SAYA telusuri naskah-naskah yang diletakkan di lemari kaca itu. Beberapa kitab tertulis dalam aksara Jawi dengan ejaan Melayu. Namun, ada juga kitab-kitab yang saya tak kuasa membacanya, karena aksara “Arab-Jawi” yang belum dibubuhi baris dan mungkin saja bukan ejaan Melayu.

Di antara naskah-naskah yang dipamerankan oleh Madrasah Ahmadiyah itu, terdapat kitab al-shirat al-mustaqim (shirathalmustaqim). Menurut sebagian ulama, ini adalah kitab fiqh berbahasa Melayu yang pertama sekali dikarang di Nusantara. Kitab ini merupakan hasil goresan tangan Nuruddin ar-Raniry, ulama asal India yang lama menetap di Aceh.

Selain shirathalmustaqim, terdapat pula manuskrip tentang sejarah penulisan Alquran, yang juga karangan Nuruddin. Selain itu, di sekolah ini juga tersimpan sejumlah karangan Hamzah Fansuri, sastrawan Aceh yang menjadi ikon sastra tulis Melayu.

Seperti saya jelaskan sebelumnya, kitab-kitab yang terdapat di sekolah ini sebagian besar memang dari Aceh. “30 persen manuskrip di sini berasal dari Aceh, selebihnya dari berbagai daerah lain di dunia,” kata pimpinan Madrasah Ahmadiyah Islamiah, Ustaz Lutfee H. Samae.

Selain dalam bahasa Jawi (Jawoe), naskah-naskah kuno di sana juga ditulis dalam bahasa Arab. Ejaan yang digunakan masih ejaan lama. Terkait kertas dan alat tulis, kebanyakan kertas dari Eropa. Alat tulis yang digunakan untuk menulis Alquran dan manuskrip kuno itu masih memanfaatkan alam sekitar. Tintanya diambil dari campuran teras kayu leban, haram kayu, getah damar (tusam) dan getah terea, lalu dicampur sedikit dengan dawat India atau Cina. Adapun penanya diambil dari pohon kabung, buluh (bambu), bulu burung merak, dan lidi landak. Warna hiasan tintanya dari buah-buahan dan bunga-bunga, itu sebab beberapa isi dalam naskah kuno ini ada yang berwarna cerah.

Lutfee kemudian mengajak saya keliling arena pameran sederhana itu. Didamingi beberapa mahasiswa Fatoni University, saya mengamati kitab-kitab lama itu. Saya sempat tertegun dan terkesima pada mushaf Surat al-Kahfi yang mempunyai lima cahaya lukisan air emas. Sampul Alquran ini dari kulit hewan. Berdasarkan keterangan tertulis di bawahnya, usianya mushaf ini sekitar 300 tahun lebih.

Saya pindah ke sebuah kitab yang terdapat dalam lemari kaca. Manuskrip itu diletakkan di atas kulit kayu, dibalut dengan kain putih. Di sana tertera keterangan, “Alquran tulis tangan asal Aceh,” yang usianya hampir 300 tahun silam.

“Zaman dulu, banyak orang Aceh yang sampai ke Patani. Ada yang datang belajar, ada juga yang datang mengajar. Boleh jadi, kitab-kitab ini hasil peninggalan mereka yang dulu datang kemari,” tutur Lutfee.

Lebih lanjut, Lutfee mengatakan ada orang Aceh yang bukan sekadar mengajar dan mendirikan pondok pesantren di sini, tapi juga mendirikan masjid yang kemudian dianggap sebagai masjid bersejarah.

“Saya pernah dengar ada Wan Husen Sadawi yang pernah ke Aceh lalu sampai ke sini. Ia mendirikan sebuah masjid yang seluruh bahannya dari kayu. Masjid itu dinamakan Masjid Teluk Manok. Itu salah satu masjid bersejarah di selatan Thailand ini, selain Masjid Kersik,” paparnya.

 

Upaya Penyelamatan

Menindaklanjuti penyelematan manuskrip kuno itu yang perlahan tampak usang, pihak Madrasah Ahmadiyah Islamiah sudah berencana akan menyalin seluruh naskah tersebut dalam bentuk digital. Kata pimpinan sekolah itu, niat seperti ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu, tapi terkendala dana.

“Sekarang sudah ada pihak yang membantu sekolah kami. InsyaAllah kami akan bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan Thailand dan Negara Turky untuk menyalin naskah-naskah ini ke dalam bentuk digital,” ucapnya.

Jika sudah ada dalam bentuk digital, Lutfee mengatakan, semua orang di penjuru dunia tidak perlu repot-repot sampai ke Thailand untuk mencari naskah-naskah lama ini. Menurutnya, hal ini mereka lakukan demi menjaga keberlangsungan keselamatan manuskrip-manuskrip tersebut.

Lutfee kemudian memperlihatkan deluwang, salah satu kertas yang digunakan oleh ulama Melayu masa lalu untuk menulis manuskrip dan mushaf Alquran. Menurut sejarah, deluwang muncul sekitar tahun 1400 Masehi. Di Indonesia, deluwang diolah dari kulit pohon waru yang memiliki serat kuat pada kulitnya. Ulama tempoe doeloe menulis di atas deluwang karena kerta tersebut dianggap awet.

Sesaat langkah kaki saya terhenti pada sebuah almari kecil. Dalam almari itu terdapat sebuah mushaf mungil ukuran 17 x 12 sentimeter. Tebalnya 2 sentimeter. Diberi keterangan bahwa mushaf ini ditulis pada tahun 987 Hijriyah oleh Al-Marfu Maula Muhamamd al-Bassari. Artinya, usia mushaf ini nyaris empat setengah abad. Namun, mushaf tersebut masih tampak awet.

Jika ditilik dari usia naskah-naskah di sini, agaknya benar yang diutarakan Lutfee, madrasah ini sudah ada sejak zaman dahulu kala, sejak sekolah ini masih berupa pondok pesantren tradisional. Pondok ini berubah menjadi sebuah sekolah yang diakui oleh Kerjaan Thailand sekitar 60-an tahun lalu.

Di sekolah inilah banyak disimpan berbagai manuskrip kuno yang sebagian besar dari Aceh. Kiranya, Pemerintah Indonesia penting mengambil peranan di sekolah ini, menyelamatkan sebagian naskah dari Indonesia. Demikian halnya pihak Pemerintah Aceh, harus ada itikad penelusuran dan penyelamatan naskah-naskah asal Aceh.

Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh yang memiliki bidang pengarsipan mestinya sampai ke sekolah ini, di Jeringa, Provinsi Narathiwat, selatan Thailand. Bukankah Badan Arsip punya bidang yang khusus ganti rugi naskah? Ini kesempatan, sebelum didigitalkan oleh Pemerintah Turki![]

 

Catatan ini merupakan pengalaman penulis setahun silam, saat masih menjadi dosen di Fatoni Universty.

Komentar