PM, Banda Aceh – Konsorsium Perempuan Sumatera MAMPU (PERMAMPU) mendesak pemerintah untuk meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Hal ini menyikapi jumlah kasus perkawinan anak, termasuk angka kekerasan yang kian meningkat sejak pandemi Covid-19.
Flower Aceh, salah satu lembaga yang termasuk dalam konsorsium ini, mengungkapkan jumlah dispensasi perkawinan anak di Aceh terus bertambah di tahun 2020.
Mengacu data yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Kota se-Aceh, pada tahun 2020 terdapat 640 kasus dispensasi perkawinan usia anak. Ini jauh lebih tinggi dibanding tahun 2019 hanya sekitar 198 orang.
Lonjakan kasus dipicu banyak faktor. Berdasarkan survei Flower Aceh, ditemukan bahwa penyebab utama terjadinya perkawinan anak adalah karena kemiskinan, keluarga yang tidak rukun, dan putus sekolah.
“Selain itu juga karena masih kuatnya mitos-mitos yang salah tentang seksualitas dan reproduksi perempuan,” ujar Koordinator Program Flower Aceh, Ernawati dalam kegiatan puncak 16 hari aktivisme secara virtual yang dihadiri oleh ratusan peserta dari 8 provinsi, dari Aceh sampai Lampung, Kamis (10/12/2020).
Di sisi lain, angka perceraian dari perkawinan anak ikut meningkat ketika pandemi, seperti yang terjadi di Provinsi Lampung.
Suprihatin, perempuan disabilitas, salah satu anggota FKPAR di Jambi mengeluhkan, bahwa situasi pandemi Covid-19 menyebabkan pembatasan mobilitas, ketakutan, dan hilangnya pendapatan.
“Hal ini ditambah tidak efektifnya layanan kesehatan KSR di Puskesmas dan KUA yang sempat tutup, sehingga banyak kasus kawin siri yang merugikan posisi perempuan,” ujar Suprihatin.
Sementara itu, perwakilan Forum Perempuan Muda (FPM) Sumatera yang berbasis di Bengkulu, Lica Veronika mengakui sulitnya bertemu langsung dalam menghadapi masalah KSR yang dialami perempuan muda.
Meski demikian, mereka tetap berkomitmen untuk terus mengampanyekan penghapusan kekerasan seksual dan perkawinan anak di masa pandemi Covid-19.
Situasi pandemi juga dikhawatirkan oleh Nurhayati, perempuan lanjut usia di Kampar, Riau. Karena lansia rentan terinfeksi virus Covid-19, lansia rentan alami kekerasan (dijambret, dll) dan tidak ada pendapatan lagi.
“Kami berharap agar sistem perlindungan sosial pemerintah ke depan dapat memberi manfaat dan menjangkau perempuan lansia terutama dari rumah tangga miskin,” sebutnya.
Kekerasan Seksual
Women Crisis Center (WCC) Sinceritas-PESADA Sumatera Utara dalam pertemuan ini memaparkan data kasus kekerasan seksual yang mereka tangani. Selama pandemi, terjadi sedikitnya 127 kasus dengan mayoritas kasus KDRT, yakni mencapai 50 persen.
Selain itu, sejumlah kekerasan seksual terhadap anak perempuan ternyata banyak diwarnai oleh perkenalan dan komunikasi online.
“Ancaman-ancaman untuk menyebarkan informasi hubungan seks yang sebenarnya adalah perkosaan, maupun mempermalukan karena tidak perawan dan sebagainya, cukup banyak terjadi di masa pandemi,” ungkap Dinta Solin mewakili WCC Sinceritas-PESADA.
Meningkatnya jumlah KDRT juga disampaikan oleh WCC Cahaya Perempuan, di Bengkulu. Dari 64 kasus kekerasan terhadap perempuan mereka terima selama pandemi, kasus tertinggi adalah KDRT, dalam hal ini kekerasan terhadap istri.
Sementara itu, WCC Palembang dalam kurun waktu Januari-November 2020 telah menangani 103 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Adapun jenis kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual, yakni 51 kasus (49,5 persen) dan kekerasan seksual secara online sebanyak 28 kasus.
“Ini naik signifikan dibanding tahun 2019 yang hanya 8 kasus,” ujar perwakilan WCC Palembang, Yeni Roslaini.
Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Menyikapi lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatera, Konsorsium PERMAMPU mengajukan tiga tuntutan utama. Pertama, pihaknya mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera menetapkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Salah satunya untuk mencegah praktik kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan melalui platform online,” jelas Koordinator PERMAMPU, Dina Lumbantobing.
Kedua, mereka mendesak pemerintah agar meningkatkan sistem perlindungan sosial untuk pemulihan dampak pandemi Covid-19 bagi masyarakat rentan seperti anak perempuan dan remaja, lansia dan disabilitas.
“Dan ketiga, kami mendorong aparat penegak hukum menindak tegas pelaku perkawinan anak di bawah tangan yang merupakan tindakan kekerasan dan eksploitasi seksual anak,” imbuhnya.
Dina menegaskan posisi PERMAMPU untuk 2021-2025 yakni mendorong pemerintah daerah, lembaga adat dan lembaga keagamaan menjamin otonomi perempuan atas tubuh dan pikirannya. Otoritas tersebut juga harus mengakui kemandirian dan kapasitas kepemimpinan perempuan akar rumput.
“Sehingga perempuan dapat mengakses dan memanfaatkan kesempatan meningkatkan sumber daya dan pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksinya, serta bebas dari praktek-praktek yang membatasi otonomi perempuan atas tubuh dan pikirannya,” pungkasnya. []
Belum ada komentar