Polemik MAA, Akademisi: Harusnya Plt Gubernur Tak Beri Penilaian Hukum

Polemik MAA, Akademisi: Harusnya Plt Gubernur Tak Beri Penilaian Hukum
Polemik MAA, Akademisi: Harusnya Plt Gubernur Tak Beri Penilaian Hukum

PM, Banda Aceh – Akademisi Hukum Universitas Syiah Kuala, Kurniawan S menilai Plt Gubernur tidak perlu memberi penilaian hukum terkait pemilihan kelembagaan istimewa di Aceh, seperti Majelis Adat Aceh (MAA).

Kurniawan dalam siaran persnya, Senin (25/2) mengatakan, Pemerintah Aceh sebagai eksekutif hanya berwenang melantik apa yang telah menjadi hasil pemilihan di lembaga tersebut.

“Hemat saya, secara yuridis eksekutif tidak diberi wewenang untuk melakukan penilaian hukum, apakah pemilihan di MAA bertentangan dengan mekanisme pemilihan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ujar Kurniawan.

Adapun penilaian hukum, lanjut dia, hanya dimiliki oleh hakim pada lembaga peradilan, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga itulah yang memeriksa, mengadili, dan memutus apakah suatu UU bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Termasuk juga memutus apakah suatu peraturan perundang-undangan yang hierarkinya berada di bawah UU (PP, Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kab/Kota) bertentangan atau tidak dengan UU, termasuk PTUN.

“Sehingga, seyogyanya Gubernur melantik Ketua MAA terpilih dengan Keputusan (besluid/beschikking),” tegas Kurniawan.

Selanjutnya, ia juga menambahkan, jika ada individu atau suatu badan hukum yang merasa dirugikan dengan Keputusan Gubernur tentang penetapan tersebut, maka dapat melakukan gugatan ke PTUN dengan alasan/dasar gugatan bahwa ada dugaan prosedur yang dilanggar.

Setelah itu, hakim PTUN-lah yang akan melakukan penilaian hukum, apakah pemilihan Ketua MAA tersebut bertentangan dengan prosedur, dalam hal ini Qanun Nomor 3 Tahun 2004 tentang SOTK MAA.

“Kita mengacu pada prinsip Voormouden Van Rechmatigheid, dimana setiap tindakan wajib dipandang benar sebelum dinyatakan batal oleh badan peradilan yg diberi wewenang,” imbuhnya.

Kurniawan juga menyatakan, jika semua proses dalam pemilihan Ketua MAA di dalam Mubes telah dilalui, maka keputusannya mengikat para penyelenggara pemerintahan, tanpa terkecuali termasuk eksekutif. Eksekutif dalam hal ini tidak diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan penilaian hukum terhadap proses Mubes pemilihan ketua MAA.

Kemudian, dirinya juga bicara perihal Peraturan Gubernur. Sebagai sebuah peraturan pelaksanaan, Pergub hanya dapat dibentuk bilamana diberi kewenangan secara atribusi oleh jenis peraturan induk yang hierarkinya lebih tinggi, dalam kasus ini Qanun Nomor 3 Tahun 2004 tentang SOTK MAA dan Qanun Aceh Nomor 18 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

“Tanpa adanya pemberian kewenangan dari qanun tersebut untuk membentuk Pergub, maka secara hukum Gubernur tidak dibenarkan mengeluarkannya, kecuali ditentukan sebaliknya,” kata Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA) itu.

Maka, jika qanun yang ada belum menjelaskan tata cara pemilihan, sebagaimana yang dikatakan oleh Biro Hukum Pemerintah Aceh, seyogyanya yang perlu didorong adalah perubahan terhadap qanun tersebut, bukan malah berencana menerbitkan Pergub.

“Yang perlu didorong oleh eksekutif adalah berkoordinasi dengan legislatif untuk melakukan perubahan qanun tersebut, agar dapat memasukkan pengaturan mengenai tata cara pemilihan dan pengisian kepengurusan MAA, bukannya mempersiapkan Peraturan Gubernur (Pergub),” ujarnya.

Untuk sementara waktu menunggu Revisi Qanun Aceh tersebut rampung, bilamana masa kepengurusan MAA serta MPA, dan Baitul Mal Aceh saat ini sudah berakhir, maka solusinya adalah dilakukannya Musyawarah Luar Biasa.

“Muslub untuk memilih dan menunjuk seseorang sebagai Pelaksana Tugas, bukannya justru eksekutif yang menunjuk Pelaksana Tugas (Plt) MAA termasuk Plt MPA, dan Plt Baitul Mal,” kata Kurniawan. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait