PM, Banda Aceh – Sejumlah komunitas menggelar “Workshop Dunia Tuli dan Kelas Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) Dasar”, perdana di Banda Aceh, pada Minggu (3/8/2025) pekan lalu.
Sedikitnya 23 peserta yang ikut dalam kegiatan ini diperkenalkan wawasan terkait inklusi disabilitas dan dunia tuli, sekaligus mengajarkan bahasa isyarat langsung dari pengajar Tuli kepada ‘orang dengar’, istilah bagi individu yang tidak mengalami kesulitan dalam mendengar.
Mereka yang terlibat dalam mengadakan workshop ini, yaitu Buddies for Inclusion, Sadar Setara, dan Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN) Aceh.
Selain pengetahuan soal dunia tuli, kegiatan ini juga bentuk advokasi dan perlawanan terhadap praktik eksklusi yang masih kerap dilakukan oleh orang dengar.
Pengajar Tuli, M Rikal Qamara dalam kesempatan itu mengatakan, saat ini masih banyak orang dengar yang mengajarkan bahasa isyarat di media sosial maupun dalam pelatihan publik tanpa melibatkan Tuli.
“Ini bukan hanya keliru, tetapi juga bentuk pengabaian terhadap penutur asli BISINDO dan menghilangkan peluang kerja yang seharusnya dapat memberdayakan komunitas Tuli,” tegas Rikal, yang pada workshop tersebut membawakan sesi pembuka Pengenalan Dunia Tuli.
Dalam sesinya, Rikal juga menjelaskan perbedaan istilah Tuli dan Tuna Rungu, perbedaan antara SIBI dan BISINDO, serta pentingnya menjadi Deaf Ally, yaitu pendukung yang memperjuangkan hak-hak Tuli dalam posisi yang setara.
Workshop kemudian dilanjutkan dengan Kelas BISINDO Dasar yang dibawakan oleh Rikal bersama M Irham. Meskipun ini merupakan pengalaman pertama bagi banyak peserta, antusiasme mereka sangat tinggi.
“Kami masih kaku karena ini pertama kali berbahasa dengan gerakan dan ekspresi, tapi sangat seru,” ujar salah satu peserta.
Febriana Ramadhani, Juru Bahasa Isyarat (JBI) dalam kegiatan ini, juga merefleksikan peran JBI yang sering disalahpahami.
“JBI bukan pendamping pribadi Tuli. Ketika orang dengar berbicara hanya kepada JBI dan mengabaikan Tuli, itu justru mengeksklusi mereka dari komunikasi,” jelasnya.
Minimnya akses terhadap Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) serta masih kuatnya stigma terhadap komunitas Tuli menjadi hambatan besar dalam pemenuhan hak dasar Tuli di Aceh.
Kondisi ini diperburuk oleh keterbatasan akses pendidikan dan informasi bagi penyandang disabilitas, termasuk Tuli, yang masih tertinggal dibandingkan wilayah lain seperti Pulau Jawa.
Dian Agustin dari Buddies for Inclusion menyatakan bahwa dalam jangka panjang, situasi ini berdampak langsung pada akses terhadap lapangan pekerjaan.
Laporan dari Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN) Aceh menyebutkan bahwa lebih dari 90 persen Tuli di Aceh belum bekerja di sektor formal. Sementara itu, akses terhadap pekerjaan di sektor informal pun masih sangat terbatas.
Maulana Aditya, mentor Tuli dari Surabaya dalam sesi refleksi di akhir workshop menekankan pentingnya advokasi dari dalam komunitas itu sendiri.
“Advokasi bukan hanya soal berbicara kepada pemerintah, tapi juga memperkuat posisi Tuli sebagai pengajar, pemimpin, dan pembela haknya sendiri. Peran teman dengar sebagai Deaf Ally sangat penting dalam proses ini, tetapi harus dalam posisi setara, bukan dari atas,” kata Aditya.
Penyelenggara berharap agar pemerintah daerah turut mendorong akses formal terhadap BISINDO di sekolah, layanan publik, dan dunia kerja.
Hal itu merupakan langkah awal menuju inklusi disabilitas bagi komunitas Tuli, yaitu memastikan keterlibatan penuh Tuli dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. []
Belum ada komentar