Agar Anak Rinon Aceh Punya Musim Sekolah

Agar Anak Rinon Aceh Punya Musim Sekolah
Siswa Rinon. (liputan6.com)

Aceh Besar – Hilang harta, hilang nyawa, hilang pula asa akibat terjangan tsunami. Untunglah Sarjana Mendidik itu datang, mengembalikan sebagian harapan yang nyaris hilang.

Desa itu letaknya lebih barat dari Sabang. Hanya bisa ditempuh dengan boat selama 2 jam dari Pelabuhan Lampulo Banda Aceh saat cuaca baik. Salah satu kawasan di Pulau Breueh yang 24 jam penuh tanpa aliran listrik, juga sinyal, itu lazim disebut Rinon. Konon, berasal dari kata RI non yang berarti bukan RI. Namun ada pula yang menyebutnya dari kata RI nol. Maksudnya, di sanalah titik nol republik ini berada.

Secara administratif, Rinon masuk Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Pulau Breueh lebih sering disebut Pulo Aceh. Dengan luas 24 hektar, pulau ini dihuni tak lebih dari 5.000 jiwa.

Andai tsunami tak menerjang wilayah itu dan membuat ratusan jiwa melayang, boleh jadi jumlah penduduknya akan lebih dari itu. Juga para balita yang kini sudah tercatat sebagai siswa SD, SMP, dan SMA mungkin sama sekali tak tumbuh berkembang sebagai yatim piatu.

Sepintas lalu, tak ada yang terlihat istimewa di Rinon dan 6 desa lainnya di Pulo Aceh. Juga soal gedung sekolah. Sekalipun sekolah-sekolah dan rumah-rumah penduduk luluh lantak akibat diterjang tsunami 2004 silam, dermawan dari berbagai negara telah membangunkan kembali sarana-prasarana pendidikan itu. Malahan boleh dibilang, menjadi lebih bagus, lebih permanen dibandingan dengan sebelumnya.

Tsunami ternyata tak hanya menghilangkan harta benda dan nyawa, tetapi juga melenyapkan hampir seluruh harapan puluhan anak di desa itu untuk kembali bersekolah. Hampir 2 tahun mereka tinggal di barak pengungsian dalam keadaan serba kekurangan dan tak ramah bagi dunia pendidikan.

Ketika kemudian keadaan desa membaik, setelah sekolah berdiri berikut prasarana belajar, tak berarti pendidikan di SD Negeri Rinon, satu-satunya sekolah di desa itu kembali normal. Sebab, hanya 1 guru yang tersisa.

Untunglah tak berselang lama, datang 3 guru baru dari “daratan”, sebutan untuk wilayah Aceh bukan kepulauan. Namun 4 guru untuk 6 kelas tentu masihlah kurang. Apalagi tidak setiap hari mereka, yang berstatus pegawai negeri itu, masuk. Ada semacam perjanjian, mereka bekerja secara shift: 2 pekan masuk, 2 pekan berikutnya libur di daratan. Jadilah setiap hari, hanya ada 2 guru yang menyelenggarakan pembelajaran.

Tak mengherankan jika tak lebih dari separuh siswa yang hadir setiap hari, lantaran kalaupun berangkat sering kosong pelajaran.

[PM.004]

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait