan Partai Aceh untuk memastikan bahwa agenda perdamaian dapat terealisasi dengan baik dan tuntas!

*) Penulis ada Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Abulyatama Aceh

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait