Dua Wajah Syariat Islam

Save syariat (Foto acehimage.com)
Save syariat (Foto acehimage.com)

Pemerintah Aceh mengambil kebijakan bertengan dengan syariat Islam saat sistem ekonomi syariah baru saja dijalankan.

Sore itu, Kamis 27 Oktober 2016, Hafidh memberikan catatan lain yang kontradiktif. LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendapati, kebijakan Pemerintah Aceh mengambil pinjaman pada Bank KfW Jerman justru bertolak-belakang dengan penerapan syariat Islam di Aceh.

Koordinator Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik MaTA itu kepada Pikiran Merdeka menyebutkan, pinjaman dana penyelenggaraan pemerintahan Aceh termasuk dalam ruang lingkup keuangan Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a, Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan Aceh sebagaimana diubah dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2014.

Qanun tersebut menyebutkan, ruang lingkup keuangan Aceh meliputi hak Aceh untuk memungut pajak Aceh, retribusi Aceh dan zakat serta dapat memperoleh pinjaman. Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) mengatur keuangan Aceh dikelola dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip keislaman.

Hafidh menyebutkan, pinjaman pada KfW Jerman dikenakan bunga sebesar 2,5% sampai 2,9% per tahun. Jika didasari pada ketentuan Qanun Aceh tersebut, perlu dipertimbangkan adanya pertentangan dengan syariat islam terakit transaksi pinjaman dengan suku bunga ditentukan lebih dahulu itu.

Terlebih, beberapa waktu lalu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menyatakan, “Untuk hal ini, pendapat dari MPU dan ahli syariat Islam layak diminta,” cetusnya.

MaTA juga melihat, pinjaman luar negeri itu justru mematahkan komitmen Pemerintah Aceh dalam terapkan syariat islam. Padahal 3 Oktober lalu, Gubernur Aceh melalui Sekda Aceh Dermawan meresmikan konversi Bank Aceh dari bank konvensional menjadi Bank Aceh Syariah.

Zaini Abdullah dalam sambutan yang dibacakan Sekda, konversi Bank Aceh didasari oleh 3 landasan utama. Salah satuny disebutkan, landasan filosofis Aceh sebagai daerah mayoritas muslim diwajibkan menerapkan syariat islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk aspek ekonomi dan perbankan.

“Dalam kaitan ini, kita diwajibkan untuk menjauhi riba, sesuai dengan fiman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,” ujar Gubernur Aceh saat itu.

MENGANDUNG UNSUR RIBA

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali, menegaskan, kebijakan Pemerintah Aceh berutang pada KfW Jerman dengan cicilan bunga tersebut, jelas mengandung unsur riba.

MPU Aceh, kata dia, mengharapkan pihak eksekutif dan legislatif di Aceh meninjau kembali rencana pinjaman luar negeri untuk bangun RS di Aceh.

“Itu cara yang dilarang dalam agama karena menggunakan sistem riba. Jelas berlawanan dengan semangat pelaksanaan syariat islam di Aceh,” ujar Tgk Faisal Ali kepada Pikiran Merdeka, Jumat (28/10/16).

Jika Pemerintah Aceh tetap berutang pada bank asing, sebutnya, dampak riba itu kelak akan menimpa seluruh masyarakat Aceh yang mendapat layanan pada rumah sakit yang dibangun dengan dana soft loan Jerman itu.

Baca: Proyek Rente Abu Doto

Di sisi lain, tambah Tgk Faisal Ali, membangun empat RS di Aceh sekaligus akan menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari. Aceh belum siap dari sisi SDM untuk pelayanan kesehatan.

Pembangunan RS regional itu juga belum pada taraf yang sangat dibutuhkan, sebut Wakil Ketua MPU Aceh. Lebih baik, imbuhnya, Pemerintah Aceh dengan alokasi APBA bisa meningkatkan pelayanan memberdayakan rumah sakit daerah yang sudah jalan saat ini.

“Menurut saya, walaupun sudah disahkan, tapi masih bisa dibatalkan.”

Dia mengharapkan Pemerintah Pusat dapat membantu Pemerintah Aceh untuk mengkaji ulang kebijakan Aceh pinjam dana ke luar negeri. Apalagi nanti bukan dikelola oleh gubernur saat ini, tapi oleh gubernur yang lain.

“Harus dilihat mudarat dan manfaatnya, apalagi Pemerintah Pusat saat ini sedang menghemat keuangan,” ujarnya.

SUDAH SESUAI PERECANAAN

Pemerintah Aceh melalui Kepala Biro Humas Setda Aceh Frans Dellian menanggapi sejumlah komentar terkait kebijakan Pemerintah Aceh meminjam dana dari luar negeri untuk membangun RS regional dan RS kanker di Banda Aceh.

Menurutnya, pelayanan kesehatan aspek yang menyentuh langsung dengan kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Selain itu, kesehatan berkaitan dengan kemiskinan.

Pemerintah Aceh mengambil kebijakan itu, jelas Frans Dellian, sebagai jawaban atas overkapasitas pelayanan di RSZUA Banda Aceh. “Selama ini pelayanan rumah sakit terkonsentrasi di RSUZA, sampai-sampai ada pasien yang antri operasi sampai enam bulan,” ujarnya.

Karena itulah, Pemerintah Aceh mengusulkan pembangunan RS regional. Itu pun bukan membangun dari nol, tegas Kabiro Humas Aceh, tapi  meningkatkan kualitas rumah sakit daerah yang sudah ada.

“Terkait hal ini butuh biaya yang besar. Kalau kita gunakan APBA untuk pembagunan ini selama dua tahun, akan menyedot banyak biaya. Sehingga ada tawaran pinjaman dana lunak dengan KfW yang memang dibolehkan secara aturan.”

Dia menyebutkan, Pemerintah Pusat nantinya yang akan berinteraksi dengan KfW Jerman. Sebab, soft loan tersebut atas nama pinjaman Pemerintah Pusat  yang diperuntukkan bagi Pemerintah Aceh.

Baca: Warisan Utang di Akhir Jabatan

“Kalau dananya menggunakan dana dari dalam negeri, biayanya besar sekali dan sulit diwujdkan dalam waktu dekat. Sementara jika meminjam dari luar negeri, kita bisa cicil setelah 5 tahun RS regional itu beraktivitas,” jelasnya.

Memang, kata dia, kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh faktor kesehatan, tapi banyak hal. Saat ini, kesehatan salah satu dari 10 program prioritas Pemerintah Aceh. Namun pembangunan di sektor lain juga dijalankan seiring dengan pembangunan RS regional nantinya.

Pemerintah sudah melalui perencanaan dengan dinas dan pihak terkait. “Pembangunan bukan bicara hari ini, tapi 10 hingga 20 tahun akan datang. Ini aspeknya sangat global, sangat komprehensif,” imbuhnya.

Disinggung sebagai program mercusuar Gubernur Aceh saat ini, Kabiro Humas Setda Aceh menimpali, pembangunan RS regional bukanlah program gubernur seorang. Tapi sudah melalui proses panjang hingga usulannya disahkan legislatif.

“Ini programnya pemerintah yang terdiri dari legislatif dan eksekutif. Legislatif itu kan representatif dari masyarakat,” ujar Frans Dellian kepada Pikiran Merdeka, Sabtu akhir pekan lalu.

Frans jelaskan, program pemerintah dilaksanakan benar-benar berdasarkan kebutuhan rakyat Aceh. Pemerintah Aceh melihat pembangunan rumah sakit ini ini akan menjawab banyak persoalan.

“Jika pembangunan ini dicurigai, tidak membangun pun akan dicemoohi.  Kita harus melihat ini secara realistis. Pembangunan ini mengacu kepada persoalan dan kebutuhan masyarakat. Kalau ini memang kebutuhan masyarakat, semua pihak harus mendukung.”

Jika ada pihak yang menginginkan kebijakan pinjaman luar negerit itu ditinjau ulang, kata dia, Pemerintah Aceh cukup terbuka untuk menerimanya, asal dengan dasar yang jelas. “Soal halal-haram, itu sudah ke teknisnya, silakan ditanya langsung ke dinas terkait,” pungkas Frans Dellian.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait