Pemerintah Aceh mengatakan tidak akan menutup bank konvensional tetapi mensyariahkan bank konvensional. Pengamat Ekonomi, Aliamin memastikan hal itu sulit diwujudkan.
“Persoalan yang dihadapi sekarang ini, induk-induk yang konvensional ini tidak mungkin disyariahkan. Misalnya Bank Mandiri, BNI, kan tidak mungkin syariah. Karena dia sudah punya cabang syariah. Jadi, mereka (induk konvensional) harus out. Kepentingan mereka bisa diserahkan ke cabang syariah,” ujar Aliamin, Kamis (30/11).

Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Aceh ini mengatakan, setelah qanun tersebut disahkan maka harusnya bank konvensional tidak boleh lagi beroperasi di Aceh. “Jadi, harus ada konsekuensi tentang pemberlakuan qanun tentang lembaga keuangan syariah. Mereka tidak boleh lagi beroperasi di Aceh. Semua nasabahnya dialihkan ke bank syariah,” jelasnya.

Namun, baginya hal ini tidak berdampak buruk bagi masyarakat karena saat ini bank-bank konvensional sudah membuka cabang syariah. Saat bank konvensional hengkang, para nasabah dapat dialihkan ke cabang syariah.

“Nasabah yang sudah melakukan transaksi dengan bank konvensional tidak perlu khawatir. Ini tidak akan berdampak bagi mereka. Sesuai kesepakatan, mereka bisa membuat akad baru secara syariah,” katanya.

Dia pun mendukung pembentukan qanun tersebut sebagai suatu bentuk penselarasan pemberlakuan syariat Islam secara kaffah di Aceh, terutama dari segi ekonomi. “Saya tentu mendukung, karena ini kan namanya penselarasan pemberlakuan syariah secara komperhensif ataupun kaffah. Di bidang keuangan adalah salah satu yang sangat rawan terhadap unsur ribawi,” tutupnya.

DAMPAK JANGKA PANJANG
Pengamat Ekonomi lainnya, Chenny Seftarita juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, banyak dampak baik yang ditimbulkan terhadap pemberlakuan Qanun Lembaga Keuangan Syariah. Pertama, Aceh dapat menjalankan sistem ekonomi syariah secara kaffah. Kedua, hal ini bisa menjadi contoh untuk daerah lain dalam memajukan sistem perbankan syariah.

Terakhir, kata Chenny, hal ini dapat memperkuat kontribusi perbankan syariah secara nasional. “Dengan diseragamkan perbankan syariah di Aceh tentu akan menambah kontribusi perbankan syariah yang ada di Indonesia. Kalau ini berhasil, tentu menjadi contoh untuk daerah lain,” jelas Chenny, Kamis pekan lalu.

Ia juga sepakat untuk memberhentikan transaksi perbankan konvensional. “Saya sangat sepakat maksudnya bank konvensional yang ada di Aceh ini tidak ada lagi. Itu bagus, karena sesuai dengan Aceh yang telah menjalankan sistem syariah,” ujar dosen di Fakultas Ekonomi Unsyiah ini.

DAMPAK JANGKA PENDEK
Meski begitu, kata dia, setiap kebijakan tentunya memiliki Opportunity cost. Bisa dipastikan akan ada biaya peluang yang harus ditanggung karena memilih suatu peluang dengan mengabadikan peluang lainnya.

“Dampak jangka pendek yang ditimbulkan dari penutupan bank-bank konvensional, utamanya menyangkut keberadaan tenaga kerja. Mereka bisa saja kehilangan pekerjaan. Yang kedua, semua transaksi yang dilakukan bank konvensional ini akan ada hambatan,” tuturnya.

Kebijakan itu, lanjut dia, tentu menjadi persoalan besar bank konvensioanl yang belum mempunyai cabang syariah. Namun, kalaupun bank tersebut harus membuka cabang syariah, hal tersebut juga tak luput dari masalah. Pasalnya, kecenderungan bank-bank syariah yang ada di Aceh hanya produknya yang islami tapi belum benar-benar mengikuti anjuran murni syariah.

“Misalnya, dana pihak ketiga selain disalurkan dalam bentuk pembaiyaan juga masih diinvestasikan ke pembiayaan lain. Bisa saja pembiayaan oleh bank yang dipaksakan agar menjadi syariah ini polanya masih konvensional. Masih disalurkan kepada sektor-sektor yang berbau riba,” jelas Chenny.

Untuk menghindari hal itu, kata Chenny, perlu ada sosialisasi terhadap sistem perbankan syariah oleh pemerintah sendiri. “Perlu ada sosialisasi lebih dari pemerintah kepada pihak bank. Memang perubahan itu sulit dilakukan, apalagi membuka unit cabang syariah karena keterpaksaan,” katanya.

Menurut dia, sistem perbankan syariah yang sudah ada sekarang ini juga masih dicampur-aduk dengan sistem konvensional. “Ini sama saja makan dengan piring yang haram. Makanannya halal tapi piringnya haram. Pola seperti ini yang harus dihindari,” tandasnya.[]

Komentar