Ragam proyek muncul di akhir pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Benar-benar dibutuhkan atau sekadar proyek gagah-gagahan?
Beberapa hari usai sidang paripurna DPRA mengesahkan soft loan Pemerintah Aceh, Wakil Ketua III DPRA Dalimi mengutarakan kekesalannya pada 5 fraksi DPRA yang menyetujui kebijakan tersebut tanpa lebih dulu minta pendapat kepada publik.
Dia bahkan tak habis pikir, ketika rencana pinjaman luar negeri itu dibawa ke rapat Badan Musyawarah di DPRA, 18 Oktober 2016, usulan Pemerintah Aceh langsung ketok palu untuk diparipurnakan tanpa pertimbangan jangka panjang.
“Dulu Komisi III DPRA sempat menolak pinjaman luar negeri pada KfW tersebut, tapi mereka sekarang malah setuju. Ini menjadi tanda tanya,” ungkap Dalimi kepada Pikiran Merdeka akhir pekan lalu.
Padahal dalam diskusi bertajuk ‘Sudah Haruskah Aceh Berutang’ yang dilaksanakan MaTA pada Mei lalu, Wiratmadinata melihat perwakilan Komisi III DPRA setuju menolak rencana Pemerintah Aceh pinjam dana pada KfW Jerman.
Kautsar anggota Komisi III DPRA dalam diskusi itu menyatakan, Komisi III DPRA sudah berkonsultasi dengan Mendagri sebelum diterbitkan permohonan rekomendasi persetujuan pinjaman luar negeri dari Gubernur Aceh kepada Pimpinan DPRA.
Dia menyebutkan, Mendagri pada prinsipnya tak melarang Aceh meminjam dana dari luar negeri untuk membiayai tiga dari lima unit RSU regional yang akan dibangun. Tapi pihak Mendagri mempertanyakan, dari mana sumber biaya mmebayar cicilannya nanti.
“Sedangkan dari sumber dana otsus tak dibenarkan untuk membayar utang, karena peruntukan dana itu sudah dijelaskan dalam Pasal 183 UUPA.”
Kautsar mengatakan, dana otsus hanya bisa digunakan untuk enam bidang, yaitu program pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Dia menyebutkan, tak ada pilihan lain bagi Pemerintah Aceh. Saat mulai memasuki masa pelunasan pinjaman nanti, dana dari TBH Migas Aceh dan Otsus sudah sudah tak ada lagi.
“Dari sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA) juga tidak mungkin, karena dananya habis untuk pembayaran tunjangan prestasi kerja (TPK) pegawai, honor pegawai kontrak dan lainnya. Sedangkan sumber dana dari dana alokasi umum (DAU) sudah habis untuk membayar gaji PNS, DPRA, operasi kantor, dan belanja rutin.”
Tapi kemudian, Komisi III DPRA tetap menyetujui kebijakan Pemerintah Aceh meminjam soft loan pada KfW, dengan cara berutang. Ini menjadi pertanyaan bagi ragam kalangan.
Wiratmadinata melihat, Pemerintah Aceh saat ini terkesan menjalankan proyek mercusuar di akhir masa kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. “Secara pribadi saya lihat ada yang tidak beres di balik pembangunan RS regional itu,” ujar mantan wartawan Majalah GATRA itu.
Kontras dengan Wiratmadinata. Pengamat ekonomi Aceh Rustam Efendi melihat, kebijakan DPRA menyetujui usulan Pemerintah Aceh tersebut ibarat nasi sudah jadi bubur. Jika wakil rakyat (DPRA) sudah mengesahkan usulan Pemerintah Aceh itu, katanya, sudah kecil peluang kebijakan itu berubah.
“Ini sudah keputusan. Dewan kan mewakili kita. Tinggal bagaimana nanti bantuan itu dikelola dengan baik,” ujar akademisi dari Fakultas Ekonomi Unsyiah itu.
Lebih baik, sambungnya, sekarang saatnya mencari solusi bagaimana Pemerintah Aceh nantinya bisa efektif mengelola dana pinjaman itu dan menemukan sumber pembayaran utang yang tepat.
Dia menekankan, kebijakan eksekutif dan legislatif tersebut mestilah dipandang secara menyeluruh.
“Lihatlah pinjaman itu sebagai bagian dari kerjasama jangka panjang Pemerintah Aceh dengan Jerman, bahwa itu bisa jadi pintu masuk bagi Aceh untuk mendapatkan kerjasama dalam bentuk lain ke depannya, misal dalam bidang ekonomi seperti pemanfaatan geotermal dan sumber daya alam lainnya.
Dia mengatakan, soft loan dari KfW Jerman merupakan salah satu bentuk bantuan Jerman kepada Pemerintah Aceh. Jika Aceh menolak bantuan itu, sebutnya, barangkali Jerman takkan berikan kesempatan kepada Aceh nantinya.
“Kita harus melihat long term, jangan melihat dengan antipati. Barangkali dengan Aceh mengambil pinjaman dana ini, Jerman nantinya akan membantu saat Aceh tidak lagi memiliki dana Otsus. Siapa tahu,” ujarnya.[]
Belum ada komentar