Bank Aceh makin identik dengan peternak uang. Andalkan kredit konsumtif, bunga SBI dan bunga deposito di bank lain.
Bank Aceh, Bank Peternak Uang.

Akhir pekan awal Agustus lalu, Bank Aceh mempublikasikan neraca keuangan di surat kabar lokal. Data tersebut atau biasa disebut laporan keuangan Bank Aceh ini menyimpan sejumlah masalah.

Dari laporan itu, beberapa persoalan serius mencuat. Di antaranya, terdapat kredit bermasalah di Bank Aceh mencapai Rp251,628 miliar. Ssebesar Rp212,98 miliar di antaranya disumbang dari sektor UMKM. Artinya, kredit UMKM menyumbang 80 persen lebih dari total jumlah kredit bermasalah.

Sementara jika ditilik dari jumlah penyaluran kredit UMKM Rp732,383 milyar, maka nilai kredit macet menyentuh angka 29 persen dari jumlah tersebut.

Kredit konsumtif bukan tanpa cela. Meskipun sudah dipotong langsung dari gaji yang diperoleh debitur pada setiap bulannya, nyatanya sektor ini menyumbang Rp30,57 miliar. Angka ini tergolong membaik dibanding periode Juni 2015 lalu yang menembus angka Rp79,92 miliar.

Tingginya besaran kredit mikro ini tak bisa dianggap sepele. Menurut Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) ALfian, Bank Aceh perlu memberikan klarifikasi terhadap kejanggalan terhadap kredit macet tersebut. “Saya kira Direksi Bank Aceh perlu segera menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi,” ungkap Alfian, Sabtu pekan lalu.

Catatan tersebut juga menjadi perhatian serius pihaknya. Ia secara khusus mendorong BPK RI untuk mengaudit kredit macet tersebut. “Perlu dilakukan audit, agar diketahui apakah hasil kredit macet benar terjadi atau memang ada masalah adminitrasi,” tuturnya.

“Saya kira publik memiliki hak mendapatkan informasi yang benar karena Bank Aceh mengelola uang daerah yang notabenenya itu adalah uang rakyat,” sambung Alfian.

Ditegaskannya, audit dari BPK itu untuk memastikan tidak ada kebocoran keuangan ataupun adanya permaianan adminitrasi yang dilakukan internal bank. Di sisi lain, audit juga untuk mengetahui jika adanya kredit tanpa angunan atau kesengajaan penyimpangan yang dilakukan oknum orang dalam. “Sehingga ada penjelasan yang transparan dan akuntabel,” sebut Alfian.

Dalam catatan MaTA, Bank Aceh kerap terjadi kebobolan dengan keterlibatan pihak internal. Hal ini menunjukkan sistem Bank Aceh masih lemah. “Artinya, sistem masih lemah, di samping lemahnya pengawasan publik sehingga kerap terjadi hal-hal yang tidak diharapkan,” jelasnya.

Alfian menurutkan, dengan berbagai kejadian akibat kelemahan sistem pengawasan internal, harusnya bank milik rakyat Aceh itu segera melakukan pembenahan. Jika tidak, Bank Aceh tak akan memulihkan kepercayaan nasabah.

“Kalau tatakelola sistem sekarang, Bank Aceh tidak menjadi andalan dalam penompang ekonomi rakyat. Selama ini rawan terjadi kebocoran keuangan secara internal,” sambung Alfian.

MaTA menilai, kehadiran BPK RI melakukan audit tertentu sangat patut dan penting, sehingga Bank Aceh tidak menyandang label bank gagal.

Terkait adanya pernyataan Gubernur Aceh yang disampaikan pada saat launching Bank Aceh Syariah, bahwa Bank Aceh telah menyalurkan kredit usaha Rp12 triliun lebih, menurut Alfian, hal itu perlu dicek ulang.

“Laporan tersebut juga penting dicek ulang, apakah jumlah sebesar tersebut benar atau memang tidak demikian? Untuk memastikannya, BPK RI menjadi pijakan dalam melakukan audit tertentu. Sehingga, tidak meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Bank Aceh,” pungkas Alfian.[]

Komentar