PNA: Qanun LKS Seharusnya Diperkuat

PNA: Qanun LKS Seharusnya Diperkuat
Affan Ramli. (Foto/Ist)

PM, Banda Aceh – Menanggapi kontroversi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sepekan terakhir, Ketua DPP PNA, Affan Ramli meminta kalangan intelektual kampus di Aceh agar fokus memikirkan formula baru perbankan syariah. Menurutnya, akademisi tak perlu merespon protes yang berlebihan terhadap qanun itu.

“Jangan habiskan energi untuk menanggapi protes dari pihak-pihak yang membela sistem bank konvensional di Aceh,” kata Affan dalam siaran pers, Jumat (4/9/2020).

Para intelektual lebih baik memikirkan formula untuk perbankan syariah yang lebih adil, sehingga perubahan itu tidak sebatas di kulit permukaan saja. Sementara, kata dia, rakyat miskin tetap mengalami penghisapan oleh orang-orang kaya pemilik dan pengelola bank berlabel syariah.

Hal ini juga dikemukakakan Affan, menanggapi pemberitaan media bahwa Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Provinsi Aceh baru saja mengadukan Qanun LKS ke Komnas HAM di Jakarta, di hari yang sama. Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh, YARA, dan sejumlah pakar ekonomi meminta qanun tersebut dievalusi dan diubah.

Menurut Affan, setiap perubahan tidak mungkin bisa membahagiakan semua orang. Pihak-pihak tertentu pasti merasa dirugikan. Namun, masyarakat Aceh dua kali lebih dirugikan jika perubahan nama dari konvensional ke perbankan syariah berhenti pada prosedur-prosedur transaksi saja, apalagi jika beralih pada akad berbahasa arab saja.

“Rakyat rugi akibat transaksi masih sarat kezaliman dan kezaliman itu dilakukan atas nama Syariah,” tegas Affan.

Aturan Bermata Dua, Maka Penting Dikoreksi

Bagi PNA, Qanun LKS harusnya diapresiasi. Kendati aturan itu juga harus disadari bermata dua. Di satu sisi, jika diterapkan secara serius, qanun ini diyakini dapat melawan praktik-praktik kapitalisme. Namun di sisi lain, pelaku industri jasa keuangan, baik perbankan maupun lembaga keuangan lainnya, bisa menjual merek Syariah untuk meraup keuntungan bisnis sepihak seperti praktik selama ini.

“Maukah pihak bank menghentikan praktik-praktik riba dalam berbagai bentuknya, sharing resiko, dan memihak pada usaha-usaha kecil menengah rakyat? Kita harus sadari, bagi rakyat, berlabel syariah atau bukan syariah tidak penting, asal praktik-praktiknya sesuai kualitas pelayanan yang adil dan memihak rakyat miskin,” tegasnya.

Lembaga keuangan yang baik untuk Aceh, menurut dia tidak cukup berdimensi ‘syariah’, yang saat ini masih dimaknai secara sempit. Tapi juga harus berdimensi adat (tradisi akhlak sosial). Adat atau akhlak concern pada isu zalim atau adilnya sebuah praktik ekonomi. Sementara Fikih fokus pada isu sah atau batalnya prosedur transaksi.

“Bank Syariah sebaiknya menggabungkan keduanya, kerangka kerja fikih yang mementingkan prosedur yang sahih dan kerangka kerja adat yang mengejar substansi akhlak islami dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi. Gabungan syariah-adat ini kami sebut prinsip syahadat dalam pengelolaan lembaga keuangan. Bank Syariah di Aceh perlu dikoreksi dengan gagasan-gagasan baru, produk-produk baru dan protap-protap baru,” tandas Affan Ramli. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Ini Risiko Lingkungan dari Pembangunan PLTA Tampur
Dok. 27 Oktober 2018, Aksi warga yang diwakili oleh Kepala Desa, Datok, Geuchik di Kecamatan Simpang Jernih sepakat untuk menolak PLTA Tampur-1. (Foto/Ist)

Ini Risiko Lingkungan dari Pembangunan PLTA Tampur