Oleh: Akbar Rafsanjani*
Wisconsin State Capitol hanya berjarak 1,2 mil (1,9 kilometer) dari University of Wisconsin Madison. Gedung ini merupakan pusat pemerintahan Wisconsin, salah satu negara bagian (state) di Amerika Serikat yang berada di Midwest.
Semua institusi pemerintahan berkantor di Capitol. Mulai dari State Assembly, State Supreme Court, dan Senate. Walaupun merupakan gedung pusat pemerintahan, Capitol terbuka untuk publik. Mereka menyediakan tur gratis untuk mengelilingi gedung. Memperkenalkan ruangan Senate, Assembly, Supreme Court, juga Hearing Room.
Tur ini tidak hanya dikhususkan bagi penduduk Wisconsin, tapi juga untuk pengunjung dari state dan negara lain. Pengunjungnya juga beragam, mulai dari anak-anak hingga orang lanjut usia. Menurut penuturan tour guide, ketika libur musim panas banyak anak sekolah yang datang mengunjungi Wisconsin State Capitol.
Kunjungan ke tempat semacam ini, menurut saya, sangat baik untuk pendidikan politik warga setempat di masa depan. Mereka punya pengetahuan tentang siapa yang mengatur kehidupan, siapa yang mewakili mereka di pemerintahan, dan bagaimana sebuah keputusan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka diputuskan.
Selain sebagai pusat pemerintahan, Wisconsin State Capitol juga menyediakan ruang pamer di lantai empat. Semua arsip tentang Capitol dan perangkat pemerintahan seperti mesin voting, dipamerkan disana.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah sebuah panel tentang mesin voting elektronik pertama di dunia yang digunakan dalam badan legislatif.
Artikel ini akan membahas tentang mesin tersebut. Tentang sejarahnya dan bagaimana mesin ini menstrukturkan demokrasi dan pertentangan kelas, antara borjuis dan kelas pekerja lewat keputusan-keputusan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sejarah Mesin Voting Elektronik di Wisconsin
Selama bertahun-tahun, sistem pemungutan suara di parlemen Amerika Serikat dilakukan secara manual melalui roll-call, proses yang memakan waktu dan sering memperlambat jalannya sidang legislatif. Dalam satu sesi panjang Kongres, tercatat selama 56 hari habis hanya untuk mencatat suara anggota.
Barnett L. Bobroff, penemu muda asal Milwaukee – Wisconsin, merancang mesin pemungutan suara elektronik yang dapat mengurangi waktu voting dari hampir satu jam menjadi hanya beberapa menit.
Mesin ini memungkinkan setiap anggota dewan untuk memilih cukup dengan menekan tombol di mejanya, dan hasil suara secara otomatis dicatat dan ditampilkan pada papan besar di ruang sidang.
Inovasi Bobroff mendapat perhatian luas pada masanya, terutama karena manfaat efisiensi yang ditawarkannya. Sistem ini bahkan telah diuji coba dengan sukses di legislatif negara bagian Wisconsin.
Meski belum diadopsi secara nasional oleh Kongres AS, mesin voting Bobroff menjadi tonggak penting dalam sejarah otomatisasi legislatif, menunjukkan bagaimana teknologi dapat membantu mempercepat proses demokratis.
Gagasan untuk menciptakan mesin voting sebenarnya telah muncul sejak abad ke-19, seiring dengan berkembangnya teknologi mekanis dan elektrik di Amerika Serikat.
Penemuan seperti mesin tik, telegraf, dan kalkulator mekanis menjadi inspirasi bagi para inventor untuk mencari cara mempercepat proses legislatif yang lamban.
Namun, hambatan utama pada masa itu adalah kompleksitas sistem legislatif dan resistensi terhadap perubahan, terutama yang melibatkan teknologi baru yang belum terbukti secara luas.
Kekhawatiran terhadap efisiensi bukanlah satu-satunya pendorong inovasi mesin voting. Isu akurasi, transparansi, dan potensi manipulasi suara juga menjadi pertimbangan penting.
Sistem roll-call manual rawan kesalahan pencatatan dan membutuhkan keterlibatan banyak pegawai.
Dalam konteks ini, mesin voting seperti yang dikembangkan oleh Bobroff bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal keandalan. Dengan pengaruh gerakan efisiensi dan manajemen ilmiah yang populer pada awal abad ke-20, mesin voting menjadi simbol kemajuan administrasi pemerintahan yang modern dan rasional.
Namun, apakah mesin ini terlepas dari relasi kelas dalam kekuasaan? Di mana kepentingan kelas borjuis-kapitalis termanifestasi di dalamnya. Dengan kata lain, mesin ini bukan hanya alat bantu legislasi. Ia adalah wujud material dari transformasi kekuasaan, di mana teknologi menjadi medium pertentangan kelas.
Negara, Teknologi, dan Representasi Kelas
Negara bukanlah kekuatan netral atau penengah kepentingan umum. Ia adalah organisasi kekuasaan kelas, alat dominasi kelas borjuis untuk mereproduksi dan mempertahankan tatanan kapitalisme.
Negara menjalankan perannya melalui hukum, birokrasi, aparatus (polisi dan tentara), dan (yang paling banyak diabaikan dalam studi tentang relasi kuasa, adalah) teknologi.
Mesin voting elektrik di Wisconsin State Capitol bukan sekadar perangkat netral yang membantu pengambilan suara. Ia adalah alat untuk merasionalisasi kekuasaan legislatif, mempercepat proses keputusan hukum, dan menghapus kemungkinan keterlambatan, perdebatan, bahkan gangguan.
Dalam sistem kapitalisme, waktu adalah nilai, dan efisiensi adalah bentuk kekuasaan. Namun pertanyaannya, efisiensi bagi siapa?
Dalam kerangka materialisme historis, teknologi tidak pernah netral. Ia dibentuk dalam dan oleh relasi sosial tertentu. Dalam masyarakat kapitalis, relasi itu adalah relasi kelas antara kelas kapitalis dan proletar. Teknologi tidak muncul begitu saja demi kemanusiaan, ia diciptakan dalam konteks persaingan, dominasi, dan kontrol.
Mesin voting Bobroff misalnya, mengabdi pada kebutuhan kelas penguasa untuk mengelola proses legislatif secara terpusat dan terukur. Mesin ini memperkuat representasi perwakilan yang sudah dibentuk oleh sistem kepemiluan, yang secara struktural membatasi akses kelas pekerja.
Dalam konteks ini, mesin beroperasi untuk memperkuat dominasi kelas borjuis melalui alat administrasi negara.
Teknologi kerja di bawah kapitalisme bukanlah sekadar alat bantu produktivitas, tapi juga alat kontrol manajerial, untuk mengatur, membatasi, dan membagi otoritas.
Dalam konteks ini, mesin voting elektrik Bobroff adalah bentuk manajemen legislatif, bukan hanya menghitung suara, tapi mengontrol bagaimana suara itu diproses dan dipublikasikan. Ia tidak memperluas partisipasi, tetapi menyempitkan ruang konflik menjadi sistem input-output yang steril.
Kekuasaan borjuis bukan hanya berdiri di atas dominasi paksa (represi), tapi juga persetujuan yang dibentuk melalui institusi dan aparatus ideologis, termasuk teknologi. Mesin voting Bobroff ini adalah bentuk dari infrastruktur hegemoni, di mana kekuasaan disamarkan sebagai kemajuan teknis.
Dengan memvisualisasikan hasil voting secara publik dan cepat, mesin ini menyebarkan ilusi bahwa proses legislatif adalah transparan, adil, dan efisien.
Tapi bentuk luar dari demokrasi liberal borjuis sering menyembunyikan isi yang bertentangan, relasi kuasa yang timpang dan proses yang dikuasai oleh minoritas kaya dan terpelajar.
Dalam sistem representatif kapitalis, warga negara mengalami alienasi politik. Ia terpisah dari keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Mesin voting memperdalam bentuk alienasi ini.
Keputusan politik direduksi menjadi tindakan teknis yang dilakukan oleh “wakil-wakil rakyat” dalam sistem tertutup, dan hasilnya dikembalikan kepada publik dalam bentuk angka.
Rakyat hanya melihat hasil, tapi tidak mengambil bagian dalam proses. Mereka tidak hadir dalam perdebatan, tidak punya kuasa atas agenda legislatif, dan tidak bisa mempertanyakan keputusan kecuali melalui mekanisme elektoral lima tahunan yang sangat terbatas.
Dalam konteks ini, teknologi berperan sebagai alat yang memperhalus dominasi kelas, dengan membungkusnya dalam bentuk rasionalitas, efisiensi, dan netralitas.
Mesin voting ini juga menunjukkan bagaimana tenaga kerja dan inovasi kelas bawah sering kali diapropriasi untuk memperkuat struktur kekuasaan di atasnya. Ia menjadi bagian dari sistem manajemen sosial yang mengatur manusia dan hukum melalui algoritma legislatif.
Ini merupakan bentuk disiplin kapitalistik. Teknologi digunakan untuk mengontrol ritme, keputusan, dan prosedur agar sesuai dengan logika akumulasi dan kestabilan modal. Hukum diproduksi seperti barang di pabrik, dan mesin voting adalah bagian dari jalur produksinya.
Pengalaman saya di Wisconsin State Capitol ini menyisakan paradoks.
Di satu sisi, saya menyaksikan pencapaian teknis dan administratif yang luar biasa. Tapi di sisi lain, saya juga menyadari bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berarti kemajuan demokrasi.
Justru, teknologi sering kali menjadi alat untuk memadatkan kekuasaan, bukan membaginya.
Jika kita ingin membangun demokrasi sejati, bukan sekadar formalisme voting. Maka kita harus bertanya, untuk siapa teknologi bekerja? Siapa yang mengontrol mesin? Dan bagaimana teknologi bisa dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan modal?
Ini bukanlah seruan untuk meninggalkan teknologi, melainkan untuk merebutnya kembali dari dominasi kelas borjuis, dan mengubahnya menjadi alat pembebasan. Tetapi bagaimana bisa merebutnya, jika kita tidak paham bagaimana logika dan materialitas teknologi beroperasi? []
*Akbar Rafsanjani punya minat pada teknologi dan melihatnya dari perspektif kelas pekerja. Sekarang ia bermukim di Wisconsin, Amerika Serikat.
Belum ada komentar