Gelombang mutasi menjelang berakir kepemimpinan Zikir melabrak UU No.10/2016. Lagi-lagi, ‘lex specialis’ menjadi dalil pembenaran.
Zaini Abdullah yang terpilih menjadi Gubernur Aceh pada Pilkada 2012, hingga menjelang akhir masa jabatan, belum menunjukkan kemampuan berarti dalam mengelola birokrasi pemerintahan. Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini dan Muzakir Manaf hanya disibukkan dengan bongkar-pasang pejabat eselon.
Sejak dilantik 25 Juni 2012, Zaini telah melakukan mutasi pejabat mencapai 10 kali—tidak termasuk perombakan pejabat yang dilakukan Plt Gubernur Aceh, Mayjen TNI Purn Soedarmo. Terakhir, pria yang akrab disapa Doto Zaini ini melantik 33 pejabat Eselon II di Gedung Serbaguna Setda Aceh, Jumat (10/3) malam.
Perombakan pejabat kali ini menjadi duka bagi 20 pejabat yang dilantik Soedarmo pada 23 Januari 2017. Dalam waktu singkat, mereka tergerus arus mutasi penuh kontoversi yang digelar Doto Zaini.
Dengan mutasi tersebut, Zaini Abdullah secara terang-terangan menentang peringatan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang larangan pergantian (mutasi) pejabat oleh gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota bahwa di pengujung masa jabatan.
Secara perundang-undangan, tindakan Doto Zaini ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No.1/2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.1/2014 tentang pemilihan gubernur, bupati/walikota.
Baca : Mutasi Ambisi Penghujung Jabatan
Dengan jelas, pasal 71 ayat (2) UU tersebut menyatakan kepala daerah dilarang melakukan mutasi jabatan di penghujung masa jabatannya kecuali mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. Namun, dalam melaksanakan mutasi tersebut, Doto Zaini belum mengantongi persetujuan Mendagri.
Selain itu, tindakan itu juga bertentangan dengan Surat Edaran Kemenpan RB Nomor 02 Tahun 2016 tentang penggantian pejabat pasca Pilkada dan Surat Kemendagri Nomor T.820/2294/Otda tentang larangan kepala daerah melakukan penggantian pejabat Pemda.
Untuk persoalan tersebut, Doto Zaini dan jajarannya kembali berlindung di balik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Disebutkan, Aceh memiliki ‘lex specialis’ yang tidak bisa disamkan dengan provinsi lain di Indonesia. Antara lain mereka berpegang pada UUPA pasal 119 ayat (1) yang menyatakan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada Pemerintah Aceh ditetapkan oleh gubernur.
Karena itu, dengan adanya kewenangan yang diberikan UUPA, maka pelantikan yang dilakukan Gubernur Zaini dinilai sah secara hukum. Anehnya, di sisi lain, Doto Zaini secara tidak langsung juga mengakui perombakan pejabat oleh Soedarmo yang tidak merujuk UUPA.
Tak kalah menarik untuk ditunggu, andai pejabat yang tergerus mutasi menggugat kebijakan Doto Zaini tersebut. Jika Abu Doto yang kalah, tentu akan memunculkan persoalan baru terkait tugas dan wewenang yang dilaksanakan pejabat baru tersebut. Karena itu, kebijakan Doto Zaini ini layak disebut ‘mutasi waswas jelang wassalam’.[]
Belum ada komentar