Mutasi Pejabat Eselon II Pemerintah Aceh Maret 2017 (PM/Oviyandi Emnur)
Mutasi Pejabat Eselon II Pemerintah Aceh Maret 2017 (PM/Oviyandi Emnur)

Pergantian pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh jadi sorotan. Inikah mutasi ambisius di penghujung jabatan?

Desas desus mutasi itu benar adanya. Setelah sepekan berembus kencang, akhirnya Gubernur Aceh Zaini Abdullah resmi merombak kabinetnya, Jumat, 10 Maret lalu. Ia melantik 33 pejabat eselon II sebagai kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) baru. Pejabat yang dilantik itu, yakni 1 asisten, 17 kepala dinas, 6  kepala biro, 3 staf ahli, 3 kepala badan, 2 kepala sekretariat, dan 1 inspektur.

Pelantikan tersebut sempat molor. Acara yang dijadwalkan dimulai sore hari, harus dilaksanakan usai salat maghrib. Bertempat di ruang Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, Zaini mengambil sumpah para pejabat baru. Ia didampingi Sekda Aceh Dermawan. Menariknya, pelantikan itu ikut dihadiri Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal. Ia bahkan duduk disamping Zaini Abdullah.

Pelantikan itu tidak berselang lama setelah perombakan pejabat SKPA oleh Plt Gubernur Aceh Soedarmo pada 26 Januari 2017. Kala itu, 62 pejabat eselon IIa dan IIb dilantik untuk mengisi Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) Pemerintah Aceh yang didasari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Iklan Ucapan Selamat Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA dari ESDM

Pengukuhan dan pelantikan pejabat yang dilakukan Soedarmo tersebut juga diatur dalam Qanun Susunan Organisasi Tata Kerja Aceh Nomor 13 Tahun 2016. Peraturan ini sekaligus terjadi perubahan nama dan struktur dalam organisasi di Pemerintah Aceh. Total, ada 1.363 pejabat baru di lingkup Pemerintah Aceh yang dilantik Plt Gubernur Soedarmo secara marathon.

Namun, para pejabat baru ini kini harus rela posisinya diganti maupun dirotasi. Sebut saja posisi Kadis Perhubungan, Ir Hasanuddin yang digeser menjadi Kadis Pengairan. Kepala Inspektur Aceh Drs Abdul Karim kini menjabat Staf Ahli Gubernur bidang Keistimewaan, SDM dan Hubungan Kerjasama. Begitupun Ir T Syakur yang sebelumnya menjabat Kadis ESDM Aceh, kini menjabat staf ahli bidang Perekonomian, Keuangan dan Pembangunan.

Selain melantik 33 pejabat SKPA yang baru, Doto Zaini juga membangkupanjangkan 20 pejabat lama. Di antaranya, 15 pejabat yang tak lagi mendapat jabatan itu kini hanya menjadi pelaksana pada Sekretariat Daerah Aceh. Sementara Asisten II yang sebelumnya dijabat Zulkifli digantikan karena ia memasuki masa pensiun. Sementara empat pejabat lainnya dikembalikan ke kampus.

Dalam mutasi itu, Hasanuddin Darjo kembali mendapat kepercayaan Doto Zaini. Ia mendapatkan jabatan baru di Dinas Pertanian dan Perkebunan, menggantikan Prof Abubakar Karim. Mantan kepala Bappeda ini dikembalikan ke instansi asalnya, Universitas Syiah Kuala.

Selain Abubakar Karim, mantan Kadis Syariat Islam Prof Syahrizal Abbas, Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Iskandar Zulkarnaen beserta Staf Ahli bidang Hukum M Jafar juga dikembalikan ke kampusnya masing-masing. Syahrizal Abbas ke UIN Ar-raniry, Iskandar Zulkarnaen ke Unimal, dan M Jafar ke Unsyiah.

Gubernur Zaini dalam arahannya mengatakan proses mutasi merupakan hal biasa dalam sebuah oraganisasi pemerintahan. Salah satu alasan pergantian ini disebut Doto Zaini karena lambannya kinerja SKPA, terutama menghadapi Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (PENAS KTNA) XV di Banda Aceh, 6-11 Mei 2017.

Baca: Mutasi Waswas Jelang Wassalam

PM Edisi 162 Mutasi Waswas Jelang Wassalam
PM Edisi 162 Mutasi Waswas Jelang Wassalam

“Kerja saja dan tidak perlu khawatir. Karena apa yang kita jalankan ini sudah sesuai aturan. Kita bekerja untuk melayani rakyat, jadi kenapa harus takut,”  sebut Zaini.

Diakunyai, dasar hukum pelaksanaan mutasi ini adalah UUPA Nomor 11 Tahun 2006. Sebab itu, meskipun adanya aturan lain, ia menilai tak melanggarnya karena Aceh jika merujuk ke UUPA berlaku lex specialis yang dapat mengesampingkan aturan secara umum.

Kepada wartawan,Zaini mengaku sudah berkoordinasi dengan Mendagri terkait proses pelantikan tersebut. Bahkan, ia mengakui telah mengirim pesan singkat terkait keputusan mutasi tersebut. Namun Zaini tak menjelaskan apakah Mendagri menyetujui pergantian tersebut atau tidak.

Mutasi ini juga dinilai bentuk inkonsistensi Zaini Abdullah. Pasalnya, beberapa waktu lalu kepada salah satu media lokal, Zaini sempat membantah isu mutasi itu. Peneliti dari Jaringan Survei Inisiatif Aryos Nivada menyikapi hal tersebut dengan mempertanyakan inkonsistensi ucapan Zaini Abdulah selaku gubernur yang pernah menyatakan bahwa tidak akan melakukan mutasi kepada publik beberapa waktu lalu. Bahkan, ia menyatakan ke publik bahwa kabar mutasi hanyalah berita angen (angin) alias hoax.

“Gubernur Zaini Abdulah belum lama ini mengatakan mutasi pejabat adalah isu belaka dan berita angen. Patut dipertanyakan inkonsistensi Zaini Abdulah yang berbeda antara perkataan dan perbuatan,” ujar Aryos, Jumat 10 Maret lalu.

Memang, tiga hari sebelum mutasi, Zaini Abdullah sempat membantah akan ada mutasi dalam waktu dekat. Dalam sebuah wawancara, ia sempat mengatakan isu mutasi tersebut adalah ‘haba angen’. Kala itu, Zaini menegaskan hanya fokus pada penyelesaian dokumen pendukung proyek APBA 2017 dan persiapan pelaksanaan Penas KTNA 2017.

“Ternyata SMS larangan berpergian yang dikirim kepada Kepala SKPA ada yang mengartikan sebagai akan ada mutasi lagi. Itu benar-benar pesong,” kata gubernur seperti dilansir acehtribunnews.com

Salah satu alasan Zaini melakukan mutasi juga adanya desakan dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Lembaga ini mengirim surat kepada Gubernur Aceh meminta agar melantik kembali pejabat sesuai dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Pasalnya, pejabat yang dilantik oleh Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Soedarmo dulu telah melanggar UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya pasal 100 ayat 1.

“Kami mendesak Gubernur Aceh agar segera melantik para pejabat di Aceh sesuai dengan UUPA dan mengisi jabatan yang belum terisi, sehingga tidak menghambat pelayanan publik bagi masyarakat Aceh,” kata Ketua YARA Safaruddin, Selasa, 7 Maret.

Baca: Mutasi Ambisi Gelombang Sepuluh

Dirinya menjelaskan, pengukuhan dan pelantikan pejabat di Aceh saat itu berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan diatur dalam Qanun Susunan Organisasi Tata Kerja Aceh Nomor 13 tahun 2016. “Ini merupakan pelanggaran terhadap UUPA Pasal 100 ayat 1 perangkat daerah Aceh terdiri atas Sekretariat Daerah Aceh, Sekretariat DPRA, Dinas Aceh, dan lembaga teknis Aceh yang diatur dengan Qanun Aceh,” tulis Safar dalam rilis yang diterima Pikiran Merdeka.

Padahal, lanjut dia, Pemerintah Aceh telah mengatur perangkat daerahnya selama ini dengan mengacu pada Qanun Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. “Jika kemudian dilakukan perombakan terhadap perangkat kerja daerah dengan mengacu pada PP No.18/2016, maka di situ terjadi kesalahan karena Aceh adalah daerah khusus dan istimewa yang diberikan kekhususan dalam mengatur dirinya, termasuk dalam menyusun perangkat daerah,” tegas Safar.

SALAHI ATURAN

Menurut analisa Masyarakat Trsnparansi Aceh (MaTA), kebijakan mutasi yang dilakukan oleh Gubernur Aceh merupakan pelanggaran hukum yang serius. Pelanggaran hukum kebijakan mutasi kali ini jelas berimplikasi  pada tindak pidanan korupsi. Karena itu, perlu menjadi perhatian semua pihak untuk merespon kebijakan tersebut.

“Kalau kami pakai istilah Zaini Abdullah, ini kebijakan pesong yang sangat memalukan. Kami melihat kebijakan mutasi tersebut hanya sebagai bentuk balas dendam dan emosional dari kebijakan Plt Gubernur sebelumnya. Di mana orang yang dianggap tidak loyal dan bersebrangan harus dihabisi,” ujar Alfian, Koordinator MaTA Sabtu, 11 Maret 2017.

Menurutnya, sangat tak masuk akal menjadikan alasan mutasi ini sebagai bagian pengabdian pada rakyat Aceh. “Dari kajian kita terhadap kebijakan tersebut, ini adanya pelanggaran serius. Dalam undang-undang jelas dinyatakan bahwa kepala daerah dilarang melakukan mutasi pejabat di pengujung masa jabatannya,” sambung Alfian.

Ia lalu merujuk kepada Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota. Lalu, adanya Surat Edaran Kemenpan-RB Nomor 02 Tahun 2016 tentang Penggantian Pejabat Pasca Pilkada serta Surat Kemendagri Nomor T.820/2294/OTDA tentang larangan kepala daerah melakukan penggantian pejabat Pemda.

“Inti dari surat edaran tersebut adalah dalam rangka menjamin penyelenggaraan Pemda dan pelayanan masyarakat di lingkungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” katanya.

Alfian menuturkan, kebijakan mutasi tersebut dapat dikatagorikan tindakan melanggar UU. “Kami menilai, mutasi ini tidak sah secara hukum dan seluruh pengeluaran tunjangan bagi pejabat yang menggantikan selama proses itu dianggap kerugian negara,” kata Alfian.

Selain itu, lanjut dia, pejabat yang diangkat dengan melanggar ketentuan hukum yang berlaku dapat dikategorikan sebagai korupsi.

Berdasarkan analisa MaTA, proses mutasi ini merupakan peristiwa hukum. Untuk itu, MaTA berencana melaporkannya ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan KPK. “Kalau kebijakan ini tidak diluruskan dan didiamkan, Aceh ini jadi bahan tertawaan orang luar. Artinya, kami masih sangat waras saat ini dan kami harus melawan ketidakwarasan tersebut,” tegas Alfian.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh menuturkan, pergantian ini memliki dampak negatif dan melanggar sejumlah aturan hukum. Menurrut dia, tidak tepat jika Gubernur Zaini menyatakan pelatikan tersebut mengacu kepada UUPA. Pasalnya, kewenangan UUPA tidak mutlak dan tidak dibolehkan bertentangan dengan undang-undang lainnya. Secara hukum, tegas dia, mutuasi tersebut batal dengan sendirinya.

“Ada aspek etika yang dilanggar gubernur. Di mana ia mengobrak-abrik kembali para pejabat yang baru saja dilantik oleh Plt Gubernur Aceh yang mengacu kepada UU Pilkada dan Qanun Susunan Organisasi Tata Kerja Aceh Nomor 13 Tahun 2016,” terang Saleh, Sabtu pekan lalu.

Politisi Partai Aceh ini juga meyakini, Mendagri tak merestui mutasi tersebut. Pasalnya, jika itu dilakukan, bakal merembes kepada bupati/walikota yang tengah menjalani sisa pemerintahan selama 3 bulan lagi ikut-ikutan merotasi kepala SKPD. “Saya pikir Mengari mustahil beri izin mutasi ini,” katanya.

Hingga saat ini, lanjut Abdullah Saleh, Komisi I belum berencana memanggil gubernur. Dia memastikan, pihaknya tak mengakui seluruh kepala SKPA yang baru dilantik gubernur.  “Saya yakin mereka akan mundur teratur dengan sendirinya saat DPRA dan lembaga lainnya tak mengakuinya. Bahkan mungkin Mendgari akan segera membatalkannya,” pungkasnya.[]

Komentar